TARI PERUT DI RUANG PUBLIK

INI SYAWAL

ini bulan terbuka

semestinya membuka juga

mengapa manusia sepertiga malam terakhir

yang berjalan dengan cahaya

membagi Romadon menjadi tiga?

Kemayoran, 01072017

-----

Dalam suasana awal Syawal 1438 H (2017), tentu wajar kita merefres kembali kenangan tradisi halal bihalal. Bicara-bicara tentang kemenangan halal, untuk selalu hidup halal, dan hanya saling menghalalkan yang halal. Meskipun selera halal itu berbeda-beda pada setiap orang. Tak apa. Yang penting bukan menghalalkan haram.

Saya tertarik pada acara TV, Mata Najwa yang menyiarkan sisi kemanusiaan yang cair dari sosok populer Qurais Sihab dan penyair Mustofa Bisri.

Pada acara itu keduanya 'muisi' dan berpuisi. Mengesankan. Mustofa bergetar suaranya. Berairmata cinta. Qurais menggelora gairah asmaranya. Kita melihat dua muda yang sangat dewasa. Aku birahi.

Sarung di situ membuat nyaman orang rumah. Bahkan bahasa Arab yang menyelip-nyelip tidak menakut-nakuti orang yang tidak bisa bahasa Arab. Asyik seumpama berbahasa Indonesia atau berbahasa Jawa atau Sunda saja. Mesra. Intelek.

Dan satu sesi yang saya akan selalu ingat seumur hidup, bahkan untuk anak cucu adalah ketika keduanya berkelakar tari perut. Qurais bilang, kemana Mustofa Bisri katanya penasaran mau nonton tari perut bersama? Eh ternyata diam-diam sudah berangkat sendirian. Mustofa Bisri menimpali, suatu ketika di kapal dikabarkan bakal ada tari perutnya. Ia menunggu. Ternyata hanya ada tari sufi yang memutar-mutar itu. Ternyata sudah diproteksi sama Qurais, jangan ada tari perut. Pendeknya, eksotisitas tari perut tergolek semisal ketupat lebaran. Bukan seperti minuman yang memabukkan.

Menjadi semacam diskusi penengah ketika kita juga khawatir, jangan bikin sensasi seni yang tidak berisi. Jangan hanya cuma soal mau memberi karena uang dan mau menonton karena suka. Bahkan tari perut pun dikelilingi kotak perseginya. Aturan mainnya. Ada halal bihalanya itu. Ada konsep tontonannya. Bukan pergumulan mesum. Ada sutradara atau pengarahnya. Ada imej positif bersama yang telah terbangun lama. Erotisitas yang melintas-lintas hanya angin lalu kewajaran sebuah kehadiran tarian.

Di negri asalnya, tari perut juga dipelajari anak-anak di depan ibunya. Untuk sekadar memahami jika pada waktunya berada di depan panggung tari perut atau di dalam sebuah hajat bersama. Atau, kalau berbakat dan sesekali tampil, ibunya sudah lebih dahulu tahu bahwa tarian hanyalah sebuah tarian. Memang mesti menarik. Memang mesti ahli. Memang mesti memukau atau setidaknya menyenangkan.

Disebut tari pergaulan, ya! Karena dalam sebuah majlis atau forum, di situ para manusia, hamba Allah bertemu, berbagi kebaikan dan keselamatan. Saling menyenangkan dalam komunikasi kemanusiaan yang universal, berbahasa dan seni.

Lalu saya menarik ke Nusantara. Selalu harus begitu. Kita sedang rindu kebersamaan. Persatuan dan kesatuan. Karena ada yang malah terpincang-pincang menerjemahkan itu. Dianggap tidak mungkin menjadikan satu sebuah perbedaan. Padahal yang berbeda-beda itulah satu. Semacam selera halal yang berbeda-beda itulah satu, halal saja. Di sinilah perbedaan itu Rahmat Allah. Jauh dengan teori benturan antara benci dan cinta.

Bahkan berjilbab dan bergoyang Qosidahan, atau berjilbab menari tradisi yang populer, kenapa tidak? Bahkan daya tarik dakwah itu ada pada wadah-wadah, etalase, porsi dan modelnya. Satu semangatnya, kemenangan orang soleh, orang baik.

Eksplorasi bahkan eksperimen pertunjukkan tari jilbab justru akan membuat panggung-panggung jilbab tidak gagap. Cair. Menjadi inspirasi. Virus positif. Pemikat yang mengikat. Bukan dalam kontek pembedaan, bahwa penari jaipong berjilbab jauh lebih baik dari penari jaipong yang tidak berjilbab. Begitu pula pada tari blantek atau gambyong. Bukan begitu.

Bahkan bertolak dari fenomena dan enerji positif tari perut. Kita diingatkan untuk mulai mengukur-ngukur kembali. Bahwa tari pada seni kita yang memakai rok pendek atau celana pendek memang tidak selalu berarti tawaran atau ajakan kemesuman dari atas panggung, memang. Tapi justru itu kunciannya, bagaimana supaya tetap seperti itu, tidak berlebih-lebihan, meskipun ada erotisitas yang mengalir secara wajar. Dirasakan oleh jiwa yang dewasa. Yang ngerti.

Begitu pula gaun ketat atau jaritan. Sebagai daya tarik seni di ruang publik tetap harus terasa pesan cahayanya. Gemerlap kebaikannya. Kesukacitaan yang wajarnya. Bahkan pada waktunya kita boleh merasa-rasa, terlalu keras kalau cuma bokong kebaya yang agak erotis saja sudah dibilang pintu neraka jahanam.

Memang ada sebuah pertanyaan, mengapa kita tidak belajar dari sukses tari dan wisata Bali? Sebenarnya bukan pada tari Janger, tari perut, tari India, tanggo, apsara, dll masalahnya. Dari semuanya tentu bisa ditarik sukses dan baiknya, tapi kurang-kurangnya jangan. Apalagi ulah tidak pantas sekelompok orang. Sebab di tempat-tempat tari itu juga selalu berbenah kearifan senibudaya menghindari kecelakaan sosial. Meskipun kelakuan kita paling mudah  sembunyi di balik argumentasi ketidaksempurnaan manusia untuk selalu meloloskan kesalahan-kesalahan.

Bagaimana kalau serba tertutup saja? Tidak ada tarian sama sekali? Para wanita di rumah saja bersama suaminya? Nanti, perjodohan itu karena para suami yang saling kenal untuk kebutuhan perkawinan anak-anaknya? Sebagai pilihan tarekat tertentu, kenapa tidak? Tapi tafsir kearifan publik kita kan lebih terbuka dari itu.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG