INDONESIA MEMANG BUTUH PUISI PENDEK

sekarang saya kembali membaca sejumlah puisi pendek, dan ingin membukukannya; untuk ulang tahunmu, Hen.

Bangun tidur siang di hari Minggu, 09-07-2017 saya menemukan tulisan itu di media sosial Facebook. Ditulis oleh Soni Farid Maulana.

Ketertarikan saya mungkin sederhana. Tapi jelas sangat tertarik. Pada frase, puisi pendek. Ternyata dia suka juga menyebut istilah puisi pendek.

Belakangan ini ketika dunia sastra Indonesia, terutama yang marak di media sosial, sangat sibuk dengan haiku, yang saya sebut bagian dari puisi Indonesia tetapi mendapat pengaruh sastra Jepang itu, nampaknya wacana puisi pendek Indonesia di luar haiku sangat sepi.

Untuk itu ketika di sana-sini menjamur grup haiku saya merasa perlu mensyukuri itu dengan membuat grup khusus, puisi pendek Indonesia. Setidaknya suasananya bisa menjadi cair. Tidak melulu fokus pada pengaruh sastra Jepang semata, yang di dalamnya tetap tidak menolak haiku. Bisa apa saja, asal puisi pendek Indonesia.

Puisi pendek Indonesia adalah sebuah puisi pendek bahkan  sangat pendek yang bisa diucapkan normal dalam model baca cepat tanpa menyalahi tanda baca, dalam setarik nafas. Bisa berwujud satu dua baris saja, bisa juga mencapai lebih dari 10 baris, tetapi satu baris satu-dua kata saja. Meskipun di kalangan guru pembimbing yang mengarahkan anak didiknya pada cara-cara lomba baca puisi, biasanya mereka akan menyebut puisi pendek jika menemukan puisi yang tidak sampai setengah halaman buku terbitan panjangnya. Jika lebih dari itu, apalagi sampai lewat satu halaman disebutnya puisi panjang.

Sementara saya pada awalnya lebih tertarik pada puisi pendek yang kebetulan fisiknya tidak jauh dari haiku. Hanya terdiri dari satu, dua, tiga, empat baris saja. Kalimatnya pendek-pendek. Beberapa yang sudah menulis misalnya, Sapardi Djoko Damono, Hamid Jabar, Sutarzi Calzoum Bachri, Eka Budianta dll. Saya tertarik itu. Lalu menulis puisi pendek sambil menarik kesimpulan, seperti apa puisi pendek Indonesia itu? Jelas tidak ada intervensi haiku di situ.

Puisi pendek saya pernah dimuat di majalah Aisyiah Jogja (Bukan Halte) dan koran Sinar Pagi Minggu (Doa Ujung Daun). Meskipun klipingnya hilang ketika ada renovasi gedung Radio Populer FM Purwakarta. Mungkin tertimbun reruntuhan karena terlewat diamankan ketika mulai pindah meja kerja.

Saya merasa disadarkan, untuk kemenangan kalimat Allah yang abadi, kemenangan hidup insan mulia, kerja manusia juga mesti abadi. Dalam arti, setiap pribadi tentu membawa keselamatan ajarannya sampai ke dunia kematian. Sementara bagi laju generasi, prinsip-prinsip itu akan terus turun-temurun, Tutur-tinular. Tidak bisa kita berfikir sebagai manusia lelah yang cuma numpang minum sesaat di dunia. Seolah-olah, lebih singkat lebih baik, karena di situ pasti serba penat, setelah itu kita menjadi pribadi yang pergi. Nyawa yang hilang.

Saya juga bicara kepada Allah. Kalau pun sebuah pohon di dunia terbakar hangus. Tidak cuma batang dan daunnya, bahkan sampai ke akar-akarnya. Maka kalaupun hanya tersisa ujung daun di atas bukit. Kalau itu adalah sebuah kebenaran dan kemenangan, yang hidupnya segera akan diambil Allah ke langit, biarkanlah ia menyala.

Sayang memang, dua puisi itu hilang di Purwakarta.

Pada masa marak grup haiku itu, saya menegaskan kembali bahwa saya termasuk pemulung khazanah sastra Indonesia yang bangga dengan puisi pendek Indonesia. Tentu bangga juga akhirnya dengan hadirnya haiku berbahasa Indonesia, bukan karya terjemahan, yang merupakan bagian dari perjalanan sastra Indonesia.

Hal sastra pendek Nusantara kita mengenal di banyak bentuk. Ada pantun dan sisindiran, ada pribahasa dan kata-kata mutiara dari berbagai bahasa daerah, ada mantra, doa-doa (bagian dari sastra hizb), cukilan suluk, cerita lisan yang bersifat humor atau kisah hikmah yang serba pendek, dll. Artinya, semua bisa menginspirasi puisi pendek Indonesia mutahir.

Puisi pendek Indonesia sendiri hadir karena kebutuhan cara penyampaian dalam pesan yang pendek. Memang mesti begitu. Hingga terpenuhi ketercukupan luas dan tegasnya.

Di dalam siaran puisi di radio dengan memanfaatkan fasilitas sms yang terbatas, saya pernah menyebut dalam bahasa gaul, puisi SMS. Panjangnya tidak sampai lebih dari tujuh baris bahkan. Hakekatnya puisi pendek itu. Bahkan seperti layaknya berbalas pantun. Karena bagian dari selera gaul, maka di radio hal itu bisa berupa berbalas puisi pendek. Nulis di HP dan mengirimnya serba spontan.

Ya, kita memang butuh puisi pendek. Atau puisi pendek memang bagian dari bangunan Indonesia.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG