KERJA JUJUR PENYAIR

Kaukah Yusuf Sulaeman
Yusuf yang tampan panahnya
Disukai segenap pria wanita
Sulaeman yang mempersembahkan
Segala kekayaan
Kepada seluruh yang dicintai 

Judul Puisi: Arjuna 
#puisipendekindonesia
-----

Apa yang telah diajarkan orang tua kita tentang kejujuran?

Tentu, jujur yang kita maksud adalah amanah. Menerima lahir batin ajaran kebaikan, dan mempertimbangkan apapun dengan standarisasi kebenaran dan kemuliaan.

Norma standar kebenaran dan kemuliaan itu bersifat universal. Islam menyebut, Islami. Keselamatan lahir batin. Keselamatan dunia wal akhirat.

Dalam kontek kerja. Profesional. Kita memiliki standar profesi. Kompetensi. Tidak berbohong kepada intansi atau perusahaan tempat kita bekerja. Sebab dengan demikian kita bisa melaksanakan semua tugas semaksimal mungkin. Setidaknya kita telah memiliki dasar-dasar untuk berkembang di lembaga kerja itu.

Maka orang tua biasa berkata, orang bodoh dan pemalas tidak akan dapat tempat di dunia kerja.

Kalau kita guru, tentu mesti berposisi di lembaga yang mempekerjakan seorang guru dan berlaku sebagai guru terbaik. Teladan di situ. Kalau kita wartawan, kita dituntut ini itu, begini begitu oleh lembaga pemberitaan atau lembaga siaran yang mempekerjakan kita. Begitupun kalau kita polisi, tentara atau dokter. Bahkan seorang tukang ojek dan tukang sol sepatu tidak bisa main-main dengan profesinya.

Dalam berbagai profesi itu, kita termasuk orang yang menempati salah satunya. Mungkin Anda seorang pedagang? Seorang pengusaha? Pelukis yang punya galeri lukis? Petani? Buruh pabrik? Teknisi? Pelayan toko? Dll.

Tapi dari dalam semua profesi itu, siapa yang penyair? Tentu, penyair adalah kemampuan dan pekerjaan khusus, yang bisa terus digeluti sambil kita konsisten dengan profesi apapun. Ini sudah biasa dari sejak jaman pra-kemerdekaan Indonesia dulu. Banyak pujangga-pujangga saat itu yang bekerja di berbagai kantor, berbagai profesi, tetapi dia penyair. Punya karya, berani tampil dan diakui masyarakat.

Justru tulisan ini, sambil membaca wacana umum soal pekerjaan dan kejujuran kita dalam bekerja, ingin lebih mendalam memahami posisi kerja kepenyairan dan bagaimana konsisten dengan kepenyairan kita di situ.

Kepenyairan adalah panggilan Allah, panggilan hidup, kepada seseorang yang ditandai dengan kemampuannya bersyair dan memahami syair yang sangat menonjol. Kemampuan itu butuh latihan dan kerja keras dalam mengolahnya. Sampai posisi keahlian penyair itu besar manfaatnya untuk masyarakat, untuk manusia secara menyeluruh.

Cara syair bersosialisasi banyak ragam. Bisa melalui media cetak, seperti koran, majalah, buletin, buku dll. Bisa melalui media radio dan televisi dalam bentuk pembacaan puisi/ syair yang bersifat audio dan audio-visual, juga dalam bentuk wawancara. Bisa melalui panggung terbuka, dibacakan di depan orang banyak yang menonton atau didiskusikan. Bisa melalui kunjungan ke lembaga-lembaga pendidikan dan sosial, berupa baca puisi, bedah buku, dan tanya jawab. Bisa juga melalui media internet. Di internet bisa berbentuk karya tulis, maupun audio, dan audio-visual.

Yang kita bahas pada alinea terakhir tersebut menunjukkan ruang tempat syair bekerja, berpengaruh baik, yang dalam bahasa spiritual (relijius) disebut amanah dan Istiqomah, kepada masyarakat manusia. Argumentasi itu sekaligus menolak kesombongan sementara pihak yang menidakkan profesi kepenyairan seseorang gara-gara memilih satu-dua dari ruang kerja syair itu.

Satu ilustrasi saya sampaikan. Pada waktunya kita bisa takjub kepada seorang penyair yang rajin baca puisi dari panggung ke panggung. Apalagi dia juga punya komunitas atau semacam forum yang mengumpulkan anggota atau aktivis setiap minggu atau setiap bulan secara rutin. Dan di situ ia baca puisi bersama teman-teman 'segila' dengan dia. Maka makin kuatlah porsi jam terbang kepenyairannya.

Tapi ok, nanti dulu. Dalam tulisan saya di cannadrama.blogspot.com sebelum ini saya telah mendefinisikan dua posisi yang berbeda. Yaitu pembaca puisi, artis yang ahli membaca puisi, dan penyair yang keahliannya membuat puisi / syair, meskipun ada yang jago baca puisi, dan ada juga yang biasa-biasa saja, alias cukup punya kemampuan baca 'standar', sekadar tersampaikan maksud isi puisinya.

Yang kita contohkan pada tulisan ini tentu saja penyair yang sudah biasa mentas dari panggung ke panggung, dari mikrofon yang satu ke mikrofon yang lain. Dari satu titik peta ke titik peta yang lain. Baik itu di dalam satu kota/ kabupaten, maupun yang sampai ke berbagai kabupaten/kota. Bahkan lintas provinsi.

Argumentasi kita, mustahil tidak menyebut dia penyair. Sekali lagi bukan pembaca sajak, tetapi penyair. Sebab penyair punya kualifikasi dalam menghasilkan sajak-sajaknya. Sesederhana apapun bahasanya, se khas apapun karyanya itu. Sementara kuncian itu tidak akan dimiliki oleh seseorang artis yang memang tugasnya cuma baca puisi.

Bahkan ketika seorang pembaca puisi memaksakan diri jadi penyair, kadang-kadang terjadi banyak kendala, karena dia tidak punya swa-kelola terhadap rasa kepenyairannya dalam melahirkan kata-kata yang kuat, dan tidak memiliki segenap rasa manusia, sebagai azasinya puisi. Sehingga kata 'aku', termasuk dalam peristiwa pribadi yang dipinjamnya, adalah universalitas itu. Ini yang dimaksud butuh berlatih dan kerja keras, serta jam terbang tampil di tengah masyarakat.

Selain itu penyair punya sensitivitas kepenyairan, menampung gagasan, menguatkan inspirasi, dan melahirkan karya dalam setiap melihat peristiwa-peristiwa.Multi tafsir dan ambiguitas yang sering kita sebut sebagai kedalaman yang disadari, adalah sentrum pertemuan segenap teori.

Pertanyaannya sekarang, siapa akhirnya penyair itu? Yang seperti apa? Atau seperti apa saja? Dan siapa yang mesti mengetahui dan memahami kepenyairan seseorang?

Siapakah penyair yang telah sesungguh-sungguhnya bekerja dengan kepenyairannya? Tidak cuma mengaku-ngaku penyair. Siapa dia yang telah datang dari timur atau barat, utara atau selatan, dan daun-daun pada semua pohon telah menyambutnya dengan kalimat, "Penyair kita telah datang, nyata ada tanda-tanda di pelipisnya!"

Dan saya perlu pertegas di akhir catatan singkat ini. Bahkan ketika seorang penyair berkalimat sederhana, seperti orang kebanyakan, "Aku mencintaimu". Maka kata-kata itu menjadi luar biasa karena dia. Gara-gara dia. Karena namanya. Seperti semua orang bisa bilang, 'aku ini kan binatang jalang'. Di semua warung kopi sebelum Chairil menulisnya. Tetapi ketika Chairil telah menulisnya, kata-kata itu menjadi begitu dahsyat. Menjadi semakin marak. Banyak yang mengucapkannya, bahkan mengulang-ulangnya. Karena dia telah terpilih untuk menulis dan menyampaikan segala yang dasyat dari kelumrahan-kelumrahan itu. Sebab banyak manusia telah terlena dengan hal biasa, bercanda-canda, kurang merenung atau tenggelam ke dalam hakekatnya.

Bahkan sebuah kalimat atau frase 'salah asuhan' adalah bahasa sehari-hari orang Indonesia, tetapi menjadi luar biasa di tangan penulis yang dipilih oleh kehidupan ini untuk membuat sebuah roman. Analoginya, ucapan 'selamat pagi' seorang presiden di mimbar pidato yang berkekuatan sosial-politik akan terasa beda dengan ucapan selamat pagi teman kita dalam pergaulan sehari-hari, sebab presiden diberi kedahsyatan dalam ucapannya yang sederhana itu. Dalam kapasitasnya sebagai presiden. Begitu pula penyair, pada kapasitasnya sebagai penyair.

Dia terpilih karena ihlas. Karena jujur dengan kerja kemanusiaannya. Konsisten. Mengefektifkan setiap kata-kata, bahkan setiap kode, untuk berbahasa puisi kepada para manusia semua.

Tapi di waktu lain kita bisa bicara banyak soal kedahsyatan ucapan teman sepermainan, bahkan canda-candanya, yang selalu jadi kenang-kenangan, karena itulah simpul anyaman, jaring laba-laba, tali kemanusiaan yang sejati. Di situ pula kita merasa bersama. Di situlah hidupnya pesta panen sekaligus tari pergaulan itu.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG