SASTRA PANGGUNG, BUKU DAN SOSMED

Mau tidak mau, saya mengamati dengan jujur, memasuki tahun 2000, bahkan mulai terasa sebelum itu, sebenarnya terjadi pergeseran paradigma yang cukup serius pada gerakan sastra tanah air.

Pergerakan itu terbukti dengan semakin hidupnya sastra panggung, buku dan sosial media. Meskipun khusus sastra sosial media baru booming memasuki 2010-an.

Setidaknya itu jawaban dari semakin tidak fokusnya apresiasi masyarakat terhadap sastra koran. Apalagi dengan semakin maraknya siaran berita dan informasi di televisi yang semakin memanjakan masyarakat secara audio-visual, sampai tiap pos ronda punya TV, maka masyarakat merasa cukup dengan media itu. Meskipun tidak sedikit yang masih percaya berat kepada koran. Dan dampaknya, koran menjadi bukan segala-galanya. Apalagi ruang sastranya yang diklaim oleh pihak koran sendiri, sedikit peminatnya daripada berita.

Berbeda dengan itu, panggung sastra secara komunitas di semua titik pelosok-pelosok tanah air, dari kota sampai ke daerah terpencil, malah lebih menjanjikan gairah sastra yang menggelegak. Apalagi penyairnya sudah punya buku. Maka seperti semakin 'sah' saja dia berada di atas pentas. Sementara berbagai sosial media dijadikan alat untuk mengomunikasikan semua peristiwa sastra panggung dan penerbitan itu. Selain oleh tidak sedikit pihak dipakai juga untuk mengarsipkan kaya secara terbuka.

Hari ini kalau kita explore internet (Googling), banyak situs dan media sosial menawarkan ruang sastra. Sesuatu yang sebelum tahun 2000-an sangat sepi. Media ini mempercepat tersampaikannya segala informasi, termasuk di bidang senibudaya, termasuk sastra.

Saya sendiri banyak mengenal nama-nama penyair tanah air yang sebelumnya belum kenal, melalui media sosial. Termasuk melihat foto dan informasi kegiatan-kegiatan sastranya. Baik itu diskusi, wisata sastra, latihan-latihan, atau panggung Malam Puisi.

Efektifkah media sosial? Saya yakin sangat efektif. Bahkan menjawab kebuntuan. Karunia Allah yang maha baik. Ketika ada penyair potensial tanah air yang sibuk dan populer di propinsinya masing-masing, atau di kabupatennya, Nusantara langsung bisa mengakuinya, karena mengenalnya. Semacam seleksi dan hukum alam. Tidak harus menunggu karya dan kegiatannya muncul di koran nasional.

Sementara buku, seperti yang sudah saya singgung di awal, tetap merupakan media pengarsipan karya penyair (sastrawan) yang paling jelas. Lagi-lagi tidak harus kliping koran. Meskipun suatu buku hanya terdistribusikan di satu propinsi saja misalnya, seperti buku-buku yang saya (cannadrama) terbitkan, tetapi ulasan isi buku itu di berbagai  media sosial bisa jadi lebih cepat menasional. Meskipun viralnya bisa sangat lembut dan tidak heboh. Karena juga berkaitan dengan 'melek pendidikan', meminjam istilah aktor Didi Petet dalam suatu wawancara dengan saya.

Analoginya, kalau dibuat sinetron atau film yang sangat serius, sarat pesan kemanusiaan, bisa jadi lembut saja viral informasinya, tidak terlalu gila. Meskipun dalam kumparan yang lembut itu banyak orang-orang pinter. Tetapi tetap inspiratif. Menjaga waktu.

Tulisan singkat ini juga memberi argumentasi, bahwa tidak benar pelabelan penyair Indonesia (yang menggunakan bahasa Indonesia dalam karya sastranya) itu harus selalu diukur dengan koran atau majalah. Bahkan harus hati-hati mengukur dengan buku. Karena hakekatnya rumus karya tulis sastra itu, karya yang ditulis. Karyanya akan bekerja di tengah dunia manusia, demikian pula media yang dipakai untuk menulisnya. Apapun. Sampai seseorang, penyair atau sastrawan dikenal masyarakat karena karya dan kerja sastranya itu.

Untuk menghindari sangkaan bahwa isi tulisan ini cuma asumsi, coba tarik kesimpulan dari panggung-panggung sastra se-Indonesia. Yang komunitasnya bangga menyebarkan kegiatan itu melalui media sosial. Lalu teliti juga buku-buku sastra milik para penggiat sastra di situ. Tinggalkan dulu sejenak, melihat koran dan majalah.

Ini bukan era keterwakilan ala Chairil-sentris atau Rendra-sentris. Ketika secara politis negara menunjukkan telah mengakui eksistensi para penyair dengan menyebut satu-dua nama. Minimal sering memunculkan dalam buku pelajaran formal. Meskipun Chairil Anwar dkk tetap menonjol dan dikagumi. Yang hukumnya berlaku juga pada siapapun. Tetapi ini lebih kepada gerakan sastra rakyat. Semua ada dan bekerja di tempatnya.

Apa repot menggunakan asumsi, jika satu kelurahan memiliki 1 'penyair jadi'? Yang maksud sebenarnya, jangan heran dari satu kabupaten bisa terdata beberapa 'penyair jadi' yang aktif. Bekerja untuk kehidupan (termasuk dalam hal berbangsa bernegara) dengan sastra. Tetap saja jumlahnya tidak banyak se-Indonesia.

Satu lagi untuk soal data. Dalam dunia 'penyair jadi' hanya ada dua. Mereka yang telah mati. Dan mereka yang hari ini hidup bersama-sama dan sedang aktif bergotong-royong bekerja sastra di tempat masing-masing. Dengan cara-cara yang beragam dan saling menginspirasi.

Tentu. Penyair atau sastrawan itu tidak termasuk guru bahasa dan sastra Indonesia. Kecuali kalau guru bahasa dan sastra itu sekaligus pula seorang penyair atau sastrawan. Mereka, para guru itu, titik tegasnya adalah sebagai cahaya pemberi penjelasan bahwa bahasa dan sastra itu berguna untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia, lalu menunjukkan contoh cara-cara menggunakannya. Sehingga murid-muridnya kelak menjadi para pihak yang memahami sastra, banyak mengambil manfaat dari karya sastra itu, dan sebagian menjadi sastrawan atau penyair.

Ya ya. Semakin gemuklah masyarakat sastra kita. Ada para penyair atau sastrawan di tiap kabupaten. Ada para guru bahasa dan sastra di tiap kecamatan. Ada komunitas-komunitas pencinta sastra. Yang selalu senang dengan dunia sastra. Menikmatinya. Bahkan menjadi ruang kritis bersama. Ruang protes bersama tentang segala tema, segala aspek kehidupan, pada waktunya. Ada masyarakat umum, pembaca dan penonton kegiatan sastra. Di mana-mana ada perpustakaan, penerbit buku, dan media sosial di kantong baju dan celana masing-masing.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG