MENYIDANGKAN SOAL PENYAIR NASIONAL

Jelas-jelas puisi dan kepenyairan saya yang natural sudah nangis dengan sendirinya. Nangis laki-laki, Wong Pinter bilang. Bukan nangis seperti pejabat publik yang cengeng, meskipun di belakangnya punya partai politik dan massa. Atau nangisnya seorang ibu, kata para Mpu. Nangis ngemong. Bukan anjing galak menggonggong minta tolong.

Kenapa saya perlu nulis begini? Tentu sebagai awalan. Sebab seminggu ini saya punya dua kabar sederhana yang lumayan penting. Pertama, nama saya disebut dalam buku Apa Siapa Penyair Indonesia (ASPI). Kedua RgBagus Warsono menyebut nama saya di antara beberapa nama yang akan 'bertaruh' dalam kepenyairan nasional.

Otomatis saya jadi tertarik untuk membuka rahasia kepenyairan nasional. Apa dan siapa penyair nasional itu?

Pertama, di cannadrama.blogspot.com saya pernah menulis tentang penyair lokal dan penyair daerah. Tentu semacam sekadar pembeda. Agar kentara dengan jelas.

Penyair daerah adalah penyair yang khas dan unggul karena bersyair dengan menggunakan bahasa daerahnya. Bahasa ibu. Meskipun popularitasnya tidak selalu segaris dengan bahasanya. Karena dalam kontek kebahasaan yang humanis-universal ia bisa dijadikan sebagai model, sebagai penyair yang berbahasa khas dan sangat populer. Itu saja.

Penyair lokal adalah penyair di suatu negara (nation), biasa tinggal di sudut daerah manapun, tetapi besyair dengan menggunakan bahasa resmi negaranya. Di negara kita tentu saja berbahasa Indonesia. Tetapi ia ihlas, ketika Allah mengamanatkan untuk populer atau menonjol di suatu daerah tertentu. Tidak wajib populer Sabang-Merauke.

Meskipun demikian, berangkat dari enerji kepenyairannya, ia sebenarnya bisa masuk katagori penyair nasional, tetapi ruang tugas atau area kerjanya hanya memungkinkannya untuk  dikenal di suatu daerah, baik kabupaten atau propinsi atau pulau tertentu saja.

Meskipun sebenarnya, logikanya, ketika dia sudah berkiprah sebagai penyair, dan dikenal di lebih dari satu propinsi, maka kepenyairannya otomatis masuk wilayah nasional. Setidaknya lintas propinsi. Dia bisa baca puisi di mana saja tanpa tersekat lokalitasnya.

Saya tentu akan sangat sakit hati, ketika saya pernah domisili di Jakarta tahun 1991, lalu ketika saya nulis di koran, saya tidak diakui sebagai penyair Sukabumi. Daerah tempat tinggal saya sejak anak-anak.

Saya akan sangat sakit hati juga ketika ber-KTP Bandung, tidak diakui sebagai penyair Bandung karena berasal dari Sukabumi. Kan logikanya kepenyairan itu untuk hidup. Tidak mengenal batas. Dengan sudut pandang itu, tidak perlu sulit saya yang domisili di Bandung disebut penyair Bandung.

Dan saya akan kecewa ketika di Jawa Barat saya bersyair, begitupun di Jakarta, di dua propinsi yang beda, lalu saya diposisikan sebagai mahluk mengambang. Kakinya tidak napak. Di satu sisi, dipertanyakan sebagai penyair nasional. Di sisi lain, ditidakkan sebagai penyair Jawa Barat yang katanya sudah 'ditinggalkan'. Dan tidak di-iya-kan di Jakarta karena orang baru. Baru domisili 6 tahunan.

Beberapa orang bahkan masih menyebut saya penyair Kendal, karena lahir di sana. Apa kaitannya lokalitas, ke Indonesiaan, dan penyair nasional? Bukankah ini pasti menarik?

Itu pertama. Kedua, ada yang menggunakan media massa, terutama koran dan majalah sebagai patokan. Atau melalui peberbitan buku untuk skala nasional.

Jika karya sastra seseorang sudah sering dimuat koran nasional dan dikenal luas, maka dia disebut penyair nasional. Atau menerbitkan buku yang populer secara nasional. Padahal ada dikotomi yang tegas antara penyair populer dan penyair Nasional. Yang pertama dikenal secara nasional meskipun tetap saja pada sebagian masyarakat, tidak menyeluruh. Yang kedua, pada sebagian yang dianggap tidak terlalu populer pun nyatanya dia populer lintas kota, lintas propinsi, meskipun di kalangan khusus, kalangan terbatas katakanlah.

Popularitas secara nasional itu apa ukurannya jadinya?

Belum lagi dinas pendidikan pun bisa mengarahkan seorang penyair menjadi penyair nasional ketika buku puisinya masuk dalam proyek penerbitan dan pengadaan buku untuk perpustakaan-perpustakaan dan sekolah-sekolah. Ini halal. Soal peluang belaka. Meskipun ada yang sok menolak dengan kalimatnya, gak berkualitas kok diorbitkan negara. Padahal yang diorbitkan itu memang penyair. Padahal yang dituntutnya, bagaimana negara membuka peluang yang berkeadilan bagi semua penyair Indonesia.

Alinea terakhir ini menyebut, penyair Indonesia. Tentu antologi bersama mereka bisa memasukkan para penyair Indonesia yang sementara ini populer di daerahnya masing-masing. Lalu apakah penyair Indonesia berbeda dengan penyair nasional?

Nampaknya dalam hidup gotong-royong, penuh empatik dan welas-sosial, keangkuhan-keangkuhan yang mesti ditumbangkan. Di kalangan seniman jangan 'merasa paling', ketika yang di daerah pun berpola pikir dalam arus perjuangan humanis-universal yang sama. Cukup berderap bersama-sama saja. Perbedaan itu cukup di wilayah purba, antara salah dan benar. Bagaimana mungkin penyair yang berparadigma keliru dan merusak akan dianggap lurus dan mulia?

Pun negara. Jangan bikin anak tiri, dalam paradigma politik kekuasaan. Pragmatisme ini jelas mengacak-acak simpul anyaman, jaring laba-laba masyarakat kita. Semua mesti disikapi proporsional-konstitusional. Berada dalam sistem nilai kemanusiaan. Yang tentu boleh saja diharapkan cenderung menguntungkan kekuasaannya.

Asal yang terbangun sebuah kekuasaan yang baik, para penyair sudah tentu mendukung. Seburuk-buruknya, berpartai yang beda dengan partai pimpinan negaranya, karena berharap perubahan di masa yang akan datang, bukan menolak kepemimpinan saat ini. Dan ini bukan preseden buruk, kehancuran seorang pemimpin yang baik.

Mahasiswa bahasa dan sastra, guru bahasa dan sastra, komunitas-komunitas sastra, perpustakasn-perpustakaan, dll sangat menyebar di seluruh Indonesia. Ini artinya, mereka eksis dan berpengaruh. Tidak hanya kepada masyarakat sepihak tetapi secara menyeluruh. Bukankah guru kelas memberi pokok bahasan puisi kepada siswa sekelas, tanpa kecuali. Maka pemerintah dan masyarakat mesti tahu ini.

Justru jika keberadaban kita anjlok atau tidak humanis, apakah simpul-simpul sastra ini gagal?  Salah urus? Atau telah dikorbankan oleh pemerintah sebagai sesuatu yang salah? Dimanfaatkan secara politis secara salah? 

Propaganda yang numpang sastra, atau bahkan propaganda sastranya salah? Atau diperempit maksud-maksudnya: Sesungguhnya guru sastra itu butuh dana turun berupa gaji bulanan dan tunjangan belaka. Sesungguhnya komunitas-komunitas itu butuh keikutsertaan pemerintah dalam hal fasilitas, program kegiatan, dan anggaran, dll. Seputar itu saja. Sehingga sastra menjadi semacam proposal keluarnya anggaran. Tidak murni perjuangan sastra lagi.

Dalam jujur-jujuran kesusastraan kita. Memang menarik kita bicara, mempertanyakan, siapa sastrawan dan penyair nasional itu? Sebab ketepatan menunjuk keputusan sejarah hidup, terasuk di dalamnya sejarah perjalanan sastra, yang tersosialisasikan secara baik, akan mengakibatkan sistem kesusastraan kita membuka ruang-ruang kesadaran sastra dan ruang-ruang peradaban.

Kalau saya mesti kembali ke alinea pertama tulisan ini. Air mata laki-laki, air mata seorang ibu, bahkan air mata malaikatlah yang telah membuat saya melahirkan puisi. Sekali lagi, melahirkan puisi, sebagai kewajiban 'manusia hamil'. Untuk kehidupan. Dan ini pengalaman seluruh penyair yang ihlas.

Tetapi memang, penyair itu harus punya karya. Minimal punya satu buku. Baik antologi sendiri atau antologi bersama. Sama saja. Yang penting ia diketahui memiliki karya. Karena siapa yang bisa menolak ketika ada penyair yang punya kojo, skak, smash, melalui satu-dua puisi populer, selebihnya ia punya puisi panggung yang dibaca di sana-sini dan dilihat orang banyak? Siapa berani menolak? Syukur-syukur punya 100 buku antologi puisi sendiri yang best seller. Lumayan juga duitnya. Atau punya karya yang pernah terbit di koran atau majalah. Atau pernah dibaca dan dibahas di berbagai media masa lain.

Saya sendiri pernah mengkritisi untuk kepentingan luas. Karena ketika seorang penyair yang diwawancarai TVRI atau TV lain, sekali seumur hidup, diakui, mengapa kalau ada penyair diwawancari dan baca puisi di radio tidak diakui? Termasuk mengapa kalau ada pembawa acara Apresiasi Sastra yang nyata-nyata seorang penyair tidak diakui? Tidak ada jaringan apapun yang menyentuhnya? Atau, salah pihak mana?

Terakhir. Popularitas memang sangat berpengaruh pada masyarakat pencinta sastra dan masyarajat yang dididik untuk tahu kesusastraan.  Untuk itu agar terhindar dari pragmatisme popularitas atau agar tidak terjebak sensasi semu, maka kata kuncinya, puisi dan kepenyairan itu harus bekerja.

Sehingga ketika sebuah pena harus menulis tentang puisi, kepenyairan seseorang, dan seluruh perjalanan hidupnya, bahkan lebih afdol sampai akhir hayatnya, para pembaca telah diberi hidangan materi sidang berupa persoalan, mengapa dia disahkan sebagai penyair oleh hidup ini?

Mengapa dia penyair terdepan, percontohan, dan tidak ditolak kitab suci?

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG