LEBARAN DAN ANAK KECIL

Menelusur medsos Facebook sejenak ketika jam HP menunjukkan semakin dekat waktu istirah kerja, 12:00 adalah biasa. Sering senyum baca status media sosial yang bener tapi ngaco. Bener maksudnya tapi sering ngaco cara penyampaian dan banyolnya. Itu biasa. Hiburan. Tetapi sekali ini aku terhenyak oleh puisi biasa. Jelas menjadi tidak biasa.

Inilah puisinya. Ditulis oleh Didin Tulus:

Puisi Anak Kecil

aku puasa
maka
aku berlebaran

Apa yang mampir di benak Anda setelah membaca puisi pendek Indonesia itu pada ruang status?

Lebih tepat kalau disebut puisi itu adalah puisi orang dewasa (Didin Tulus) yang mencoba menyampaikan perasaan anak kecil. Sepintas tentu sebagai peristiwa biasa. Tetapi menjadi luar biasa dari kacamata 'muisi'. Menjadi puisi, melahirkan puisi, atau menjelma jadi puisi.

Kalau saja si anak kecil itu sadar pada proses kontemplasi pemikiran, peletupan kesadaran, ungkapan kesaksian, dan proses penerimaan eksistensi sebuah puisi/syair pada dirinya, maka itu akan berupa manusia puisi, atau manusia sadar syair, bahkan manusia yang sadar hikmah dan kebijaksanaan.

Atau semestinya, peristiwa yang dipertanyakan pada anak itu menjadi peristiwa penulisnya saja. Semoga. Sebab sasaran kita melalui rangkaian tulisan pendek ini justru ngaji ke ranah masyarakat umum. Yaitu yang kerja syariatnya kuat tapi paham syariatnya belum menguat.

Betapa tidak? Justru Rosul SAW dan para ulamalah yang sudah terbukti paling berpijak pada fitrah kalimat puisi itu. Aku puasa/ maka/ aku berlebaran.

Seorang ulama Mursyid dengan paham ISLAM yang kafah, tentu akan berucap sebentuk kesaksian: tak ada lebaran tanpa puasa, tak ada puasa tanpa lebaran. Tak ada kehidupan tanpa rumus puasa dan lebaran itu.

Puasa itu utamanya menahan diri dari segala haram. Dari segala dosa maksiat. Selebihnya menahan-nahan juga yang serba halal untuk prinsip dan sikap hidup menggapai kemenangan pribadi dan berjamaah sampai akhir zaman.

Tentu bukan sikap sempit semacam taqlid buta. Bukan. Karena ini perjalanan spiritual  personal yang bisa diamini oleh sikap sebanyak mungkin ummat Islam. Jadi sangat-sangat terbuka dan bisa dibaca siapa saja.

Puasa wajib Romadon, misalnya, daya tekannya lebih kepada anti haram. Tetapi kekuatan anti haram itu justru pada argumentasi: "Jika yang halal dan enak saja bisa ditahan, bagaimana tidak mungkin yang haram, yang serba menyedihkan bahkan mencelakai?" Sedangkan pada semua puasa sunah kecenderungannya adalah menahan segala-gala di waktu halal.

Lebaran itu artinya selesai. Tamat. Hatam. Tak ada lagi. Maksudnya selesai menjadi manusia di dalam ruh suci puasa, tak ada lagi keragu-raguan. Sudah tetap hukum Allah. Madep sholatnya sudah lengkap syarat rukun dan tegaknya. Doa-doa dimengerti dan terlihat pintu kabulnya. Tak ada kata prustasi. Yang ada kemarahan kepada keangkaramurkaan. Setia kepada jihad fi sabilillah. Terutama jihad memerangi hawa nafsu. Maka kaum sidik cendekia sederhana bahasanya, tinggi nilainya, dalam dan luas maknanya. Lapang dadanya. Selamat menyelamatka. Mereka adalah pribadi-pribadi yang berkata, persis seperti kanak-kanak berkata:

aku puasa
maka
aku berlebaran.

Tak ada jiwa pembunuh kecuali menegakkan keadilan hukum Allah. Tak mungkin terjadi pemerkosaan dan penyiksaan. Tak ada pencurian dan penipuan. Tak ada penghinaan dan pencemaran nama baik. Sehingga sikap hati-hati dan sikap saling maaf memaafkan menjadi tinggi. Tak ada pelecehan, seks bebas dan pelacuran. Tak ada perjudian dan korupsi. Tak mungkin tawuran dan melakukan tindak kriminal apapun. Tak ada terorisme yang keji itu. Jauh dari penyalahgunaan miras dan narkoba. Karena sudah aman. Sudah selesai. Menjadi pribadi lebaran. Pribadi dengan karakter yang tuntas tas tas tas!

Lalu bagaimana dengan kaum awam yang belum fasih benar mengertinya?

Setidaknya menjadi dua golongan. Golongan anak-anak yang belum balig (sempurna/ngerti/terbuka) fikirannya. Dan golongan umur dewasa/tua tetapi masih berada satu saf dengan fikiran anak-anak itu. Sama saja. Kalau yang satu rebutan kue, yang satu rebutan permen. Ya, sama saja.

Kedua golongan kanak-kanak ini kalimatnya pada tanggal 1 Syawal adalah:

aku puasa
maka
aku berlebaran
(Yang tidak hatam, atau yang tidak punya puasa tidak punya lebaran).

Biasanya disertai tabeat suka  mengolok-olok yang tidak puasa, yong bolong-bolong puasanya, dan menuntut baju baru dan makanan lebaran. Disertai pula teriakan-teriakan puas atas hatam puasanya. Lalu menuntut Allah berbuat yang lebih tinggi. Cara-caranya kurang teduh dan tenang. Bahkan pesan moralnya, membingungkan.

Tetapi tentu saja, bagi anak-anak, mereka akan terus memasuki usia belajar yang panjang. Kita banyak mafhum itu. Tentu. Kurikulum dan cara-cara adat bahkan dibuat, termasuk ada yang dibikin menyenangkan hati, untuk tujuan itu. Tetapi bagaimana dengan para dewasa yang semestinya menjadi penyelamat para anak itu?

Padahal di samping mereka para ahli puasa malah sedang sibuk mengatur ketentraman, keadilan dan kesejahteraan. Sebab menginsyafi puasa dan lebaran itu mesti berdampak pada sikap hidup dan sikap perjuangan di segala medan.

Hingga dalam tradisi Nusantara disebutlah sampai pada derajat halal bihalal. Hidup semata di dalam lautan halal. Lalu saling menghalalkan di antara sesama manusia atas segala beda yang memiliki argumentasi halal itu. Lalu kita istikomah, setiap menghalalkan yang halal kita dalam keadaan halal. Atau, menyebut halal itu hanya hak kalimat dan bukti perbuatan manusia halal.

Begitulah manusia-manusia malam (dunia) yang berjalan dengan cahaya dan menjadi cahaya bagi yang lainnya. Manusia sepertiga malam terakhir yang menawarkan fajar kemenangan. Manusia yang menemui lautan malam seribu bulan. Kedalaman yang tinggi. Manusia yang selalu rindu Lailatul qodar. Manusia i'tikaf yang di titik peta manapun hidupnya, hatinya selalu di dalam mesjid.

Jelas, hidup itu tidak berada di dalam racun dan api haram yang membara.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG