MEI KARTA, MEI PURWAKARTA?

biarkan
ujung
daun

terakhir
ini

nyala

Judul Puisi: Doa Ujung Daun
Sukabumi, 1992

#puisipendekindonesia

-------

Tulisan ini dimulai dari gaya bahasa  Sunda. Filosofinya tentu nyunda. Tentu bagi mayoritas orang Sunda, Islami.

Dalam tata bahasa Sunda, setidaknya sudah menjadi kebiasaan orang Sunda, di tengah masyarakat kita mengenal kata dasar jinah (zinah) yang telah berubah menjadi ngajihanan. Artinya menjinahi. Bentuk susunannya semodel dengan kata ngaheureuyan (menyandai), ngamandoran (mengawasi), dll.

Kalau seseorang berbuat mesum pada orang lain, mengajak berhubungan badan di luar nikah, kategorinya menjinahi. Tentu istilah menjinahi tidak berlaku pada suami istri. Sebab hukum jinah (zina), hubungan di luar nikah itu haram.

Mendekati jinah juga haram. Apa itu mendekati jinah? Tentu belum tentu cipika-cipiki seperti yang sering kita lihat di panggung artis. Bukan itu. Mendekati jinah adalah melakukan suatu perbuatan yang bisa mengarah ke arah perjinahan (hubungan di luar nikah), tetapi belum terjadi. Kecenderungannya bisa atau sudah mengarah ke sana. Termasuk seorang pria menatap wanita, tetapi syahwat matanya mengatakan, "Aku mau menyetubuhinya walaupun tidak nikah, kalau dia mau". Tatapan mata itu mendekati jinah. Haram hukumnya. Ini universal. Tetapi kalau tatapannya itu berbunyi, "Kalau saja dia istriku, aku bisa menidurinya", itu halal. Syahwatnya berada di jalan lurus. Ini universal juga. Keselamatan semua manusia tanpa kecuali.

Coba rasa-rasa, perbedaan jinah dengan bukan jinah. Lalu perbedaan mendekati jinah dengan bukan mendekati jinah. Maka, cipika cipiki di panggung artis itu bisa masuk katagori halal. Meskipun kita maklumi tarekat sebagian masyarakat yang menolaknya, mengharamkannya. Kita hargai sebagai sikap hidup yang baik dan mulia buat mereka.

Saya sendiri kadang mengucapkan selamat ulang tahun kepada seseorang wanita dengan mencium pipi kanan dan pipi kirinya. Bahkan tanpa harus saya dahului, kadang-kadang begitu saya menyalami tangannya sambil mengucap, "Met ulang tahun ya". Dia langsung mendekatkan pipinya, dan spontan saya merespon, dengan mencium pipi kanan dan kirinya. Itu biasa.

Dalam hal melihat dengan mata normal yang lurus, pun biasa saya lakukan di atas panggung. Dulu di era Orde Baru, waktu heboh penyanyi dangdut seksi Cucu Cahyati, saya sepanggung dengan dia sekaligus jadi MC panggung dangdut di Padalarang. Di era Reformasi, saya jadi panitia dan MC ketika Anisa Bahar dan Nita Thalia yang sama hebohnya dengan Inul Daratista itu manggung. Bahkan di panggung hiburan model begitu, di sela-sela waktu, saya masih sempat sholat di belakang panggung.

Lalu apa yang kita simpulkan soal jinah mata sekarang? Meskipun kalau ada yang berpendapat, tidak mau melihat goyang penyanyi sama sekali karena itu mendekati zinah, ya kita maklumi. Kita hargai dan kita cintai. Itu jalan tarekat mulianya.

Otokritik kita adalah, mereka yang masih melihat eksotisitas panggung hiburan yang kebetulan sensual, dengan nafsu mendekati jinah. Itu tetap haram hukumnya. Mata mereka belum lurus. Matanya masih bahaya dan neraka bagi dirinya. Semestinya kalau mau melihat Denada goyang, matanya harus lurus dulu, sholat dulu. Barulah nafsunya tunduk oleh hati yang nyaman.

Kebetulan selama puluhan tahun panggung-panggung kesenian saya kebanyakan di Jawa Barat, Tatar Pasundan. Baru belakangan ada acara-acara di Jakarta. Mulai dari panggung hiburan anak yatim, panggung Tablig Akbar dan nasyid, pentas teater, siaran, rekaman iklan dan drama #radio, malam puisi, semarak tari Agustusan, Koesplusan-Beatle-an, sampai show dangdut.

Maka jangan heran sebagai orang yang hidup di tengah masyarakat Sunda saya punya dua istilah, ngajinahan dan ngaji nahan. Itulah yang saya maksud dengan gaya bahasa Sunda tapi untuk kepentingan yang besar. Segaris dengan orasi-orasi saya, nyunda itu dunia (ndunia/ mendunia). Sekali lagi kata umat muslim, nyunda itu Islami.

Ngajinahan artinya menjinahi. Baik itu dalam pengertian melakukan hubungan seks di luar nikah, termasuk juga berbuat atau menggunakan tatapan matanya untuk mendekati jinah.

Maka para wanita mesti bisa membedakan. Ketika ada preman tidak beriman menatapnya dengan nafsu syahwat, itu sudah pasti dosa. Tetapi kalau seorang ulama yang menatapnya dengan sukacita, itu rejeki kebaikan, berarti dia wanita yang disukai. Meskipun cuma sebatas itu. Sebatas tatapan mata.

Maka istilah "mata keranjang jelalatan", "sukanya lirik kanan lirik kiri",  mestinya itu untuk seorang istri yang suaminya preman. Kalau suaminya kelas ulama, menatap dengan sukacita itu ada caranya.

Maka tema lagu dengan lirik demikian sebenarnya sungguh sangat menggelikan. Berarti si aku lirik, aku dalam lagu itu, bersuami seorang preman. Tentu saja bahaya kalau mata keranjangnya jelalatan. Bahaya juga kalau lirik kiri lirik kanan. Tapi pertanyaannya, kok dia mau nikah sama preman? Kenapa gak nyari laki-laki baik-baik yang berkelas ulama?

Dalam lagu Jawa populer juga ada lirik yang gila, menurut saya. Coba ingat-ingat lirik ini: "... wis watake priyo. Jare ngaku tresno. Tekan ndalan jelalatan. E ya'e, ya'e, ya'e, ya'e, ya'e. (Sudah wataknya lelaki. Katanya ngaku cinta. Sampai di jalan matanya jelalatan). Kalau saja Sunan Kalijaga masih hidup dia akan bingung. Pria mana yang dimaksud? Apa semua Ksatria Jawa begitu? Untungnya, orang-orang baik yang dengar lagu itu masih maklum. Yang dimaksud dalam lagu itu justru semua laki-laki yang tidak setia. Kalau yang setia, berkelas Kali Jaga, gak gitu hidupnya. Melirik pun ada ilmu dan syaratnya. Tapi lagi-lagi pertanyaannya, kok mau nikah sama yang tidak setia? Apa salah pilih?

Maka kembali ke soal ngajinahan, menjinahi itu. Sebaiknya dilawan dengan ngaji nahan.

Ada kesalahan purba dalam hidup kita selama ini. Dianggap ngaji itu pra-sukses. Ngaji dulu baru berbuat apa-apa, begitu biasanya. Padahal ngaji itu tidak mengenal tempat. Dia berposisi di awal, di tengah dan di akhir dari seluruh peristiwa. Maka Ki Hajar Dewantoro itu orang SUPER. Dia melihat, pendidikan itu melingkupi ketiganya.

Kita pun manusia sepertiga malam terakhir. Manusia tahajud. Manusia sholat malam. Terang bagi dunia. Tetapi kita berdiam selamat di sepertiga awal dan tengahnya juga. 

Kita juga membagi Romadon menjadi tiga. Lalu di situ kita berdiam di mana? Tentu di sepertiga akhirnya, malam nuzulul Qur'an, malam-malam lailatul qodar hingga fitrah fajar syawal. sebab kita menguasai ketiganya, dan menjadi manusia terakhir, menutup bersama Nabi SAW.

Sampai saya telah menulis puisi, dimuat di surat kabar Sinar Pagi Minggu:

DOA UJUNG DAUN

biarkan
ujung
daun
terakhir
ini
nyala

Sukabumi, 1992
-------

Dulu kita mengenal kalimat Barat, long life education. Yang kita terjemahkan dan kita pahami, belajar seumur hidup. Artinya, belajar itu tidak di awal saja. Tapi di tiga kesatuan waktu. Dari awal sampai akhir.

Maka ngaji nahan artinya, kita tahu, melihat dengan senyata-nyatanya, terang benderang, hanya orang yang 'paham nahan' (berpuasa wajib dan sunah) yang bisa menjalani hidup ini. Artinya hidup ini punya syarat. Otak akan berfungsi normal kalau tidak dimabukkan dengan kesengajaan yang haram. Dengan miras dan narkoba misalnya. Badan akan berfungsi normal kalau digerakkan ke tempat-tempat yang nyaman sesuai fitrah manusia. Itu nahan namanya. Puasa yang berhasil. Bahkan ketika terseret cobaan sekalipun, Allah akan menyebutnya, kemenangan besar, daya tahan kemuliaan. Sebab selalu ada yang kita selamatkan di belakang hari, milyaran nyawa manusia, di balik cobaan yang kita hadapi.

Sekalinya kita kalah, menyerah, tidak mau nahan, milih jadi penjahat, membawa tubuh dan otak ke arah salah, kita telah mencelakai dan membunuh milyaran manusia yang mengikuti cara kita itu. Sekali lagi, 'telah mencelakai' bukan 'bisa mencelakai'. Cara-cara yang tidak disukai fitrah manusia. Fitrah aman, nyaman, selamat, dan bahagia lahir batin.

Ngaji nahan (puasa) itu adalah proses bagi semua peristiwa. Ngaji nahan itu nikmat. Tidak ada detik seumur hidup tanpa ngaji nahan. Kalau ditinggalkan, berarti kita terpeleset. Jatuh.

Bagi yang selalu ngaji nahan, ia akan tenang nyawang ke belakang. Itulah rentetan kewajiban sholat yang telah tunai. Mutlak 100%. Bukti telah wajib. Sebab segala yang di depan yang ngawang-ngawang tidak wajib. Tetapi peristiwa mulia dua jam lalu, bagi umur kita sepuluh tahun lalu, adalah masa depan yang telah tunai wajibnya. Itu sholat 10 tahun lalu yang telah selesai. Sebab masa depan dan masa akhir itu adalah hari ini.

Ngaji nahan (puasa) itu ada dua, wajib dan sunah. Wajib itu tidak bisa ditinggalkan. Semisal, kepada sesama manusia kita wajib berbuat baik, jangan jahat, itu wajib. Tetapi berbuat baiknya bagaimana saja, itu sunah. Sunah itu pilihan. Maka sunatullah itu seperti banyak, tetapi wajibnya satu, jalan yang lurus. Itulah Islami. Maka sholat itu sempurna karena ada ukuran wajib ada ukuran sunahnya.

Maka kecelakaan sosial ngajinahan (menjinahi hidup), yang seumpama mengencingi air wudu dan air zamzam itu, mesti dilawan oleh ngaji nahan.

Maka apa yang perlu kita takutkan dari agama? Dari Islam? Dari jalan yang lurus? Bukankah yang perlu kita takutkan adalah orang-orang yang ngaku punya agama tetapi hakekatnya tidak beragama. Dia bisa menjadi jahat berkedok agama. Mengucap salam tetapi hakekatnya tidak mengucapkan salam sama sekali. Dia menipu, munafik. Ingkar sunah. Doyan sikut-sikutan. Ahli fitnah.

Maka karena saya sering malu mengucapkan kalimat, "menurut saya", seperti menggurui dan sombong, meskipun sesekali dipakai juga dengan maksud baik, saya memang lebih baik mengucapkan, "menurut kita". Dalam bahasa formal, kelembagaan, saya jadi perlu punya 'judul' itu. Maka saya memaksakan diri bikin Yayasan Seni Cannadama di Bandung (1999). Yayasan yang menurut saya tidak pernah bangkrut. Sebab apa? Ngomong pakai kata-kata kok bangkrut. Di mana bangkrutnya? Yayasan saya adalah teman seniman dan pencinta seni.

Kemanapun saya pergi, saya Gilang dari cannadrama. Apapun yang saya perbuat, terutama terkait dengan proses kreatif berkesenian dan apresiasi seni, itu sikap dan perbuatan Gilang Teguh Pambudi dari cannadrama. 

Seniman itu adalah mereka yang berproses kreatif dengan kesenian, sedangkan pencinta seni adalah mereka yang mencintai minimal satu jenis kesenian tertentu. Pendeknya, itu menemani atau melingkupi semua orang. Maka motonya, menuju masyarakat seni Indonesia apresiatif. Apresiatif artinya paham dan menghargai seni. Sehingga bisa memanfaatkan kesenian untuk kemuliaan, keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia.

Dengan adanya lembaga, maka saya seperti berkalimat, "Menurut cannadrama (kisah bunga tasbih), menurut kami, menurut kita". Karena saya tidak mungkin sendiri. Saya orang banyak.

Gara-gara prinsipnya itu, saya merasa cannadrama itu dicap seperti muazin. Memanggil ke jalan baik. Gak apa-apalah. Walaupun saya gak disebut ulama sekalipun, terapi saya masih cocok dipanggil muazin. Tetapi bukankah ulama itu mesti muazin?

Tetapi terlalu maju dan bisa dianggap menakutkan oleh pihak yang gak ngerti ketika saya dan cannadrama dianggap muazin seperti itu. Memang. Apalagi waktu di bulan Mei di Purwakarta mulai bikin propaganda, BANGKIT ITU ANTI (2009-2012). Anti segala maksiat-jahat. Termasuk anti korupsi, anti terorisme, anti pemiskinan dan anti pembodohan. Sebagai rumah kotak Kebangkitan Nasional. Seperti memaksa sejarah: hidup idaman, hunian yang nyaman, lingkungan yang tentram itu seperti dalam propaganda MEI KARTA (Mei dari Purwakarta). Kesannya mendakwahi seniman, kesenian dan masyarakat. Sok suci. Sok beragama. Sok Islam. Padahal yang benar, cannadrama itu cuma teman berproses kreatif, untuk seni apa saja, sekaligus teman nonton dan memahami karya seni, itu saja. Cukup. Tetapi di dalam lingkaran yang baik-baik saja. Tidak mendakwahi kan?

Akronim Mei Karta yang ini bukan bermaksud menyaingi MEIKARTA yang lagi  ramai promosinya di tivi-tivi itu. 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG