KEVIN CINTA, JANGAN NAKAL

Saya termasuk orang yang senantiasa berfikir, menolak boleh nakal, teori yang banyak disampaikan oleh para-populer di berbagai media, terutama televisi. Apapun dalilnya. Meskipun bertolak dari itu seseorang menjadi sukses. Padahal suksesnya bisa jadi setelah berbalik arah dari nakal. Atau, kalaupun dengan nakal itu dia sukses. Jawabnya satu, belum kena batunya.

Maka saya heran kalau ada orang sukses berkata, kenakalan itu penting. Nakal itu laki-laki. Kalau gak berani nakal, perempuan cuma di dapur ketiban penggorengan. Lalu dibukalah data-data orang sukses yang dulunya nakal. Kalau perlu sampai ke tahap popularitas Kyai yang dulunya penjahat. Walah walah. Motivasi opo?

Ngeri kita ngajinya. Nanti kriminal, menipu dan korupsi itu dianggap kenakalan biasa dong.

Ada artis tenar bangga dulunya termasuk gank motor yang urakan. Urakan kok bangga? Meskipun sekarang ngakunya tobat. Ada tokoh yang merasa seru kalau cerita bolos sekolah, lompat pagar, corat-coret di masa SMA. Berkah apa? Di media massa pula koar-koarnya.

Bahkan hari ini di dunia kerja disamakan dengan main bola. Katanya, harus berani main licik dan gila. Sleding dan tarik dari belakang. Paling-paling resiko sialnya kena kartu kuning (warning). Kalau dipecat pake kartu merah, itu resiko hidup. Kalau lawan cedera, bilangnya Allah sudah atur. Masya Allah.

Jadi ingat teori topeng penjahat. Bukan topeng Kalijaga. Katanya, boleh merampok, asal sisihin sedikit buat yatim dan mesjid, maka namamu harum bak pahlawan. Padahal hukum Allah ada di tiap tikungan dan tiap titik peta.

Dalam politik, karena tidak mau kalah bersaing, didekatilah istri lawannya. Sampai istrinya hancur. Sampai kabar buruk menimpa keluarga dan suaminya. Atau didekatilah anaknya dengan narkoba dan kenakalan lain. Sampai ditangkap polisi. Sampai kesibukan ayahnya berantakan. Itu strategi merusak keluarga figur. Dengan alasan, nakal itu perlu. Yang penting menang.

Termasuk main-main surat-surat palsu dianggap kenakalan administrasi yang biasa. Ijazah palsu dan kwitansi palsu seperti alat main game saja.

Maka ketika kemarin sore anak saya ngirim WA (SMS), "Pa, Kevin minta maaf, Kevin diomelin guru. Papa harus menghadap. Gara-gara di facebook ledek-ledekan sama temen tetapi membawa-bawa nama guru".

Saya langsung cek data tulisan ledek-ledekannya, dengan 'curiga ala polisi', kejadiannya bisa jadi sudah beberapa kali. Tapi itu cuma dugaan. Ternyata ciri-ciri fisik beberapa gurunya disebut-sebut untuk berbalas ledekan. Misalnya, kamu botak seperti Si Fulan, dll. Yang disebut Si Fulan, itu nama gurunya.

Tulisannya itu dianggap jadi heboh di sekolah karena memakai media sosial. Padahal jika spontan lisan di mulut pun sudah termasuk tidak sopan.

Maka pertama-tama saya bilang, "Kamu memang salah. Harus menerima kalau diomelin. Dan harus minta maaf. Pertama, bercanda berlebihan. Kedua memakai media sosial. Itu tidak benar".

Tetapi meskipun begitu, saya tidak menyebut itu fatal. Itu ceplas-ceplos secara tertulis yang tidak benar. Yang harus disalahkan.

Lalu saya teringat waktu SMA. Dulu sebagai ketua kelas saya menyapa guru, "Selamat pagi Pak Didi?" Dia noleh dan bilang, "Itu kalau sama temen. Kalau ke semua guru langsung sebut Pak Guru atau Bu Guru". Maka spontan saya pun meralat, "Selamat Pagi Pak Guru". Ini ada kaitannya dengan adab sosial yang khas. Diapun menjawab, "Selamat pagi". Selesai.

Sekecil apapun salah itu salah. Meskipun tidak niat salah atau tidak merasa salah. Tetapi bedanya dengan kesalahan besar, kesalahan yang kecil hukumnya bisa sembuh seketika atau lebih cepat diselesaikan. Dampaknya tidak rumit.

Analoginya, meskipun kambing tidak merasa berbuat salah ketika berjalan di kebun. Tapi ia salah tidak hati-hati ketika terpeleset di pinggir parit. Ternyata dia terlambat sadar,  harusnya hati-hati. Untung apa yang terjadi pada kambing itu bukan hal parah.

Saya tidak perlu curiga macam-macam di depan anak bahwa saya sedang dikerjain karena saya aktivis yang sangat vokal. Terlebih-lebih di blog dan media sosial. Tidak harus sejauh itu. Saya hanya berfikir sederhana, di situ anak saya terkena hukum nakal. Harus diperbaiki. Itu saja. Atau berbalik saja jadi berfikir positif setelah itu.

Saya lalu teringat dulu waktu anak saya, Findra Adirama itu kelas dua SD. Dia punya teman yang jarang didekati teman-teman lainnya karena punya sakit kulit menahun. Gatal-gatal. Tetapi anak saya gak tega. Dia pun mau jadi teman paling dekatnya. Sampai-sampai ia pun sempat tertular gatal-gatal. Dan jadi serba sensitif kulitnya, meskipun kakak perempuannya serumah tidak masalah dengan kulitnya. Namanya juga dunia anak-anak. Sejak saat itu sampai hari ini anak saya itu dijuluki Si Buduy, plesetan dari Si Buduk.

Meskipun saya gak suka sebutan teman-temannya yang seperti ngebuli itu, tetapi saya melihat ketabahan di mata anak saya. Bagaimanapun, sebutan itu punya sejarah TEMAN SEJATI. Kesetiakawanan sosial. Cuma kurang bagus situasinya. Mungkin hari ini seperti halnya anak saya, temannya yang dulu gatal-gatal itu sudah tumbuh jadi remaja yang gagah juga.

Anak-anak baik pun memang bisa terjebak nakal, setidaknya suatu waktu, tetapi bukan berarti boleh nakal. Itu prinsip. Bahkan anak-anak pesantren dan sekolah Islam sekalipun. Saya pun dulu kelas dua SD pernah diomelin orang gara-gara dianggap merusak galengan gak sengaja. Maksud hati ngerogoh ikan di lobang parit, tapi galengan sawah orang jadi rusak. Waktu itu saya kabur sambil teriak maaf gak sengaja.

Di era sekarang, penyakit yang sedang mewabah di kalangan remaja kita selain soal kenakalan-kenakalan umum, juga ada kenakalan khusus seperti pemanfaatan media sosial yang salah. Seperti yang terjadi pada anak saya, ada item ledek-ledekan dengan teman sampai kurang sopan menyebut ciri-ciri fisik dan nama gurunya. Tentu tidak bisa dihalalkan.

Untungnya, anak saya yang pernah jadi ketua kelas itu menyadari itu. Minta maaf dan tidak mau mengulanginya. Sehingga saya kecup keningnya.

Saya bilang, "Dari kamu kelas satu SD kita kan hidup bertiga. Kamu, papa dan kakakmu. Biasa bercanda yang baik-baik saja. Suka duka bersama. Kita selalu satu hati. Sejak pisah dengan Mama, Papa ini ayah sekaligus ibu. Pesannya, baik-baik saja kan? Nah, sekarang kamu putar bola dunia. Kamu ditegur di saat isu media sosial di manapun sangat tinggi, tentu agar teman-teman kamu tidak berbuat hal yang sama. Artinya kamu sedang dilihat orang banyak. Waktunya jadi orang baik! Kebaikan itu butuh bukti!" 

Saya cuma takut generasi Indonesia kelak tumbuh populer jadi 'orang besar' yang menganggap biasa nakal yang besar-besar, yang berbahaya untuk masyarakat banyak itu, dimulai dari menghalalkan kenakalan-kenakalan kecil apapun hari ini. Itu saja.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG