MINGGU BEDA

Ini tulisan hari Minggu. Gak perlu saya wisata. Dua Minggu berturut-turut sudah tiga tempat terdekat dikunjungi. Berkah libur panjang lebaran. Sekarang saatnya bikin pintu rumah dan tatakan panci. Andapun di Syawal ini pasti banyak yang di rumah saja. Paling-paling muter-muter sebentar nyari angin Minggu, penjeda rutinitas. Atau kalau yang lokasinya di desa, nongkrong di gubuk sawah atau di kebun ngilangin penat.

Tapi Minggu bahagia ini bisa saja jadi Minggu beda. Iya kan? Meskipun tulisan saya di cannadrama.blogspot.com atau ulasan saya selama ini di radio-radio bersifat bulat utuh persegi Ka'bah tetapi kan ada saja yang tetap melihatnya sebagai persepsi garis miring. Padahal ketika saya sebut daun, saya sedang menyebut oli dan kertas sekolah. Kalau saya sebut cinta saya bicara politik dan kerasulan. Ketika saya bicara air, saya menyebut bulan dan kebisingan ruang pandai besi. Ketika saya bicara jilbab saya cuma berdalil halalnya hidup halal. Karena itu saya jadi juri teater, jaipong dan joget dangdut. Tapi kan masih ada yang setia menyebut, persepsi garis miring. Itupun didistorsi. Disebut, ah teori. Padahal peryataan ya dan tidak itu ada syaratnya. Karena bahayanya hari ini, prinsip yang salah pun disebut pilihan teori. Disorientasi.

Kalau ada wasiat kepada pemuda selalu dijawab, "Ah teori!" Karena dengan demikian ia mau proklamasi, kalau cuma soal teori dia pun punya banyak cadangan teori. Tapi beritanya tak lama kemudian dia mabuk narkoba dan nyolong kepergok warga.

Lumayan benar pernyataan budayawan Emha Ainun Nadjib di TV beberapa waktu lalu ketika mengomentari siaran Qurais-Mustofa. Dia bilang, fenomena di negri ini seringkali bukan perseteruan demo antara Kurawa dan Pandawa, tetapi Pandawa dengan Pandawa.

Tapi yang gak enak kalau orang makan kepiting diteriaki dosa oleh yang menyebut kepiting haram. Padahal dia boleh mengharamkan diri atas kepiting dengan menyebut, kalau bagimu hidangan kepiting halal, berarti penghalalanmu itu yang menikmati menu halal versimu. Pandangan halal menikmati halal. Ini masih wacana halal bihalal juga.

Maka bisa jadi Minggu ceria keluarga ini juga minggu beda. Tapi bolehlah saya bertanya, beda macam mana? Apakah beda, tidak suka saya lalu membencinya. Karena hanya dengan tarekat itu bakal menuai pahala? Atau beda biasa dalam hal selera dan sudut pandang. Yang disebut perbedaan yang rahmat Allah itu. Ini ngaji universal.

Bahkan pagi ini saya ngasih makan burung parkit dan Jalak. Membenarkan sangkar perkutut juga. Bagi yang lain, bisa jadi ini dianggap pemborosan bahkan kemalasan. Suara bencinya menembus pintu. Padahal saya semisal membuat cover buku yang menarik, padahal isi bukunya jauh lebih penting. Ada juga yang menyebut, 'menggantung' burung bisa memancing kesombongan. Padahal di depan kicau burung saya diajari rendah hati. Allah lebih tentram daripada kegalauan kita yang menahun.

Kadang perlu juga saya menulis, silahkan memutar dan menjauh. Merasa beda. Tidak suka celana jeans dan sarung saya, tetapi kapan-kapan mampir sini lagi. Tulisan saya tidak berubah. Bulat persegi Ka'bah. Laki-laki berjilbab. Insya Allah. Ya, laki-laki yang memelihara burung.

Dulu pernah terjadi di suatu Jum'at. Seseorang berkata, "Silahkan duluan". Saya bilang itu kalimat tepat. Saya mau Jum'atan sementara dia pakai sarung pun belum. Yang ngaco kalau kalimatnya, "Silahkan kalau mau Jum'atan, saya lagi enggak". Nah lho. Dia ingin beda. Saya ke Utara dia ke selatan. Argumentasinya, ke selatan juga sebuah perjalanan teori. Tidakkah dia rindu kalimat, "Di manapun sampai kapanpun kita wajib satu Jum'at". Tidak ada argumen, sedang tidak Jum'atan.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG