PUISI DI KORAN LOKAL?

Kalau Anda sudah merasa menjadi pekerja sastra yang nyata di masyarakat. Pernah berkecimpung mengurus komunitas sastra atau setidaknya terlibat kegiatan-kegiatan sastra yang vital posisinya di daerah masing-masing, baik di suatu kota, kabupaten atau propinsi, berhentilah menggerutu merasa rendah diri dengan kalimat yang sering mengganggu telinga siapa saja, "Sebagai penyair tentu saja saya nulis puisi. Tetapi beberapa puisinya cuma dimuat koran lokal. Dan kebetulan satu dua sudah masuk dalam antologi bersama".

Saya mau katakan, yang disebut beberapa masuk koran lokal, dan satu dua masuk antologi bersama, itu semacam tanda tangan kepenyairan anda.

Bahwa kemudian anda super sibuk dengan mengurus komunitas sastra dan terlibat berbagai kegiatan sastra yang penting, itu adalah cara anda bekerja untuk sastra. Ketulusan anda. Selain yang muncul di koran dan buku itu. Terkecuali kalau yang jadi persoalan, apakah seseorang penyair itu wajib populer tingkat nasional? Dengan ukuran semisal Chairil dan Rendra, misalnya. Itu soal lain. Bukan ranah penilaian seseorang itu penyair atau bukan penyair.

Popularitas Chairil, Rendra dan lain-lain, selain karena soal keseriusannya sebagai penyair, kerja yang tidak bohong untuk dunia dan Indonesia, menginspirasi, juga banyak faktor keberuntungan yang semuanya sudah diatur Tuhan. Kita harus syukuri itu.

Intinya, serius memahami posisi kepenyairan itu yang utama. Kadang tidak lagi perlu disebut sebagai sesuatu yang dicita-citakan, tetapi sesuatu yang harus terjadi sebagai wujud kelahirannya. Karena itu puisi pasti bekerja untuk hidup. Menolak kematian-kematian.

Seperti yang pernah saya umpamakan. Pemerintah atau siapapun tidak perlu ripuh memahami, jika di tiap kelurahan se-Indonesia ada beberapa penyair. Biasa saja. Pasang mata dan telinga. Karena mereka memang harus bicara dengan kata-kata. Itu masih tetap jumlah yang sedikit. Meskipun pada kenyataannya di tiap kabupaten pun hanya ada beberapa penyair jadi. Itupun belum tentu ada di semua kabupaten. Yang banyak itu, guru sastra yang dengan kemuliaannya menyampaikan segenap rahasia sastra, serta para pencinta sastra yang berusaha menikmati dan mengambil intisari dari puisi untuk manfaat hidupnya. Termasuk para pembaca puisi yang dalam lomba atau di panggung-oanggung hadir seperti 'selebriti', membacakan puisi sebaik-baiknya. Memukau. Memuaskan. Menghibur.

Saya tahu. Aktivis sastra itu ada yang menjadi pendiri dan pembina komunitas sastra, rajin menyelenggarakan lomba, diskusi dan malam sastra, terlibat dalam kepanitiaan sastra di daerahnya, dll. Termasuk suka dapat undangan manggung baca puisi tentunya. Bahkan tidak perlu tertawa, kadang-kadang teman-teman yang aktif di suatu sanggar sastra malah mampu mengalahkan pembinanya dalam hal tertentu. Misalnya, lebih banyak piala lombanya. Lebih banyak puisinya yang dimuat koran. Bukunya bahkan terbit lebih dulu. Wajar semua. Tetapi hal itu tidak harus menjatuhkan martabat kepenyairan pembinanya selama Sang Pembina itu konsisten sebagai penyair sejak awal.

Saya sendiri suka tersenyum di depan anak kandung saya, Nurulita Canna Pambudi. Sebagai orang yang pernah membina sanggar gambar, saya tidak berkesempatan seperti anak saya, punya beberapa piala gambar dari Bupati. Sebagai pembina Gerakan Wisata Sastra bersama kawan-kawan, saya juga harus melihat bukti, anak saya itu dua kali menang piala menulis puisi di Surat Kabar Pikiran Rakyat. Papanya sendiri belum pernah punya piala dari surat kabar paling populer di Jawa Barat itu. Semua biasa saja.

Bahkan kalau kita lihat daftar nama para penyair hari ini, sangat banyak yang muda-muda. Di bawah usia 30 tahun. Kadang buku dan antologi bersamanya lebih banyak. Lebih sering juga muncul di koran.

Setidaknya dua alasan pernah saya kemukakan bagi mereka yang konsisten dengan sastra koran. Pertama, di situ puisinya harus bekerja untuk orang banyak. Namanya saja dipublikasikan. Kedua, tentu wajar buat yang punya semangat muda, progresif, ingin lebih sering merasakan honor dari surat kabar.

Tetapi bagi para penyair yang bekerja, apalagi yang super sibuk, yang sering berfikir honor tulisan tidak terlalu penting, kehadirannya di banyak kegiatan sastra sangatlah membeli hati. Sudah menjadi kebutuhan psikologis.

Sambil terus berkarya dan sesekali saja mempublikasikan puisinya, meskipun di koran yang disebut koran lokal, ia akan terus sibuk dalam rutinitas sastranya.

Tentu. Bersyukurlah penyair yang sibuk kerja tetapi masih banyak punya waktu luang untuk menulis karya di koran di sela-sela kegiatan komunitas sastranya.

Kalau hari ini saya bertanya kepada anak saya yang lumayan melek puisi itu, meskipun tidak harus penyair, siapa papamu? Mungkin dia akan jawab sekenanya, 'seniman Kyai', penyiar, mc, penyair, juri seni, guru gambar, sutradara teater, mandor, dll. Memang, kadang kita perlu juga jujur bertanya kepada anak istri kita. Orang tua kita. Mereka akan menyimpan sedikitnya sebagian dari data diri kita. Begitupun ketika penyair wanita bertanya kepada anak dan suaminya.

Pernah saya dapati romantisme yang lain. Siapapun tentu bisa mengalami hal yang kurang lebihnya serupa. Waktu itu bapak saya yang pimpinan perkebunan (Orang Hutan/Wong Alas) memeluk surat kabar dengan sukacita. Karena saya anaknya yang duduk di kelas 1 SMA/SPG sudah punya cerita pendek yang dimuat koran. Cerita remaja-dewasa yang bernasehat pula. Ada adegan ciuman pula. Padahal menurut hematnya, kalau bergulatnya di kota mungkin serba mudah, tapi ini ditulis oleh anak perkebunan dengan pinjam mesin-tik kantor bapaknya.

Dari kesaksian orang dekat yang yakin dan percaya penuh, selanjutnya kabupaten, kota, propinsi dan Indonesia yang akan menjawabnya. Sebab ia punya data kita juga.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG