PEMANDANGAN WISATA

Sebuah desa. Sebuah kota. Kabupaten. Sudah biasa bermaksud menjual pemandangan kepada penikmat yang lewat. Ya, minimal kepada yang lewat supaya enak dilihat. Terutama di jalur menuju ke titik wisata utama. Inginnya pasti ingin dikenang segala-galanya sebagai daerah kenang-kenangan terindah.

Kalau saya ambil contoh tiga titik wisata di Purwakarta, Situ Buleud, Wanayasa dan Jatiluhur. Ketiganya masuk katagori wisata alam. Wisata pemandangan air. Kalau kita datang dari arah Bandung atau Jakarta, maka rute yang dilewati menuju ke kota Purwakarta mestilah menyenamgkan mata. Syukur-syukur terserak titik-titik strategis untuk membeli oleh-oleh khas dan lokasi khusus sekadar beristirahat. Begitupun ketika dari pusat kota Purwakarta (Taman Situ Buleud) akan menuju Wanayasa atau Jatiluhur, sepanjang rutenya harus mengagumkan. Minimal jalan rayanya, kebersihan, dan eksotika alam dan perkampungannya yang dilewati wisatawan.

Kalau saya ambil satu contoh lagi titik wisata di Sukabumi adalah Pantai Ujung Genteng, selain Palabuhan Ratu.

Kalau laju wisatanya maju, berlaku di manapun, bahkan fasilitas sepanjang rute menuju titik wisata itu bisa ditingkatkan. Sehingga selain sebagai pemandangan mata juga sekaligus sebagai jalur kenyamanan.

Dari apa yang saya uraikan singkat tersebut mengisyaratkan bahwa pemandangan itu penting. Tidak cuma di titik utama tujuan wisata saja, tetapi juga di sepanjang rutenya.

Bagaimana kalau di sepanjang rute wisata itu jalanan dan jembatan rusak? Tidak ada lampu penerang jalan ketika pagi dan sore hari? Sampah terserak di mana-mana? Banyak bangunan yang jorok. Setengah ambruk dan tidak terurus. Perkampungan dan pemandangan alam tidak mengesankan? Gapura-gapura buruk rupa? Patung-patungnya tidak memberi daya tarik apa-apa? Tidak ada fasilitas apapun yang representatif? Dst. Tentu itu sangat mengganggu kenyamanan. Meskipun titik-titik wisata utamanya sudah mulai populer. Minimal kepada wisatawan domestik (lokal).

Dalam konsep yang lebih maju, bahkan pemandangan dan titik pemberhentian di kanan kiri jalan pun bisa dipakai untuk berwisata, setidaknya untuk foto-foto. Persawahan, gapura kampung, gerbang dan bangunan mesjid, bukit-bukit, jembatan, tugu keramik, monumen, dll bisa jadi sentrum untuk mengambil foto yang eksotis.

Khusus soal mesjid wisata, sering saya bicarakan dalam kontek Safari Jum'at. Supaya tidak kelewat muluk dulu raihannya. Biar kena juga syiar utamanya. Sesungguhnya sholat Jum'at itu ibadah yang paling menyenangkan. Apalagi dalam konsep Wisata Jum'at. Kita melakukan sholat Jum'at di masjid tertentu, lalu sesudahnya kita foto-foto di sekeliling mesjid, terutama di depan gapura atau bangunannya, lalu menikmati kuliner tidak jauh dari situ sebagai makan siang yang penuh berkah. Subhanallah. Sampai-sampai saya pernah safari di 3x 40 mesjid berbeda di Purwakarta dan Sukabumi (120 mesjid Jum'at). Untuk merasa-rasa aura di setiap mesjid-mesjid itu.

Ketika terjadi arus wisata yang pesat, maka tidak mustahil daerah-daerah tertentu yang awalnya cuma areal lintasan wisata, bisa jadi malah melahirkan daya tarik wisata khusus di kemudian hari. Untuk itu harus terbina sedini mungkin. Perda tentang K-3 misalnya, bisa turut membantu menciptakan suasana yang arif di situ.

Satu contoh. Gapura di daerah lintasan wisata jangan buruk rupa, apalagi depan pusat-pusat kantor pemerintahan. Tidak harus seragam pula kalau malah menimbulkan rasa yang monoton. Apalagi cuma terbuat dari bahan yang mudah rusak, rapuh, miring, dst. Apalagi ditempeli macam-macam (boboko, hihid, nyiru, kukusan, pengki, dll) yang malah berkesan jorok dan tidak eksotis. Terkecuali kalau malah mendatangkan pemandangan yang mempesona.

Pos ronda tradisional yang rapih dan menonjol di pinggir jalan dengan bentuk panggung dengan kentongan bambu, itu eksotis di Jawa Barat. Ada yang terbuat dari bambu atau kayu. Meskipun ada yang tembok permanen.

Secara ekonomis, sosial, historis dan filosofis untuk daerah semisal Purwakarta, simbol-simbol atau berbagai bangunan beraksen bambu dan keramik memang mestinya menonjol.

Tetapi jujur, ada juga lintasan-lintasan tertentu di Tatar Pasundan yang sudah sangat diperdulikan berbagai aspeknya. Purwakarta pun mulai menggeliat. Apalagi untuk kota santri atau kota terpelajar ini, dengan wilayahnya yang terkecil se-Jawa Barat maka dugaan saya, sektor wisata, industri dan dunia pendidikan yang akan menonjol. Hal yang mungkin menonjol lain adalah, peternakan.

Bagian terakhir, yang erat kaitannya dengan dunia kerja masa depan itu, penting dicermati, karena kabupaten wisata mana yang sektor-sektor lain yang menghidupi masyarakatnya tidak maju? Sekedar analogi, di sebuah kampung Cina yang masyarakatnya serba maju maka geliat senibudaya dan sektor wisatanya bisa maju di situ. Artinya, ada keterikatan, kemelekatan, antara kesejahteraan masyarakat secara umum dan 'gelora hidup wisata'. Bali misalnya, secara ekonomi masyarakatnya tidak buruk, sehingga segala aspek budaya dan pariwisata terpelihara dengan baik.

Pendek kata. Ada ruang dalam dan orang-orang penggerak seni dan pariwisata. Tetapi ada aura daerah wisata yang dibangun oleh seluruh sektor yang berkembang di situ. Mau tak mau.

Katarsis. Kesadaran etik estetik yang membumi dibuktikan oleh pengalaman panjang yang menjual dan membeli. Oleh karena itu senibudaya dan pariwisata harus kuat akarnya. Bukan sentimen persangkaan. Bukan buah pragmatisme politis mengerakkan masa pada suatu ketika saja. Bukan karbitan.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG