MELIHAT TAHU

SELALU BAYI LAKI-LAKI PERTAMA

sebagai bayi laki-laki
aku dilahirkan setiap hari
oleh apa yang kau sebut cinta

Kemayoran, 30082017
------

KAMU DAN KAMU

kamu mengkhianati orangtua

dan kamu menipu anakcucu

Kemayoran, 02092017
------

DUNIAIS

maka perkutut ia
maka batik ia
maka keris ia
maka wayang ia
maka sarung ia
maka jilbab ia
maka berkebaya ia
maka pake daster ia 
maka duniais ia
maka aku ia

Kemayoran, 18062017
#puisipendekindonesia 
------

Aku melihat orang-orang yang terjebak salah, biasa berkelit, dan mencari-cari celah secara diam-diam, sendiri atau menggunakan sistem, jaringan orang banyak, untuk menemukan pintu masuk agar sikapnya dianggap benar. Padahal terang-terang memulainya sudah salah.

Sekadar ilustrasi. Seseorang telah menyebut, Si Fulan itu penjahat yang harus dihukum. Begitupun sindikat yang telah mendukung kejahatan Si Fulan. harus kena sanksi hukum. Padahal pada saat yang sama Si Fulan tidak merasa penjahat, dan para pihak yang simpatik tidak menemukan Si Fulan itu penjahat. Maka otomatis tidak ada urusan dukung-mendukung kejahatan di situ.

Karena polemik berlangsung terus-menerus, bahkan berkembang semakin cerdas, akhirnya seseorang yang menuduh itu mencari dalih, "Saya kan cuma bilang, ini tataran paham hukum, bahwa orang yang jahat dan pendukungnya harus dihukum. Ini pendapat hebat. Pendapat yang lurus. Sebab negara kita negara hukum".

Aku masih sering melihat orang-orang, yang berbuat salah kepada Allah, salah menurut pintu tafsir mulia apapun, bahkan sering kebetulan benar-benar termasuk katagori melanggar juga menurut hukum formal yang berlaku. Tetapi ketika kepepet ia berdalih, ini undang-undangnya seniman. Seniman itu khas. Berbeda dengan orang awam. Berbeda dengan ulama.

Aku masih sering melihat orang-orang yang menghakimi orang lain sebagai kafir, murtad, atau melakukan dosa besar, sehingga sangat pantas dihina-hina, dikucilkan, padahal seseorang yang dituduh itu baik-baik saja. Punya dalil yang kuat untuk meyakini kebenarannya.

Artinya sang penuduh itu tidak mau berihlas hati untuk menyelami dulu secara lebih dalam duduk persoalannya. Seolah-olah angin sekilas yang berhembus sudah menjadi kabar kebenaran. Padahal pendapat-pendapatnya dihadapkan pada kesaksian orang banyak. Massa yang emosional dan mudah terprovokasi, meskipun pada waktunya bisa berubah juga pendirian dan sikap-sikapnya.

Aku masih melihat orang yang ceroboh berargumentasi soal hukum agama dan hukum formal. Padahal hukum langit yang mulia itulah yang telah menginspirasi hukum formal yang benar. Dalam hukum agama misalnya, seseorang menyebut, "Sholat Jum'at ataupun tidak itu sama saja". 

Bagaimana mungkin demikian? Secara filosofis, sholat Jum'at itu artinya penyerahan diri, hadir diri, berbuat mulia bersama-sama di hadapan Allah. 

Secara sosial, mustahil manusia tidak mengembangkan kesetiakawanan sosial untuk menyelamatkan semua manusia tanpa kecuali? 

Secara kultural, budaya, gerak hidup manusia akan sangat besar manfaatnya untuk keselamatan dan kesejahteraan lahir batin manusia ketika kita dikuasai oleh 'daya' Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia itu. 

Secara psikologis, ketentraman dan kemenangan hakiki itu ketika kita merasa benar di dalam diri dan merasa diamini oleh orang-orang benar yang berjamaah, dari masa lalu hingga ke masa depan, tak lekang oleh waktu.

Dengan hujjah yang terang itu, masihkah seseorang pantas mencibiri bahkan mengentuti agama dengan mengatakan, "Sholat Jum'at dan tidak, itu sami mawon". Apa susahnya sebagai muslim dia jujur berkeyakinan, "Marilah kita bangkit sebagai insan Jum'atan!"

Begitupun ada yang berkomentar, "Berjilbab dan tidak berjilbab sama saja".

Ada yang berdalil sepihak, "Karena Qur'an itu artinya bacaan, maka apa bedanya baca Qur'an dan baca koran?" Dlsb. Bahkan kadang disertai aksi menduduki kitab suci Al-Qur'an.

Ya tentu saja, sebagai benda, buku itu diam saja saat diinjak. Maka Allah telah berfirman, "Jangan menyembah benda mati".

Tapi, kitab Al-Qur'an itu ketika dipeluk, dicium, dan diletakkan dengan sangat hati-hati, yang dihormati disunggi-sunggi adalah isinya. Bukan lembaran kertasnya. Maka pihak-pihak yang mengaku cuma menginjak kertas, sangatlah keji. Padahal ia tahu, orang lain berbuat kepada isinya yang tinggi dan mulia. Terkecuali ketika seorang petugas percetakan menumpuk kitab Al-Qur'an di atas truk, lalu dengan bismillah ia terpaksa menaiki dus yang berisi Al-Qur'an, itu bisa terhukum halal. Sebab ia sedang berbuat mulia meskipun begitu. Sebab sangat jelas niat baiknya. Tidak sedang menghina siapa-siapa, tidak sedang menginjak Allah SWT.

Ah, masih banyak lagi. Masih banyak.

Tiga puisi pendek di awal tulisan ini adalah soal, aku yang kamu, kamu yang lain, dan dia yang aku. 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG