PENYAIR YAYASAN HARI PUISI DAN PENYAIR RIMBA RAYA

Penyair Rimba Raya tidak harus diartikan liar tak terkendali. Atau musuh pemerintah. Apalagi penyakit masyarakat yang doyan bikin ulah. Karena dia bisa saja seorang (berjiwa) guru, kyai, polisi, atau setidaknya orang-orang soleh. Maklum, penyair Indonesia nyari makan bukan sepenuhnya dari honor puisi tetapi dari kerja. Dari profesi. Meskipun kalau ditarik garis besarnya, tetap saja penyair itu makan puisi. Apa sebab? Sebab puisi adalah kehidupan sejatinya, kesadaran utamanya, yang melahirkan sikap-sikap, termasuk sikap mau bekerja ini-itu untuk menafkahi keluarga dan memberi santunan melalui berbagai kegiatan sosial.

Penyair Kota Sukabumi, Yuniar Irawanto, misalnya, mulai rajin menulis puisi sambil menjadi pelayan toko besi. Dan nyatanya, dia mau jadi pelayan di situ sebagai kesadaran puisi. Saya yakin Mas Ahmadun Yosi Herfanda yang pernah jadi juri cerpen majalah Islami mengenalnya.

Penyair Rimba akhirnya bisa menjadi alternatif sebutan, ketika mereka bakal menjadi insan terserak, siapa saja yang karena suatu sebab tidak masuk dalam daftar buku apa-siapa penyair Indonesia yang bakal diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi pada Hari Puisi 2017.

Seperti halnya saya pernah berargumentasi. Ketika ada penerbitan buku antologi puisi para penyair nasional. Beberapa kali saya tidak pernah dengar kabar apa-apa tentang itu. Tahu-tahu sudah terbit. Maka otomatis saya tak mungkin menyusulkan karya ke situ. Paling-paling berminat untuk membeli atau memiliki bukunya. Itu soal biasa. Empatik. Maka apakah saya telah terusir dari kepenyairan Indonesia yang konsisten? Tidak bakal terbaca oleh masyarakat sebagai manusia yang memanggul 'berton-ton' puisi sebagai materi untuk dibaca dan didiskusikan di mana-mana? Termasuk membawa dan membacakan karya sendiri tentu saja.

Kecerobohan antologi puisi nasional model itu, juga tidak bisa memaksa penyair tertentu untuk mengirimkan karyanya pada batas waktu tertentu, pada saat ia padat kerja, kejar setoran, serba payah, atau sedang terbaring sakit di rumah sakit. Padahal panggung puisi dan komunitas sastranya bisa saja tetap hidup. Sesekali ada yang dimuat koran juga. Apakah mereka ini yang tidak tercatat dalam antologi puisi para penyair itu bukan penyair?

Adanya gagasan Yayasan Hari Puisi untuk menerbitkan buku apa-siapa para penyair Indonesia tentu sangat mulia. Tetapi kalau bukan karena masalah beberapa pihak tidak akan dapat informasi sama sekali, atau uzur, ada juga yang tidak bisa memenuhi persyaratan tertentu. Misalnya, tidak punya buku antologi puisi yang terbit secara nasional dan ber-ISBN. Misalnya. Terus yang karyanya pernah dimuat koran tetapi tidak produktif di koran juga bisa apkir. Padahal satu dua puisi di situ hanyalah kehadiran di koran, selebihnya bisa berupa banyak kehadiran puisinya di mana-mana. Di ruang-ruang publik sastra. Banyak saksi hidupnya. Bahkan ajang baca puisinya diberitakan koran dan radio. Meskipun koran dan radio lokal.

Para penyair Yayasan Hari Puisi itu tentu diuntungkan kalau punya satu-dua antologi puisi yang ber-ISBN. Karena mungkin pernah ditawari penerbit tertentu untuk menyediakan sejumlah uang  sebagai biaya cetak bukunya, seperti yang pernah beberapa kali saya terima. Kebetulan saja saya belum berminat atas tawaran seperti itu. Meskipun ada juga penyair seperti itu yang cuma duduk manis di rumah, tidak 'gila puisi' di tengah masyarakat. Tidak sampai ratusan kali membaca puisinya di forum-forum sastra yang penting. Tidak pernah punya kegiatan menggerakan masyarakat untuk ikut lomba baca-tulis puisi yang promosinya dimuat koran-koran.

Saya termasuk yang diuntungkan sebenarnya. Meskipun tulisan saya tidak banyak yang masuk koran dan majalah, sejak tahun 1991 hingga 2012 saya kerja di radio dengan membawakan acara Apresiasi Seni, Apresiasi Sastra di dalamnya. Bahkan sebagai Orang Radio Indonesia, saya memulainya dengan mengajukan diri sebagai narasumber di acara Apresiasi Senibudaya. Masih ingat ketika itu, selain surat lamaran, saya juga membawa kliping-kliping cerpen, puisi dan artikel yang pada saat ini tak satupun yang ada. Maklum tinggal berpindah-pindah kota, tercecer.

Setidaknya pengalaman itu menunjukkan, saya diterima kerja di radio juga karena puisi. Selama baca puisi bertahun-tahun, baik karya sendiri maupun karya orang lain (termasuk yang bersifat sosialisasi karya penyair dari banyak buku) itu, saya digaji. Terima honor, bahasa korannya. Profesional. Ini lumayan beruntung. Tidak banyak penyair yang mengalami nasib strategis seperti saya.

Sampai-sampai ketika ada beberapa teman penyair dan teman komunitas bertanya, "Gak rajin nulis di koran lagi, Bang?" Saya jawab, "Saya dan mereka yang menulis di koran itu kan karena dua hal. Pertama, eksistensi karya. Supaya puisi bekerja secara sosial melalui halaman media massa. Kedua, karena perkara honor. Sementara bagi saya kedua hal itu sudah saya dapati di radio. Bahkan selama di radio dan menjadi aktivis komunitas saya kan sering jadi penyelenggara acara baca puisi dan  lomba baca puisi, selain dipanggil baca puisi dan jadi juri di sana dini".

Saya fikir itu bukan bentuk kemalasan. Bahkan bagian dari progresifitas.

Tetapi kalau soal penerbitan buku saya masih memikirkan itu. Karena itu karya dan nama saya ada dalam tiga antologi puisi bersama. Dan Yayasan saya pernah juga menerbitkan dua kumpulan puisi saya. Meskipun tidak terdistribusikan sebagai karya nasional. Sehingga saya cukup bangga ketika menjadi Dewan Juri Pemuda Pelopor Senibudaya di Kabupaten Purwakarta. Setidaknya background saya tidak menipu sama sekali. Bahkan masih bisa bagi-bagi buku puisi di ruang sidang juri.

Justru karena itu pula, saya masih berharap bisa masuk dalam data Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 ini. Tetapi terdaftar atau tidak, saya tetap wajib peduli pada kawan-kawan penyair handal, terlebih-lebih yang populer di tingkat propinsi maupun kota, tetapi tidak terlalu dikenal dalam peta penyair nasional. Populer disebut penyair lokal, sekadar membedakan dari penyair daerah yang menggunakan bahasa daerah. Itu sebabnya seorang penyair muda, Rudy Aliruda pernah bertanya kepada saya, "Kang Gilang kenal penyair Bogor?" Itulah maksud saya.

Kalaupun saya tidak terdata, bersama mereka ini saya harus eksis dari pintu yang lain. Setidaknya begitu perintah puisi. Kalaupun ada kalimat penghibur, semoga tercatat pada data yang kelak akan datang. Saya (kami) sudah mempercayakan pada sejarah kesusastraan Indonesia. Ihlas. Karena tak akan pernah jadi sesuatu yang tidak harus jadi.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG