APA KALIAN MENOLAK WAYANG WALI?

Bisa dicek dalam banyak tulisan Wayang Wali oleh penulis asing. Dijelaskan bahwa di situ berlaku poliandri. Gagal paham. Atau mengulik menglitik-nglitik nunggu reaksi ulama? Sementara sudah diyakini ulamanya ulama dari negara kelas tiga, dianggap gak pinter dan pasti gak siap? Padahal Pandawa Lima itu hakekatnya satu yang membelahdiri. Kata Kian Santang, jadi 7 rupa. Bahkan ada wali yang dimakamkan 7x. Ada juga yang panjang tubuh makamnya sampai 7x panjang orang biasa.

Jubah Nabi Adam 40 kali orang biasa? 

Mana hasil ngaji karakternya yang membumi Nusantara dan dunia? Bukankah karakter Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa bisa membaur atau saling menguat menjadi sebuah kepribadian yang soleh dan kuat?

Ini bagian dari keberagaman pendidikan karakter yang dimulai dari diri sendiri lalu ngaji sosial, atau kalau dibalik, kita lihat hakekat kebutuhan sosial bagi manusia lalu digunakan untuk ngaji diri. Maka ujung-ujungnya manusia disebut mahluk sosial. Mustahil tidak.

Seorang pribadi manusia baik-baik. Dari paradigma baik. Hamba yang soleh. Mereka diumpamakan bisa berkarakter menonjol seperti Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Sebagai karakter kuat.

Ketika karakter Yudistira menonjol, maka karakter yang lain melemah. Yudistira bentuk lahiriahnya. Teduh dan mengayomi. Seperti menang kalah. Tetapi ini jurus baik. Yang dikalahkan bukan karena buruk. 

Begitu pula ketika karakter Bima yang kuat, maka karakter lain melemah. Bimalah wujud fisiknya. Tinggi besar dan kuat. Punya Kuku Bima pula, yang biasa dipakai idiom keperkasaan dan kejantanan Werkudara. Tapi tidak bermusuhan satu dengan yang lain. Sama-sama mengamini kebaikannya.

Pengulangan teori ini dibuka dalam analogi wujud lima bentuk fisik. Ketika ada lima karakter baik yang bersaudara, satu mesti memimpin, maka Yudistiralah yang memimpin. Sementara yang lain menjadi 'Yudistira' dengan keunggulan popularitas nama masing-masing. Ini sesuai dengan hadis yang menyebutkan, kita mesti bekesepakatan tentang adanya pemimpin dalam suatu kelompok. Meskipun dalam hidup ini kelompok-kelompok ini banyak jumlahnya. Yang kesemuanya akan bermuara pada kepemimpinan Rosulullah SAW dan kekuasaan mutlak Allah SWT.

Ini juga ajaran berbangsa bernegara. Ajaran berpolitik berpartai. Ajaran berkelompok secara halal untuk kemaslahatan ummat di hadapan Tuhan.

Ada kalanya, kelima karakter itu diuraikan tidak sepraktis itu. Kita bisa membuka yang yang lebih rumit. Meskipun warna biru bisa menonjol pada kuning yang lemah sekali, kuning yamg 'kalah', dan warna kuning bisa sangat menonjol pada warna biru yang tak berkemampuan muncul, tetapi paduan keduanya yang proporsional bisa memunculkan warna hijau. Dan hijau itu satu karakter menonjol dan khas, yang halal menurut Allah SWT.

Begitupun, paduan karakter Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa pada seorang pribadi manusia bisa melebur proporsional menjadi satu karakter yang bisa disebut, KARAKTER LIMA YANG SATU. Menjadi pribadi yang memimpin. Menjadi seorang diri suami.

Itulah rahasia Wayang Wali. Ini termasuk argumentasi untuk mencintai wayang, ketika wilayah ini sering dijadikan area menolak wayang oleh sekelompok pihak yang tidak menemukan celah untuk mencintai wayang. Sampai propaganda pengharaman wayang itu bisa berbentuk sepanduk di mana-mana. Bahkan dikaitkan dengan agama lain. Padahal Wayang Wali itu Islami. Entahlah wayang lain yang kita tidak tahu.

Ditambah lagi, sumber cerita Wayang Wali berasal dari cerita rakyat turun temurun, tutur tinular, masyarakat Nusantara masa lampau. Bukan mendatangkan tiba-tiba sebagai propaganda mutahir dari suatu tempat tertentu. Yang artinya, kehidupan sosial kita telah memilih cerita dengan jalan ceritanya sendiri. Bahkan wujud wayang yang dipegang Dalang, itu pun asli 100% Indonesia. Tidak menyontek wayang kulit atau wayang golek negara lain. Cukuplah ini menjadi argumentasi, ngaji Wayang Wali dalam kultur ke-Nusantara-an kita.

Memang ada satu pertanyaan mendasar, jika Kian Santang yang pejuang dan tokoh syiar Islam itu bisa membelah diri jadi tujuh, apakah istrinya bisa mendatangi Kian Santang kedua, ketiga, dan seterusnya? Meskipun pertanyaannya, menemui tubuh Kian Santang untuk apa? Tetapi ketika ada musuh menyerang tubuh Kian Santang di depannya, maka ia akan dikalahkan oleh Kian Santang yang dibelajangnya. Dan yang menang, Kian Santang yang asli.

Begitupun ketika ada sesepuh kampung cerita, seseorang telah menemui Kian Santang di sumur sedang siap-siap sholat. Tetapi hanya jarak beberapa menit ia berlalu, ia melihat Kian Santang sebagai imam sholat sedang menutup sholat berjamaahnya dengan salam. Padahal jarak dari sumur ke Mesjid hanya beberapa menit, jauh lebih singkat dari lamanya sholat itu. Artinya, bertemu dengan dua-tiga tubuh Kian Santang tidak harus dalam pertarungan Ulama itu dengan musuh-musuh yang menghadangnya. Tetapi juga dalam keseharian dan syiar Islam.

Kesaksian saya. Saya Gilang, saya Muslim. Muslim itu super raksasa tak berjumlah. Bermilyar lebih besar daripada monster dunia. 

Begitulah tulisan ini pada awalnya. Sampai pada pukul 05:05 di Minggu pagi ini saya terbangun subuhan. Lalu terinspirasi untuk menulis uraian singkat dan jelas tentang POLIANDRI. 

Jalak Keling di depan rumah saya nampak mulai berkicau. Seperti seperasaan dengan Tuannya. Kadang memang aneh bagi semua orang yang punya peliharaan apapun, burung, kucing, anjing, kuda, dll. Ada kedekatan, sekaligus ada sinyal-sinyal hidup mesra bersama. Semakin meningkatkan adrenalin cinta: Kalau dengan binatang saja bisa begitu, seberapa dekat hati kita pada anak, istri, keluarga dan hidup para manusia mulia?

Untuk itu saya sempat mengirim WA (pesan singkat) kepada teman-teman di grup reuni teman sekolah (SMA/SPGN), yang mengakibatkan ilustrasi tulisan ini bergambar saya waktu masih jadi penulis koran dengan berseragam putih-abu dan siluet masa reformasi 98. Begini:

Hidup memang ada-ada saja. Terbangun pukul 05:05. Tentu subuhan. Tapi masalahnya bukan cuma itu. Ada niat nulis. Nerusin pedaran lama soal Wayang Wali, pada tema Pandawa Lima itu satu yang membelah diri, karakter-karakter pada kepribadian manusia. Sub tema POLIANDRI sebagai kenyataan hukum yang tidak disukai dan tidak dibenarkan. Seru gak? Nanti baca aja tulisannya di cannadrama.blogspot.com. 

Poliandri seperti yang ditulis penulis asing dari data Wayang Wali, setidaknya yang saya baca, tanpa saya ingat namanya, dan tanpa harus saya cantumkan namanya kalaupun saya ingat. Karena sudah kum, setidaknya sebagai pihak yang bersikap sama. Menunjukkan bahwa poliandri adalah posisi tersulit untuk dijelaskan oleh ajaran Islam melalui pertunjukan wayang. Kalau tidak disebut, saat itu dalam masa adaptasi budaya, sehingga Islam di Indonesia pernah permisif dengan itu.

Tapi jika data para penulis ini yang beredar, maka itu seperti bom waktu yang pada saatnya akan ada masyarakat yang menolak Wayang Wali sebagai sikap terpengaruh asing. Dan wilayah asing yang dimaksud berasal dari 'negara non-Islam'. Atau bersependapat dengan 'negara Islam' yang tidak ngerti sama-sekali duduk persoalan ke-Nusantara-an kita.

Dalam konsep Wayang Wali yang saya pahami. Bukan sebagai era adaptasi sesaat. Kasus poliandri bisa ditempatkan sebagai persoalan hukum hidup yang disaksikan Allah. Itu di satu sisi. Di sisi lain bisa diletakkan sebagai kenyataan yang tertolak demi penyelamatan ummat manusia. Dan Allah sudah berfirman tentang penolakannya itu jauh sebelum kasus poliandri itu terjadi melalui para Nabinya. Sampai kepada Nabi Akhir Zaman, Rosulullah SAW.

Begini. Benar poliandri adalah hukum sosial, hukum hidup yang disaksikan Allah. Bisa dianggap sebagai pilihan. Tetapi itu suatu kerumitan dan kesulitan yang sangat besar. Sedangan Allah SWT sangat memahami doa manusia-manusia soleh yang butuh keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat. Maka ia telah mengharamkannya sejak awal mula. Sejak masa Nur-Muhammad. Sejak sebelum Nabi Adam AS diciptakan.

Adapun kisah pada Wayang Wali. Pengungkapan Yudistira, Bima, Arjuna dan Nakula-Sadewa menikahi satu istri, adalah idiom untuk banyak maksud. Kesengajaan cerita di kalangan ksatria mulia. Termasuk di dalamnya terkandung pesan, kesetiaan yang sungguh-sungguh pada janji yang disaksikan oleh Allah. Sedangkan janji mulia itu hutang.

Tetapi sangat jelas. Wayang Wali menunjukkan tanpa tedeng aling-aling, sisi lemah, rumit, dan sulitnya menjalani kehidupan seperti itu. Itu di kalangan ksatria yang pinter. Yang sangat unggul paham hukumnya. Bagaimana di kalangan awam? Meskipun memakai argumentasi kesetiaan cinta (habluminanas) dan niat mempersembahkan kemuliaan kalimat suci untuk Tuhan (habluminalloh). Yang kesimpulannya, para penonton wayang malah bergerak menolak poliandri. Tetapi tidak menolak eksistensi kisah Pandawa Lima. Yang juga ditafsirkan sebagai kaum penengah, kaum bersyahadat dan sholat.

Ada pula yang menguraikan lima figur Pandawa Lima sebagai perlambang rukun Islam.

Tetapi meskipun terbuka secara tafsir sosial, di kalangan ulama (ahli), secara formal di panggung bisa jadi cukup jarang Dalang yang mau berlama-lama berkisah soal poliandri ini. Dalam ajaran ISLAM pun untuk hal-hal yang sensitif tidak diuraikan di depan umum, tetapi menjadi kajian khusus. Bahkan ada, atau banyak yang menghindari sama sekali, misalnya dengan menyebut Dewi Drupadi itu hanya istri Yudhistira saja. Satu pria saja. Tidak dinikahi oleh lima bersaudara.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG