ANTOLOGI BERSAMA APA

Benar! Antologi bersama atau buku kumpulan puisi yang ditulis oleh banyak orang itu seperti balairung silaturahmi antar penyair dengan penyair lain yang ada dalam buku itu, antar penyair dalam antologi bersama itu dengan para penyair yang mengoleksi bukunya, serta antara para penyair di dalam buku itu dengan masyarakat luas, pembaca dan penggemar buku sastra.

Memang beda dengan antologi puisi seorang penyair. Yang di dalam bukunya hanya terdapat puisi-puisi karya seorang diri.

Mana yang lebih baik? Jangan terjebak. Seolah-olah kalau seorang penyair belum punya buku antologi sendiri maka belum sah kepenyairannya. Kurang kredibel dan lain-lain. Sementara buat yang sudah punya buku sendiri, apalagi yang sudah beberapa buku boleh merasa paling eksis.

Bukan begitu cara mengukurnya.

Saya jadi teringat peristiwa suatu ketika. Di layar TV entah di acara apa. Seseorang menjelaskan telah menetbitkan buku. Lalu dikomentari oleh lawan bicaranya sambil nyengir agak meledek, "Yang bukunya tipis itu ya?" Seolah-olah kalau bukunya tebal, kertasnya berkualitas, cover-nya Lux, penerbitnya ternama, baru itu namanya buku terbaik dari penulis berkualitas. Yang lain pasti buku tidak berkualitas. Oalah.

Dalam bentuk konsep pengarsipan karya intelektual buku sastra, antologi bersama memberi pengalaman telah menyebarkan secara langsung buku itu kepada sejumlah penyair yang menulisnya. Itu minimal. Jika ada 30-50 penulis, misalnya, maka kesemuanya bisa mengarsipkan karya itu di setiap rumah masing-masing untuk selanjutnya bisa diapresiasi oleh komunitas-komunitasnya.

Itu bagus. Karena Apresiasi Seni di sebuah komunitas itu bersifat khusus. Intensif. Kuat.

Selebihnya tentu saja bisa dibaca secara gratis di perpustakaan atau terjual kepada masyarakat luas melalui toko buku, pameran buku, jual buku on line, dlsb.

Antologi bersama itu seperti gudang para penyair. Daripada muncul sendiri-sendiri, ada baiknya membangun suasana sastra bersama-sama. Jadi seperti majalah atau halaman koran. Di situ bisa muncul karya empat-lima penyair sekaligus. Kebersamaan dalam satu buku atau satu halaman yang bisa semakin saling kenal satu dengan yang lainnnya. Begitupun masyarakat puas sekali beli koran, karya empat penyair bisa dibaca.

Dalam sebuah antologi bersama, cukup dengan beli satu buku, dengan harga murah, 30 penyair bisa dikenal lebih dekat sekaligus. Bukankah ini menarik?

Bahkan saya kadang harus mengritik. Kepada penyair yang sudah merasa beken, jangan terlalu merasa anti untuk gabung dalam antologi bersama. Terutama yang dikeluarkan oleh kelompok muda yang kadang disebut kelompok pemula. Atau janganlah terlalu pilih-pilih antologi. Sebenarnya itu sangat tidak perlu. Buku di situ seumpama panggMalam.pui Puisi. Maka sebaiknya hadir saja sukacita dan naiklah ke panggung untuk baca puisi. Gitu aja kok repot. Pake itung-itung kartu nama segala.

Maka kalaupun memang berada di tengah para pemula, itu bagus, berarti jadi yang senior di situ. Kelihatan misinya di situ. Gotong-royong di situ. Terbaca misinya.

Pengalaman saya. Meskipun suatu waktu saya membuat antologi bersama yang memuat puisi karya siswa-siswi SMA, bahkan SMP, setidaknya bisa dikondisikan dengan dua ruang dalam satu buku. Ruang pertama diberi nama untuk mewakili kelompok remaja, sedangkan ruang kedua diberi nama yang merepresentasikan penyair dewasa. Dan seterusnya.

Yang lumayan repot dalam buku antologi bersama sesungguhnya pemetaan penyair berdasarkan daerahnya. Seakan-akan yang lulus 100% cuma yang domisili dan aktif bersastra di satu daerah saja. Atau kalau harus memaksakan diri, banyak penyair menggunakan daerah tempat domisili terakhir. Kota, Kabupaten atau Propinsi.

Contoh kasus saya sendiri. Dalam antologi bersama yang diterbitkan Penebar Media Pustaka, Tadarus Puisi, saya disebut penyair Jakarta, karena domisili, kerja dan ber-KTP di Jakarta. Rumah ibu saya juga di Jakarta. Padahal saya lama tinggal sejak kecil di Sukabumi sampai ber-KTP. Waktu itu komunitas saya menyebut saya, penyair Sukabumi. Waktu bertahun-tahun domisili, kerja sampai ber-KTP dan nikah di Bandung, teman-teman menyebut saya penyair Bandung. Wajar. Banyak kegiatan seni di situ. Begitupun ketika bertahun-tahun tinggal sampai punya anak di Purwakarta, saya adalah penyair Purwakarta. Kegiatan sastra di situ sangat menonjol. Kalau sekarang saya sangat ingin menyebut penyair Jawa Barat, kenyataannya tinggal di Jakarta. Sering ada kegiatan seni juga di Jakarta. Dan satu lagi. Saya biasa menyebut penyair berdasarkan daerah kelahirannya. Misalnya saya sebut seseorang penyair Bandung karena di buku yang diterbitkannya tertera kelahiran Bandung. Lalu bagaimana kalau ada yang baca data di buku, saya lahir di Curug Sewu, Kendal, Jawa Tengah? Bagaimana pula kalau ada yang tahu, hari ini saya pengurus/aktivis Paguyuban Wonogiri? Nah lho.

Sebanyak mungkin terbit antologi bersama tentu akan membuat kesusastraan Indonesia marak. Tidak cuma mengandalkan sebuah lembaga yang dibiayai pemerintah untuk bikin antologi bersama saja. Apalagi lembaga dan antologi seperti itu kadang terlalu dibesar-besarkan telah merangkul seluruh penyair dan merupakan gerakan sastra mutahir. Padahal banyak penyair tidak dengar kabarnya.

Sebagai gerakan sastra mutahir mungkin ya, tapi itu satu tema. Satu ruang yang dibentuk. Kita harus terus gotong-royong dengan segala tema. Dari semua ruang.

Apa sudah biasa pemerintah proaktif mengakui para penyair dalam program-program langsungnya saja yang terpilih? Yang lain gak ikut-ikut.

Apa ada lembaga swasta yang merasa bikin program, bahwa kubunya saja yang bikin kegiatan dan antologi bersama paling sah? Yang lain tidak sah. Ecek-ecek.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG