PUISI DI LUAR

Puisi memang di dalam. Di dalam tanah di dalam langit. Di dalam diri di dalam luar diri. Di dunia pertanian di dunia pabrik. Di kota di desa. Begitupun ketika sebelum tahun 2000 dulu Kepala Studio Radio Lita FM menawari saya untuk bikin dan baca puisi setiap hari untuk memasuki magrib Romadhon. Saya fikir, puisi memang di dalam Romadon, gak pernah ke mana-mana. Sehingga kalau ada suatu kaum atau sindikat yang menghina, menyiksa dan berusaha membunuh Islam, dia sudah nekad menghapus puisi Romadon. Puisi puasa. Puasanya puisi. Dihapus dari dalil universal, rahmatan lil alamin. Kasih untuk semesta itu.

Maka ketika di tahun 2017 ini seseorang yang cukup dikenal di komunitas sastra, RgBagus Warsono mengabari saya, tentang akan segera terbit buku puisi, antologi bersama dengan tema 'rasa puasa', diterbitkan oleh Penebar Media Pustaka, saya sangat sukacita.

Saya segera kirim dua untuk dimuat satu. Supaya nama saya tertulis di urutan penyair ke-17 dalam antologi Tadarus Puisi itu. Dan supaya puisi berjudul Hidup Romadon itu dimuat di halaman 30. Lalu buku terbitannya sampai ke Jakarta, 24 Juli. Semua selesai dengan baik di tangan Allah.

Tapi jujur, untuk puisi yang saya kirim itu, saya perlu menulis juga soal halalnya teori, puisi yang tidak di dalam. Mungkin penyair lain sebagian sudah menyadari penuh hal ini, dan yang sebagian lain suka hal pemberitahuan ini yang menjadi jatah waktu.

Puisi saya adalah pengalaman Romadon tahun ini yang juga rasa Romadon setiap tahun yang telah lewat, dan rasa Romadon yang sudah menjadi ketetapan dan ketepatan firman Allah ke depan.

Tetapi puisi ini sesungguhnya dengan sengaja justru untuk dibaca di luar Romadon. Semisal oleh-oleh kota yang paling enak dibawa dan dinikmati di desa, atau sebaliknya.

Ini puisinya:

HIDUP ROMADON

hidup ini keyakinan
demikian firman Allah dan keramat utusan

hidup ini sholat
sehingga 24 jam kita doa-doa keselamatan semata

hidup ini zakat
membaca fitrah diri
yang telah lahir tanpa daya upaya

hidup ini memang wajib puasa
sebab dengan menahan diri
akan hadir kemuliaan dan kesejahteraan

hidup ini selamat menyelamatkan
sebagai lautan manusia
telanjang tanpa kuasa
kecuali dalam kuasaNya

Kemayoran, 30052017

Tentu. Puisi yang lugas. Karena kelugasan adalah rasa puasa dan rasa puisi saya. Rasa semua. Ketika perasan santan perasaannya memang sungguh tidak ada yang beda. Kita satu  di bukit, lembah dan angkasa puasa.

Puasa adalah semuanya. Seperti ketika saya mempertanyakan, bagi manusia sepertiga malam terakhir, mengapa harus membagi Romadon menjadi tiga?

Ya. Karena semua sepertiga milik kita yang harus dirangkum dibawa pulang. Tentu saja. Sehingga kepakan sayap malaikat di bahu dan punggung kita mesti menerbangkan puasa sebagai segalanya.

Menahan diri dari dosa bukan milik Romadon saja. Karena itu rasa puisi ini harus di luar Romadon. Kalau tidak begitu, Romadon adalah batu mati. Bukan "Batu Gilang, tempat duduk raja wayang" (larik dari antologi, Syair Wangi, Gilang Teguh Pambudi, Cannadrama). Semacam tempat tobat sebelum maksiat? Sebuah kemustahilan. Atau semisal tempat pencuri yang berdiam diri menunggu polisi di depannya lengah.

Karena puasa itu adalah umur kelahiran manusia. Maka ia berisi kesaksian, perbuatan doa, persembahan kepada diri (termasuk diri yang banyak, diri raksasa, diri yang 77 rupa), wajib tidak jahat-maksiat (menghindari kecelakaan sosial), dan menjadi pribadi dan masyarakat yang selamat  menyelamatkan. Itulah.

Maka sekali lagi. Puisi Romadon saya di luar Romadon. Kontemplasi keselamatan 11 bulan Hijriah karena paham puasa Romadon.

Tadarusnya, bacaan yang dihafalkan oleh perbuatan sehari-hari. I'tikafnya di Mesjid Agung Al-Ihlas, di seluruh atap langit siang dan langit malam. Lailatul qodarnya keniscayaan cahaya hidup. Yang guratnya di wajah-wajah hamba beriman. Nuzulul Qur'annya mengikuti sholawat Nabi, salam alaika, karena setiap kelahiran itu Qur'ani. Kecuali kematian rasa kemanusiaan. Buka puasanya, halal bihalal. Hanya menghalalkan yang halal. Menolak haram. Tarawihnya, menyerahkan segenap kerja keras harian sebagai tempat istirah dan tidur jiwa-jiwa yang tenang. Subhanallah.

Puisi saya itu di luar pertanian. Ketika seseorang lebih menyukai jadi nelayan karena tidak suka bercocok tanam. Tetapi berlayar ia seperti saudaranya yang mencangkul di sawah. Bahkan puisi saya adalah seorang dokter yang wajib menolong pasien sekarat, justru ketika teman-temannya sedang kusyu sholat Jum'at.

Puisi saya adalah wangi bunga ganyong, cannadrama (kisah bunga tasbih itu), muazin itu, ketika orang berfikir wangi itu milik mawar dan melati. Padahal itu memang berhakekat mawar melati. Ketika orang tidak mempertentangkan zikir menggunakan sepuluh jari atau biji tasbih.

Bahkan ketika saya membuat tulisan ini HP saya lowbatt. Tiba-tiba casan-nya tidak berfungsi pula. Lalu selamat oleh casan anak saya. Yang hikmahnya, kalimat saya adalah kalimat anak-cucu saya. Anak-cucu manusia.  Bukan pertanyaan suara bayang yang menyesatkan pada suatu pertunjukan teater.

Maka kalau saya pulang kerja, sambil melambatkan motor di depan Satpam, saya berusaha bilang, "Pak aku pulang duluan". Kalimat itu seperti biasanya kalau hari Jum'at saya berkata, "Saya duluan". Yang artinya, "Kamu pasti rindu untuk menyusul, seperti aku juga sedang menyusul semua yang lebih dulu". Sehingga tak ada yang berucap, "Maaf aku tidak Jum'atan". Seperti ucapan, "Maaf aku tidak biasa puasa".

Sebab hidup memang wajib puasa. Menahan diri. Termasuk menahan diri untuk tidak membunuh. Kecuali secara haq. Sampai-sampai seseorang kstaria berucap, "Aku berangkat perang duluan". Supaya yang diajak bicara pasti menyusul. Dan mustahil menyahut saat itu, "Aku tidak bisa membunuh". Padahal musuh harus hancur. Kita harus bikin sistemnya. Karena itu di kepala dan taring kita masih ada tanduk dan taring berdarah, tapi bukan tanduk dan taring syetan.

Maka puisi saya wajib tidak boleh membunuh. Karena puisi Tanah Haram.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG