ONDEL-ONDEL TOLAK BALA (?)

Ada, beredar di Betawi bahwa pada jaman dahulu ondel-ondel berfungsi sebagai tolak bala. Macam-macam cerita rakyat ada di belakang itu. Apakah Anda mempercayainya?

Tolak bala yang paling hakiki adalah niat hati untuk menginginkan sesuatu dan menolak sesuatu. Biasanya di kalangan terdidik dan insan beragama berada di garis lurus, niat baik menolak niat jahat. Niat jahat yang ditolak adalah niat jahat dalam diri dan niat jahat dari pihak lain.

Tolak bala juga berlaku untuk menolak penyakit dan menolak nasib buruk. Dalam bahasa agama, tolak bala bisa diartikan berdoa. Sebab berdoa adalah berharap kebaikan dan menolak kemalangan. Berharap keselamatan menolak celaka. Tetapi doa-doa bisa disimbulkan dengan suatu bentuk dan warna. Semisal janur kuning dalam adat nikah sering ditafsirkan sebagai kematangan, kesadaran, ikatan sejati yang dikenal, bahkan berorientasi pada kesejahteraan lahir batin. Yang sesungguhnya itu adalah doa dalam suatu bentuk karya seni.

Roti buaya pun perlambang. Doa juga. Yang menunjukkan kehidupan yang saling membutuhkan antara suami dan istri. Membutuhkan sisi lahir dan sisi batin. Tidak ingkar dari itu. Yang berarti ada cinta. Bahkan pada nikah yang disebut 'dijodohkan' sekalipun. Karena dalam ajaran Islam itu ada. Tetapi prinsipnya, dijodohkan yang diterima. Artinya ada cinta.

Jadi kalau disebut di balik ondel-ondel ada teori tolak bala, tentu kita tidak bisa memustahilkannya. Tetapi bagi pengaji hikmah, karena cerita rakyat bisa bersayap kemana-mana, maka menarik garis lurus yang utama di situ jauh lebih penting. Ini terjadi di seluruh daerah di muka bumi ini. Bahwa menolak tradisi tertentu, termasuk cerita rakyat, itu ada.

Saya perlu mengingatkan juga. Bahwa di bawah sadar kemanusiaan kita, setiap kali melakukan sesuatu yang diniatkan untuk kebaikan, di situ sudah berlaku tolak bala. Sudah bekerja doa-doa. Dan Allah Maha mendengar dan tidak tertipu.

Sekadar contoh. Seseorang mengecat rumah dengan biru langit, katanya supaya teduh dan cerah. Apa itu bukan doa. Apa itu bukan tolak bala? Begitu juga ketika ia mengecat separuh temboknya dengan warna gelap atau Hitam, bahkan memberi warna gerbang besi dengan cat merah. Hitam sering ditafsirkan rahasia, misteri, kedalaman ilmu dan ketenangan. Sesuatu yang tidak menakutkan. Dan merah menunjukkan dewasa dan percaya diri.

Itu sebabnya di pulau Jawa, termasuk di Betawi, orang-orang tua dulu sering disebut-sebut sangat menghayati hikmah. Sangat berhati-hati. Yang artinya mereka cerdas. Padahal sudut pandang lain malah memojokkannya sebagai kebodohan pribumi, dipropagandakan oleh pihak penjajah.

Orang dulu disebut banyak aturan. Begini begitu selalu diikuti mesti begini dan begitu. Padahal itu suatu kehati-hatian. Suatu kesadaran yang dewasa. Meskipun otokritiknya di pihak awam yang tidak tahu-menahu, ia hanya menuruti pendapat tokoh tertentu yang bisa meyakinkannya, meskipun mereka tidak tahu kemana arah keyakinan tokoh yang dipercayainya itu. Sebab di jaman nabi pun ada tokoh-tokoh yang disegani tetapi anehnya tidak bisa memahami ajaran nabi yang nyata-nyata terang-benderang.

Itulah sekilas tentang kedekatan kita dengan teori dan prinsip tolak bala.

Saya tambahkan satu lagi. Semoga bermanfaat. Pertama, ketika ngarak ondel-ondel berarti ngarak segenap niat baik, selain misi menghibur, maka siapapun yang mendukungnya, minimal menyukai dan selebihnya bersedekah atau nyawer pelaku seninya, maka itu artinya ada sinerjisitas doa. Melalui ondel-ondel semua sedang berdoa bersama. Termasuk mendoakan agar para pemainnya bisa terus mentradisikan ngarak ondel-ondel, jangan sampai sepi, jangan sampai mati.

Kedua, ketika kemiskinan itu jahat. Maka otomatis pada terminologi ini, hidup tidak boleh miskin karena miskin itu jahat. Kemiskinan itu sangat menyiksa orang yang miskin itu. Oleh sebab itu Allah mencintai hambanya yang terus berusaha.

Dari ngaji fitrah diri. Batas minimal manusia adalah ketika masih bisa makan normal sehari-hari. Ini ajaran suci agama. Ajaran ISLAM.

Maka ngarak ondel-ondel adalah juga niat meraup rejeki halal, minimal bisa mencukupi makan sehari-hari itu. Agar tidak diserang kemiskinan yang jahat. Agar ada tolak bala atas monster kemiskinan yang tega menyiksa manusia itu. Agar Allah dan malaikatnya bersukacita. Ya bersukacita bersama masyarakat yang terhibur juga.

Yang harus dihindari adalah menjual kekumuhan dan kemiskinan. Memang mesti begitu. Karena menghibur orang-orang yang menonton juga tolak bala.  Ini bisa direnungkan matang-matang. Masyarakat dapat hiburannya yang enak dilihat dan nyaman, sementara pelaku seninya dapat saweran. Di situlah Allah dan malaikat bisa senang.

Kalau ada orang miskin yang akan ditolong oleh pertunjukan ondel-ondel, semestinya ada bapak atau ibu angkatnya. Dia menjadi pihak yang memoles anak asuhnya agar tampil menarik dan bisa meraup uang untuk menyambung hidupnya. Agar terhindar dari beban kemiskinan. Minimal untuk beberapa saat, sebagai batu lompatan, sehingga mereka aman dari kebutuhan makan sehari-hari.

Pada catatan ini kita terpaksa melihat dua sisi itu. Ondel-ondel yang profesional dan ondel-ondel yang sekadar penyelamatan dari suatu kondisi sosial tertentu yang sifatnya sesaat. Kenyataan ini sekaligus suatu celah jawaban bagi para pengamat sosial yang bersedih melihat fenomena hitam di balik ngarak ondel-ondel. Konon ada sekelompok remaja yang juga memanfaatkan aksi ngarak ondel-ondel ini untuk mabuk-mabukan. Uangnya tidak dipakai berbuat halal. Yang tentu saja bukan tolak bala, tapi malah memanggil bala-petaka. Itulah bukti jahatnya kemiskinan, kali ini kemiskinan ilmu, kemiskinan kesadaran. Monster yang kejam.

Lalu mengapa ada ondel-ondel laki-laki yang suka digambarkan bermuka merah yang seram?

Sesungguhnya bukan pakem wajib secara bentuk. Maka ada juga ondel-ondel laki-laki yang dibuat ganteng normal seperti bintang film. Bahkan mirip Benyamin Sueb.

Kalaupun dibuat seram, bahkan agak bertaring, itu ada logikanya. Begini. Ketika Musa dikejar-kejar ahli fitnah yang mau membunuhnya, dia berteriak kepada Allah, mengapa niat baik harus binasa? Lalu Allah menjawab, tegakkan hukumnya, tegakkan keadilannya. Maka Musa sadar, ia harus lebih tegas daripada para pembunuh itu, harus menakut-nakuti penjahat demi keadilan, harus bengis, pedangnya wajib terhunus. Sehingga lahirlah ketentraman di muka bumi karena para penjahat bertekuk lutut. Itulah tolak bala. Bahkan taringnya bisa berdarah.

Contoh lain kisah dalam Wayang Wali, Sri Kresna. Wujud yang halus dan banyak senyum itu, kalau sudah ngamuk bisa berubah wujud menjadi raksasa yang seram yang raungannya menggetarkan bumi dan langit. Apalagi pijakan kakinya. Dia bisa membunuh siapa saja yang mengganggu.

Maka, mari kita lihat dua wajah ondel-ondel itu. Okelah, yang laki-laki lebih seram. Seperti bertaring dan bertanduk, meskipun tidak dimunculkan. Lalu yang perempuan. Putih bersih dan penuh senyum. Tapi bukankah malaikat pencabut nyawa pun bisa berpenampilan begitu? Lembut tetapi jago memanah seperti Srikandi.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG