MEMBACA PENYAIR MEMBACA

karena puisi itu
memaksakan diri

Judul Puisi : Puisi Karena
#puisipendekindonesia
-----
INI soal.

Propaganda ayo membaca selalu terdengar setiap hari. Bahkan jadi ngiang-ngiang setiap lepas dari momen-momen besar, semisal hari pendidikan, bulan bahasa, hari aksara, hari bahasa ibu, hari kebudayaan, hari perpustakaan, dlsb.

Meskipun, saya masih belum yakin propaganda ayo membaca itu sudah berhasil. Jangan dulu pakai parameter pengetahuan dari membaca yang teraplikasikan pada cara dan gaya hidup terdidik. Jangan dulu pakai itu. Sampai pada tataran memahami yang dibaca pun masih sangsi.

Paham baca berarti paham bahasa, paham semua yang dibaca. Itu sangat jauh melompat ke depan dari sekadar mampu membaca rangkaian huruf-huruf bertanda baca. Maka program menghapus buta aksara, itu baru permulaan yang dini.

Bahkan di tahun 2017, saya belum yakin semua mahasiswa benar-benar doyan, apalagi jago baca. Sebab doyan berarti kecanduan. Secara intelektual bahkan selalu ada spiritualitas yang mengikuti. Ada daya magisnya. Dalam bahasa prokem, ada kesurupannya.

Membaca tidak lagi sekadar membaca buku ini dan buku itu. Tidak lagi terpengaruh kata teman, sudah baca buku ini belum? Itu tidak berguna sama sekali. Sebab membaca adalah kebutuhan pribadi yang luas dan agung. Tidak sempit. Ia menelusur dan menemui huruf, kata, bahasa, teori, hukum, hikmah, ruang-ruang, semua kemungkinan, keluasan tanpa batas. Termasuk dengan membaca tiga-empat buku tipis yang di ulang-ulang. Tapi buku terpenting menurut dia. Itu tarekat namanya.

Sekarang saya tidak sedang di paragraf penjual buku. Tidak juga sedang menjadi guru atau dosen yang gagap. Sehingga biasa melontar kalimat, rajinlah membaca. Tapi gak jelas arahnya. Apalagi berprasangka, membaca sebanyak mungkin baca buku akan pintar. Malah yang ada, kata Si Poltak bisa jadi botak.

Padahal saya penganjur, bacalah buku sebanyak mungkin dengan cara-cara mustajabnya. Lempar bab, alinea, kesimpulan dan rangkaian tulisan yang salah dan sial. Sebab itu racun. Bukan buku. Bacalah minimal bagian-bagian terpenting dari buku itu. Sehingga sehari tidak mustahil kita bisa membuka dan membaca lebih dari 30 buku. Padahal kalau rata-rata menyentuh isi 5 buku sehari, berapa buku setahun? Bisa lebih dari 1500 buku? Ini baru paragraf jualan buku. Setidaknya menguntungkan para pedagang.

Saya tambahi. Biar bukunya laku, bikin covernya yang bagus, yang menarik. Soalnya yang covernya tidak terlalu menarik tetapi isinya bagus, itu ada di rak buku saya.

Biar laku lagi, bikin yang tebal-tebal, soalnya banyak yang merasa intelek dengan buku tebal. Meskipun cuma untuk dipandangi covernya. Sementara saya senang buku tipis karena sangat praktis. Bisa dibaca berulang-ulang di dalam bus berangkat dan pulang kerja, taksi, bahkan ketika mampir ngopi sebentar di warung. Tapi saya juga  butuh buku tebal yang banyak tantangannya untuk terus membacanya.

Atau, ada juga jurus gaul. Gaya terkini. Selera massa. Ini selalu meminta bentuk buku-buku yang khas. Seperti ada hari, tanggal dan bulan berlakunya. Sedang banyak peminatnya. Meskipun jika waktunya tiba, akan redup juga. Karena hari-hari telah berganti selera. Sementara saya masih membaca hanya karena marah besar. Kenapa harus ada bagian-bagian yang hilang dari hidup manusia? Kenapa mesti ada yang gagal dan tidak sampai? Karena itu saya tidak butuh gaya terkini itu.

Tetapi pada gaya terkini itu saya juga bisa menemui, ruang-ruang penyelesaian. Membaca kuat dan lemahnya daya sampai buku dan daya baca masyarakat. Juga, saya menemui kepedulian buku-buku itu untuk membagi cara kepada seluruh selera tanpa kecuali. Termasuk kepada selera minum kopi saya hari ini.

Itulah budaya membaca.

Hakekat membaca menurut kitab suci, adalah pengetahuan, sensitivitas, rasa yang benar, kesadaran, sikap, dan segenap perbuatan 24 jam sehari yang terpola pada kehendak Tuhan, karena kita telah membaca isi seluruh rangkaian huruf, membaca buku, membaca alam, atau membaca hidup.

Mana lebih baik membaca sedikit buku atau membaca sebanyak mungkin buku? Yang tepat, tentu saja membaca buku yang sangat bermanfaat. Tetapi sebanyak mungkin membaca buku, kita akan menelusur pada pengalaman sekaligus kenyataan pada banyak orang.

Bahkan kita bisa membeli dan membaca buku karena menghargai penulisnya. Apalagi dia teman dekat. Ini halal. Insya Allah masuk surga. Itung-itung berbagi rejeki. Belilah saja semua buku teman selagi ada uangnya. Ini propaganda 'sadis'.

Lalu penyair? Ini soal. Posisinya adalah orang yang mengefektifkan huruf, kata, kalimat, bahasa, kode-kode, untuk menyampaikan segala yang mesti hadir, tidak tertolak untuk lahir, bahkan berprinsip menolak nalar dan hati kafir. Lalu seperti apa penyair membaca?

Pada tulisan ini saya mau mengerucut saja. Apa penyair mesti membaca puisi-puisi dari sebanyak mungkin penyair selain dirinya? Jawaban ini bisa dipakai untuk memikirkan kemungkinannya membaca buku-buku lain.

Pasalnya, membaca sebanyak mungkin itu definisi dan ukurannya opo? Apa anda masih kejedug kentongan gardu hansip yang mengingatkan, kalau belum baca puisi Chairil atau Rendra, haram jadi penyair?

Ah. Saya boleh rugi gak pernah baca puisi karya penyair Aceh, Si Fulan. Gak bisa baca puisi karya penyair Afrika Selatan, Si Fulan. Bahkan rugi besar, gak pernah baca satu kalimat pun dari puisi karya penyair muslim Amerika. Kalau saja ada puisi mereka di meja saya dekat cangkir kopi yang sedang kosong, ingin sukacita saya membacanya. Ingin seperti meneguk kopi hangat di hari dingin. Itulah sebabnya saya bangga membaca puisi Si Fulan, penyair dari Cimahi.

Ilustrasi kerinduan membaca karya penyair lain itu, adalah kebutuhan alamiah penyair. Benar. Ini ilmiah. Puisi siapapun yang akhirnya jadi jatah santapannya. Bahkan ketika berandai-andai Si Penyair hidup di pulau tanpa penghuni, hanya dia dan puisinya, maka dengan merindukan karya-karya orang lain, ia akan merubah diri menjadi orang lain, serupa dengan bermain peran dalam teater. Sehingga di depan puisinya sendiri, dia akan merasa membaca karya penyair siapa saja dari seluruh penjuru dunia. Itulah kebutuhan membaca puisi bagi penyair.

Kok? Karena penyair bukan tukang jualan imaji. Bukan tukang mematahkan sayap malaikat lalu meniupnya biar melayang di udara bebas. Bukan tukang merayu perempuan, meskipun argumentasi ini malah memukau dan merayu perempuan, sebab ekspresi kemandirian dan kejantanan.

Penyair itu semestinya ahli tafsir. Ia membaca dan memahami karya seseorang. Persis seperti dia juga sangat mengenali karya-karyanya. Multi tafsir sekalipun. Sebab malaikat penjaga cover buku telah berkata, "Tafsirkan dari sejuta pintu. Tapi kalau ada seseorang, walaupun dia anak kecil, yang menambahi dua tafsir lagi yang lain, terimalah kebenaran dan kemuluiannya. Sebab kebenaran hanyalah kebenaran".

Penyair tahu arah bahasa. Meskipun pada beberapa karya penyair ia boleh berkata, "Untuk gaya berpuisi seseorang yang tidak saya mengerti, gayanya itulah rahasianya. Keunggulannya. Efektifitas tersampaikannya pesan. Akan terbuka dengan masuk ke dalam rahasia gayanya. Sejak kapan puisi tidak dimengerti? Sebab ia lahir justru untuk membuat manusia mengerti". Dan itu benar.

Penyair yang baik dan berhasil, di depan kitab suci ia tidak tergopoh-gopoh. Ia selalu merasa ringan memahaminya, meskipun berat menanggung cobaan hidupnya. Sebab dunia selalu menyerang dari pintu-pintu pengingkaran atas kitab langit itu. Sangat berat. Karena itu di depan kitab suci, penyair yang tahu (makrifatul kitab), akan selalu menangis. Ini pula yang mengakibatkan kemuliaan Al-Qur'an tidak pernah bisa jatuh.

Catatan ini jelas tentang membaca penyair membaca.

Bayangkan. Kalau argumentasi saya sebelum tulisan ini, di cannadrama.blogspot.com, yang membela penyair dahsyat meskipun dengan bahasa-bahasa yang sederhana. Ternyata malah mengakibatkan lahirnya penyair yang merasa bebas bersyair sesederhana apapun, tetapi dia sendiri tidak bisa menafsir puisi-puisi? Minimal melakukan pendekatan untuk menempuh ruang terangnya. Jangan-jangan ia hanya merasa telah berpuisi secara sederhana, yang dirasa-rasa sebagai sensasi kedahsyatan, padahal gagal memahami makna-makna. Singkatnya, dia bukan pembaca yang baik. Termasuk untuk puisinya sendiri. Bahkan puisi sederhananya hanya main kata-kata belaka.

Lalu apa kesimpulan membaca itu? Mengapa penyair itu harus butuh, suka, dan ahli membaca?

Terjawablah.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG