SYETAN JUMAT

Awam yang ngerti akan menerjemahkan kata Jum'at yang biasa dipakai nama hari ke 6, kalau diurut dari Minggu sebagai hari pertama, dan Sabtu sebagai hari terakhir, adalah waktunya untuk berjamaah.

Dalam puisi pendek saya, saya juga menyebut Jum'at itu pertama.

Prinsipnya, berjamaah dalam sholat Jum'at. Di mesjid Jami dengan jumlah minimal, 'kotak persegi Ka'bah', 40. Tetapi jika dalam suatu kondisi tertentu 40 orang itu tidak tercukupi di satu mesjid, maka bisa dianggap sah dengan niat menunaikan semangat berjamaah sholat Jum'at.

Tetapi secara implementatif dalam kehidupan sosial, prinsip sholat Jum'at sendiri adalah membawa segenap perbuatan harian kita, 24 jam perhari, sebagai perbuatan doa,  sebagai praktik nilai-nilai Jum'at itu.

Perbuatan doa, atau perbuatan sholat yang dibawa 24 jam siang malam itu, artinya tidak pernah melepas semangat sholat Jum'at yang menjiwai hidup kita. Semangat berjamaah. Bergotong-royong. Sehingga ketika nasionalisme (Indonesia) kita sejak pra-kemerdekaan disebut Bung Karno adalah kegotong-royongan, di dalam Islam (keselamatan hidup), Jum'at (berjamaah) itu prinsip hariannya.

Maka menolak kehancuran ummat manusia dengan berjamaah dalam kemuliaan adalah keniscayaan. Yang menolak keyakinan ini, tidak beragama. Bukan Islam.

Meminjam cara ucap Rendra dalam suatu puisinya, "Bersatulah orang-orang baik dunia!"

Parameter persatuan dan kesatuan itu, bahkan ketika seseorang berbaring sendirian di kamarnya, entah karena istirahat atau sakit, ia aman bagi dirinya sendiri dan dipastikan aman buat semua orang. Doa-doanya bukan doa maksiat-jahat. Bahkan diri pribadinya di tempat sepi, diposisikan sebagai seseorang yang wajib dijaga oleh dirinya sendiri. Di situ ada kontemplasi berjamaah. Dengan diri dan dengan orang banyak.

Apakah seseorang yang kusyu dan sibuk dengan aktivitasnya yang sendirian ikut menentukan keselamatan semua manusia soleh yang alamatnya di mana-mana? Tentu saja, karena doa kita menembus ruang dan waktu. Ada Allah yang Maha Tidak Tidur, yang bekerja. Tanpa harus ada orang-orang yang bisa baca isi hati kita untuk mengabarkannya ke mana-mana. Cukup Allah, yang derajat kemuliaannya tidak tertandingi.

Lalu bagaimana dengan manusia yang berjamaahnya langsung kepada umat manusia dengan berbagai-bagai kegiatan sosial? Apapun. Tentu. Tentu dia tangan kanan Allah. Maka ia bersyukur, "Terimakasih Ya Allah, atas kepercayaanMu. Engkau Yang Maha Memilih".

Maka murkalah Allah, jika demi keselamatan, keadilan dan kesejahteraan manusia, tidak ada kesepahaman-kesepahaman (peraturan-peraturan), kejelasan-kejelasan, yang dibuat untuk itu. Sebagai cahaya.

Kita bayangkan ada seseorang yang telah syetan di depan kita, lalu tanyalah, "Mengapa kamu berdosa? Mengapa milih sesat? Mengapa mengganggu. Mengapa merampok dan membunuh ibumu?" Maka dia akan menjawab, "Itu teori. Itu kan agama. Syetan tidak menyebut begitu. Kalau yakin akan hal itu, bukan syetan namanya". Lalu tanyalah, "Apa gak takut azab Allah? Balasan Allah yang adil?" Dia akan jawab, "Itu kata agamamu. Agama syetan tidak begitu. Itu sebabnya syetan itu tetap syetan. Tidak ada juga syetan tobat. Kalaupun disebut-sebut seseorang pernah syetan lalu bertobat, kalau dia sekarang baik, dia orang baik. Ciri-cirinya gak mungkin balik lagi jadi jahat. Kalau masih punya peluang jahat, masih syetan ia. Tapi itu pasti katamu. Karena syetan tidak pernah merasa jahat. Sekeji apapun".

Lalu tanya lagi, "Tapi kan kamu gak mau diganggu. Gak mau dibunuh. Mengapa mesti jahat sama orang-orang?" Dia akan jawab, "Syetan hanya berfikir tidak mau diganggu dan dibunuh. Itu saja. Sederhana. Karena itu dia akan mengganggu dan membunuh lebih dulu, atau kalau ada yang mengganggu dan mau membunuh, dia akan mendahului atau melayani".

Lalu tanya lagi, "Tapi kamu juga teriak-teriak kesakitan ketika peluru polisi menembus kakimu. Kamu kalah sama peluru petugas saat itu. Kalah sama Allah. Padahal kamu bisa memilih hidup yang lebih baik daripada begitu". Dia akan menjawab, "Syetan harus merasa sakit kalau sakit. Tapi dia harus jahat. Dan tidak mau mati".

Maka berkatalah kepada mahluk bengis di depan tempat duduk kita yang kita adakan dan fikirkan itu, "Kamu sangat sadis. Pantas semua manusia membencimu. Mengusir bahkan membunuhmu. Juga menyebutmu ketika mendapat celaka, itu hukuman orang jahat. Orang yang tidak beragama. Tidak Islam. Meskipun dengan ucapan rasa sesal, padahal kesolehanmu lebih utama dan dirindukan. Karena dengan cara begitu Allah menunjukkan keadilannya".

Bayangkan manusia yang syetan itu, kepalanya bertanduk. Memang bertanduk dan berdarah. Bahkan ingusnya mengandung darah dan nanah. Matanya buta sebelah. Yang sebelahnya pun hanya punya daya lihat samar-samar. Dibutakan oleh Allah. Mukanya cacat dan bengis. Nafasnya mendengus kasar. Gigi-giginya tajam. Bau busuk kemana-mana.

Bahkan persekongkolan diantara para manusia syetan itu tidak pernah setia dan langgeng. Karena sesama syetan pun harus saling menyiksa dan membunuh. Kalau tidak begitu, bukan syetan namanya.

Lalu kita beranjak dari tempat duduk kita itu untuk terus sholat Jum'at. Berjamaah.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG