JANGAN ATAU ROBOHKAN PATUNG?

Siapa bilang merobohkan patung itu dilarang. Baik untuk diganti sesuatu karya yang lain atau di lokasi itu ditanami pohon, atau dibuat perkantoran, jalan raya atau pusat perbelanjaan sekalipun. Siapa bilang patung tidak boleh dirobohkan?

Tetapi urusan merobohkan atau meniadakan patung ini bisa sangat memprihatinkan, apalagi yang punya nilai historis dan menjadi penanda kota yang kuat. Untuk itu butuh cara-cara yang tidak cuma sesuai aturan, juga  bijak.

Banyak teman di media sosial facebook  sudah menyebut, mulai soal perobohan patung di Purwakarta dulu, sampai patung di Bandung dan Pangandaran. Soni Farid Maulana, Acep Zamzam, Hermana HMT, Gusjur Mahesa, Ayi Kurnia Iskandar dan banyak lagi.

Tetapi selalu harus dimulai dari kesadaran intelektual dan kearifan. Sebenarnya merobohkan patung itu halal. Ini bukan dalam kontek semisal Nabi Ibrahim merobohkan patung. Itu soal lain. Itu bagian dakwah: jangan menyembah patung yang sama sekali tidak bisa memberi apa-apa.

Bahkan, ini bahkan, kalau saja kabar turun-temurun tentang Nabi Ibrahim itu cuma bermaksud menyampaikan isi dakwah Ibrahim yang di atas mimbar dakwah selalu berteriak jangan menyembah patung, jangan menyembah selain Allah, yang diinterpretasikan bahwa itu artinya dia telah merobohkan patung-patung yang disembah, itu serupa tak sama. Kedua bentuk sikap itu sama-sama merobohkan patung. Tetapi yang kita bicarakan kali ini bukan pada proses semisal Ibrahim itu.

Patung-patung di sekeliling kita bisa dirobohkan karena, pertama, akan dipugar untuk didirikan kembali. Ini biasanya berkaitan dengan kondisi patung yang sudah memprihatinkan, apalagi kalau sampai bisa roboh tiba-tiba dan mencelakai masyarakat. Tetapi persoalannya, banyak yang takut kalau proses pemugaran apapun tidak bisa mendatangkan rasa semula. Seolah-olah kita menjadi seperti berhadapan dengan bangunan baru yang dibangun kemarin sore. Kehilangan rasa dan cerita aslinya. Ini sudah lama dibahas sejak Indonesia mulai berfikir memugar Borobudur dll. Biasanya untuk pemugaran yang sukses pun, ada pihak yang masih menyimpan bagian terpenting tertentu, sebagian puingnya yang masih bisa 'bercerita'  bahkan, untuk dimuseumkan.

Pada tempat-tempat tertentu, patung bersejarah atau monumen bahkan tidak cuma dipugar, tetapi juga dipindahkan beberapa (ratus) meter dari titik pertama. Pertimbangannya mencari tempat yang lebih strategis yang membuat patung lebih menonjol, aman dari bangunan lain, dan mudah dinikmati (disawang) banyak orang. Setelah ketemu argumentasinya, misalnya ternyata ada sebuah medan pertempuran yang luasnya satu-dua kampung, maka di titik manapun sebuah penanda sejarah berdiri, itu sah menurut sejarah. Maka pemindahan saat pemugaran bisa saja terjadi. Tetapi mesti hati-hati, peristiwa pemindahan itu malah bisa semakin mengecilkan nilai di balik patung itu. Apalagi kalau cuma berdiri di sudut sempit, tersembunyi, yang tidak menunjukkan daya tarik apa-apa.

Kedua, merobohkan patung untuk tidak memugar dan memindahkannya pun boleh. Halal. Sesuai peraturan daerah. Asal tidak menabrak perda-perda yang berkaitan dengan pelestarian benda-benda cagar budaya atau merusak taman kota. Tapi khusus taman kota biasanya lebih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat kota atas lahan terbuka hijau.

Saya pernah bilang, kalau saya Bupati Purwakarta yang akan datang (2018), saya bisa meniadakan beberapa patung yang dibuat Dedi Mulyadi dengan mendapat 'restu' perda yang ada. Ini justru menguntungkan buat Dedi Mulyadi karena sekaligus penegas, patungnya bukan togut (patung yang disembah sebagai Allah), melainkan bagian dari keramahan taman kota yang sarat pesan kebaikan. Tetapi soal jumlah dan bentuk patung yang dipakai untuk memperindah kota/taman, itu bagian dari interpretasi waktu. Bisa pendek bisa panjang. Saya bisa membiarkan satu-dua patung buatan masa Dedi Mulyadi tetap berdiri selama saya jadi Bupati, meskipun perda pun membolehkan meniadakan semuanya. Tanpa ada pengkhianatan terhadap pembuat patungnya. Sebab kalau diterbitkan sebuah buku sejarah Purwakarta, nama pemesan (Bupati/Pemda) dan nama pembuat patungnya bisa sama-sama muncul di buku sejarah itu, meskipun patungnya sendiri sudah tidak ada. Artinya, ditiadakan dari konsep kota baru, tetapi tetap ada dalam catatan perjalanan sejarahnya. Maka jangan sampai siapapun membuat sejarah buruk seputar pembangunan apapun di manapun, karena 'saksi sejarah' (tema penyutradaraan teater pertama saya yang berjudul Lautan Merah Putih, 1989 di SPGN Sukabumi) akan mencatat dengan jujur.

Sebenarnya jalan yang paling aman kalau nama-nama cagar budaya atau penanda kota/daerah yang tidak boleh ditiadakan itu tercantum dengan jelas di dalam perda. Pasti tidak akan diganggu gugat sama sekali. Kecuali kalau sudah ada revisi perda. Semisal makam keramat, mesjid dan candi, penanda sejarah. Itu bisa ditulis nama makam dan lokasinya di dalam perda supaya tidak diganggu gugat, bahkan wajib dilestarikan.

Tidak sepenuhnya memang kita bisa beralasan menolak perobohan sebuah patung karena  karya seorang seniman besar, maestro. Sebagai sebuah patung pesanan, pemesan (pemerintah daerah) tentu bisa memperlakukan bagaimanapun tanpa maksud merendahkan sebuah karya. Ini biasa. Toh buku terbitan Sang Maestro masih bisa menulis, suatu ketika karyanya pernah dipesan siapa saja dan didirikan di mana saja. Kalaupun kemudian akan dilarikan ke museum pun, harus dengan argumentasi yang tepat juga. Selain itu tidak ada juga ketentuan, jika seorang maestro telah menerima pesanan 1000 patung berarti kesemuanya wajib dipertahankan di 1000 titik itu sampai kapanpun atau setidaknya disimpan di 1000 museum. Tidak ada!

Tetapi pemborosan anggaran juga langkah yang tidak tepat. Misalnya, dengan alasan yang sepele apalagi tidak masuk akal, patung-patung yang telah menguras anggaran karena dibangun bertahap diroboh-robohkan seketika, entah dengan maksud diganti yang baru atau tidak. Apalagi cuma dengan alasan politik praktis yang sempit, ganti pimpinan.

Sampai-sampai argumen saya lari ke Nabi Musa, lari ke Bung Karno. Musa pun merasa haram merusak fasilitas yang dibangun Fir'aun, karena kalau ia menang pun, itu milik Allah, bukan milik Fir'aun. Fir'aun itu cuma 'ketitipan' dan terjebak penyalahgunaan ruang. Sedangkan Bung Karno dikritik dari awal, soal Monumen Nasional (Monas) dan kesejahteraan bangsa ketika itu. Tetapi ia berargumentasi, ada spirit proklamasi di situ, penanda yang harus dikenang dunia, bersamaan dengan pembangunan kesejahteraan rakyat. Bahkan saya menyebut, secara Islami, Monas adalah simbul alif yang tegak berdiri mandiri. Terdepan. Percontohan dan percaya diri. Kalau kemudian ada yang akan merobohkan Monas, bukan cuma soal anggaran bahasannya, tetapi juga maksud Monas itu.

Suatu ketika di awal Bupati Dedi memimpin Purwakarta saya merenung. Kapan patung-patung badak era Bupati Lili Hambali di sekeliling taman Situ Buleud akan diganti, soalnya sudah keropos semua? Ternyata benar, akhirnya dibongkar oleh Bupati Dedi tetapi tidak dibangun serupa. Dia cuma bikin satu dengan ukuran besar. Yang jujur saya fikir, itu lebih cantik. Maknanya lebih fokus. Itulah. Kebijakan yang sama bisa terjadi untuk patung-patung era Dedi Mulyadi. Apalagi ada sikap kritis masyarakat, kenapa Dedi Mulyadi jadi terlalu gemar menyerakkan patung di mana-mana untuk ukuran Purwakarta yang kecil? Ini jelas tidak ada kaitannya dengan proses kreatif seniman di balik patung. Urusan itu sudah selesai. Clear. Seniman dan budayawan tidak boleh anti-intelek.

Patung-patung yang lazim atau biasa dipertahankan diantaranya adalah yang bernilai monumen sejarah, memiliki catatan budaya yang kuat tentang sejarah daerah atau pesan kemanusiaan (dakwah), penanda kota/daerah tertentu yang selalu dirindukan, dan menjadi ikon promosi daerah apalagi kalau dibuat oleh seniman besar. Dari kesemuanya itu ada yang bisa dipugar dan dipindahkan.

Saya ambil contoh untuk Pangandaran dan Cianjur. Jika ikan dan ayam adalah ikon di dua daerah itu, maka mengganti patung ikan dan ayam yang ada dengan patung ikan dan ayam yang lain, termasuk memindahkannya ke tempat yang dianggap lebih strategis dan membuatnya jauh lebih besar adalah langkah biasa. Tetapi lagi-lagi biasanya dikritisi, jangan cuma pemborosan. Nanti malah menyerupai togut. Setidaknya mengutamakan kebendaan. Sedangkan perut rakyat yang lapar dan butuh hal-hal utama yang ada 'tangis Allah'-nya malah terlupakan.

Akhirnya saya malah mau mengakhiri tulisan pendek ini dengan kalimat, jangan sembarangan merobohkan patung, jika keberadaannya menunjukkan ketentraman masyarakat dan menunjukkan keasrian lingkungan alam serta membangkitkan kenang-kenangan (kesadaran) yang arif. Untuk itu kita harus menjaga patung-patung yang memiliki kualifikasi seperti itu. Termasuk dengan memugar dan memindahkannya, jika sangat diperlukan.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG