MENJUAL PENYAIR

Apakah Indonesia butuh lembaga untuk menjual penyair? Bahkan ke dunia internasional? Seperti saya teringat ketika penyair Ahda Imran berucap mengomentari orasi budaya Rendra di Bandung, kita butuh 'semacam multilevel marketing'.

Saya fikir pokok persoalannya terlihat sangat penting, daripada kita sekadar berfikir apa perlu semacam organisasi kepenyairan baik di tingkat nasional maupun daerah. Karena belajar dari banyak Lembaga Seni yang ada, itu sering berupa sebuah mahluk yang paling sah dengan keterlibatan pihak-pihak yang dianggap sah juga. Tidak berupa representasi geliat seni budaya yang ada, atau tidak berupa upaya membangun kesemestian geliat senibudaya di suatu tempat.

Itu sebabnya banyak Lembaga Seni yang tumbuh lalu hilang atau ada tetapi tidak menunjukkan manfaat dan kemajuan yang berarti. Salah satunya ketiadaan dana yang jadi kambing hitam. Meskipun penyakitnya kalaupun ada dana, konon cuma dibagi-bagi pada sekelompok orang atau pentolan komunitas, atau malah dikorupsi. Atau, awam pun biasanya mudah menduga-duga, kalaupun ada dana pembinaan lembaga tiap bulannya, apapun judulnya, sebenarnya hanya untuk honor pengurusnya. Artinya, berhenti di situ. Sementara pengurusnya nyaris tidak melakukan apa-apa. Tidak bekerja. Saya jadi teringat juga banyak peristiwa, ketika suatu yayasan tertentu dapat bantuan kucuran dana tetapi tak menggunakan dana itu secara layak. Seperi uap sesaat saja. Bahkan yayasannya bisa segera lenyap. Apalagi yayasan satu periode, konon membantu periode kekuasaan tertentu, lalu senyap.

Daripada menjawab butuh tidaknya lembaga promosi penyair, saya lebih memilih mengartikan maksud promosi atau jualan itu. Saya mengartikan dalam bahasa yang sederhana, diperlukan jaringan di tingkat daerah, nasional dan internasional yang mampu menyadarkan masyarakat bahwa kehadiran penyair dan karyanya adalah kebutuhan nyata masyarakat manusia.

Secara konvensional, setidaknya sudah tertradisikan  sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, bahwa di seluruh jenjang pendidikan dari mulai TK sampai perguruan tinggi, termasuk jenjang sekolah Islam dan pesantren, seluruh masyarakat yang pernah belajar di situ diperkenalkan kepada dunia puisi dan kepenyairan. Meskipun pernah muncul diskusi panjang, alih-alih para siswa dan mahasiswa jadi nulis atau setidaknya fasih mengapresiasi sastra, mereka malah terjebak pada pertanyaan-pertanyaan nama-nama sastrawan dan karyanya. Tanpa tahu pula isi karyanya itu. Ini serius. Untung saya punya teman Yusa Sumarna (sekarang kepala sekolah), ketika kuliah dia dibisiki oleh dosennya, "Kamu sudah memiliki separo lebih teori". Karena Yusa waktu itu memang suka menulis cerpen di majalah remaja. Artinya, ada juga mahasiswa yang lancar menulis dan fasih apresiasi sastranya, meskipun tidak dituntut untuk jadi sastrawan.

Terlepas dari kenyataan buruk hasil pendidikan kita, tetapi setidaknya secara terstruktur dan 'masif' dunia pendidikan merupakan jaringan kuat sebagai pintu formal jualan penyair dan karyanya. Dalam pengertian arus mampu menyadarkan masyarakat terpelajar untuk melek kepenyairan.

Kalau semua yang pernah belajar di TK, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi tidak minat membaca buku sastra, bergumul dengan komunitas sastra atau minimal mau menonton pentas sastra, ada persoalan apa?

Bahkan, kalau para pelajar dan mahasiswa maunya digiring  ikut lomba (tulis dan baca) sastra  berhadiah, apa semata karena berkemungkinan dapat duit? Menaikan gengsi sekolah? Bukan karena representasi keinginan seluruh pelajar yang hakekatnya harus dekat dengan sastra?

Padahal kebiasaan menafsir itu bisa dimulai dari sastra. Kejelian menafsir dalam sastra akan membuka ruang-ruang kesadaran yang luas dan tinggi. Meskipun jujur, ada juga yang mengaku sudah sastrawan atau penyair tetapi ia takut menafsir, apalagi terhadap kalimat kitab suci. Ini prngecualian.

Ruang promosi penyair yang berikutnya adalah pemerintah dari tingkat daerah sampai nasional. Yang tidak ragu-ragu melibatkan para sastrawan atau memfasilitasi kegiatan sastra mereka untuk sesuatu yang manfaat bagi masyarakat. Tetapi jangan membuat kotak manusia yang tidak berguna. Hanya melakukan pendekatan kepada sedikit pihak yang tidak menunjukkan harapan masyarakat sastra, tetapi sekadar bisa dimanfaatkan untuk kerja pemerintah. Semisal ketika pemerintah menyebut, "Buktinya ada lomba puisi piala Bupati, itu artinya pemerintah peduli sastra". Padahal tidak semua kegiatan serupa itu diselenggarakan oleh orang-orang yang tepat, atau lebih parah lagi tidak menunjukkan kepedulian sastra yang sungguh-sungguh. Sekedar seremoni. Jelas tidak ngaruh apa-apa.

Padahal pemerintah bisa menjadi penegas posisi sastra kalau mau dan mampu.

Untuk di tingkat internasional, adanya perwakilan negara (kedutaan besar) di luar negri dan sebaliknya perwakilan negara asing di dalam.negri jelas merupakan pintu promosi para penyair itu. Meskipun sering kita dengar, jika ada duta seni ke luar negri sekali setahun, berarti tunai sudah kewajiban mereka. Padahal masih jauh dari sudah selesai. Padahal pihak kedutaan atau pusat kebudayaan asing di Indonesia, bahkan swastanya, bisa membangun kesadaran atas senibudaya mereka di negri kita. Mengapa tidak sebaliknya? Seberapa banyak, atau lebih pasnya seberapa ada kantong-kantong swasta Indonesia di luar negri yang bisa menarik penyair pergi ke luar negri untuk baca puisi dan diskusi senibudaya?

Sebenarnya yayasan seni atau komunitas seni di Indonesia bisa saja berhubungan efektif dengan kantong-kantong senibudaya serupa di luar negri, tetapi selain itu hanya bisa dilakoni oleh komunitas yang memungkinkan melakukan perjalanan-perjalanan seperti itu, pertukaran kunjungan penyair, peran pemerintah melalui kedutaan itu mestinya jauh lebih efektif. Karena terlembaga dan terfasilitasi secara sempurna. Keberadaannya juga rata-rata sudah lama di tiap-tiap negara.

Tetapi yang menarik di tingkat kabupaten di Indonesia. Kalau sekolah-sekolah mampu memberi kesadaran atas sastra, atas eksistensi kepenyairan, lalu pemerintah berani berpropaganda soal hal itu, sekali lagi soal manfaat sastra, komunitas sastra dan eksistensi kepenyairan, serta swasta pun berani bersastra saya fikir ini gila. Kalau suatu kota disebut kota terpelajar, maka satu indikatornya adalah daya tafsir atas bahasa dan sastra.

Sebagai orang Radio Indonesia, keluar masuk di 10 pintu Radio secara profesional selama 20 tahun lebih, saya telah menggunakan media siaran swasta dan PEMDA untuk mengadakan acara Apresiasi Seni (apresiasi sastra di dalamnya). Bahkan durasi untuk apresiasi sastranya dibuat panjang. Ini ruang promosi dan jualan puisi. Jualan penyair.

Kalau ada pertanyaan, apakah supaya para penyair populer dan banyak ditanggap seperti para artis pada umumnya. Sesungguhnya kunci utamanya bukan itu. Itu hanya sebagai bentuk kesadaran apresiasi atas eksistensi penyair saja. Yang lebih utama dari itu adalah masyarakat perlu melek sastra, melek puisi, melek tafsir syair. Sehingga poin cita-cita mencerdaskan bangsa itu bisa tercapai.

Kalau kondisi baik itu terbangun di tingkat kabupaten, propinsi dan nasional maka gerakan sastra rakyat itu akan menuai kemajuan pesat. Bentuk keberhasilan propaganda (promosi) sastra.

Tidak perlu ada dikotomi penyair daerah dan penyair nasional. Analoginya dari dunia radio. Meskipun ada istilah radio lokal tetapi tetap disebut Radio Siaran Nasional atau Radio Siaran Swasta Nasional. Maksudnya membawa juga misi nasionalisme, eksistensi bangsa dan bahasa Indonesia. Sebab sbutan penyair daerah itu lebih tepat ditujukan kepada para penyair yang ekspresinya menggunakan bahasa daerah masing-masing. Itu pun dipanggil dengan lebih merdeka semisal, Penyair Sunda, Penyair Jawa, Penyair Bali, dst. Secara eksistensi tidak lebih rendah dari penyair nasional Indonesia. Sama.

Maka berhati-hatilah menyebut mana penyair nasional dan bukan penyair nasional.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG