TETAP PENYAIR TETAP PENULIS

bukan puisi kamar
dia belukar

Kemayoran, 2015
Judul Puisi: Jam Segini
#puisipendekindonesia
-----

Saya mungkin berpendapat berbeda dengan Anda. Tetapi ketika tulsan ini telah Anda baca, lalu ternyata kita sama atau bisa sama, berarti kita akur. Mesti bersyukur. Kalau gak sama juga, ya ngukur jalur. Yang penting enak dan lurus-lurus saja. Begitu itu kan doa seihwan. Teman satu keyakinan juga. Biasa disebut hidup dalam kesetiakawanan sosial. Gotong-rosong dalam lingkup yang besar.

Dulu waktu kelas 1 SMA saya berfikir, sejak cerpen dan puisi saya yang dimuat koran pertama kalinya ketika itu, sampai saya mati kelak, akan berapa banyak yang dimuat koran? Atau majalah?

Tetapi semakin bertambah umur fikiran saya berubah. Waktu mulai kerja radio saya suka senyum-senyum kepada wartawan koran, termasuk beberapa yang mewawancarai saya, misalnya dari Giwangkara dan Sinar Pagi Minggu. Kenapa? Saya merasa sama, di media massa. Cuma berbeda jenis. Dengan aturan main yang khas masing-masing.

Bahkan saya bisa sombong. Tapi lebih tepatnya, percaya diri. Dengan wartawan televisi, termasuk yang pernah mewawancarai saya, saya merasa sama-sama jurnalis. Cuma beda bentuk Radio dan tv.

Artinya apa? Gini. Kalau orang luar Radio, baik masyarakat umum maupun dari tv dan koran mau diwawancarai atau mau naik siar, tentu saya yang punya aturannya. Kalau ada masyarakat dan orang Radio dan TV mau muncul di koran, wartawan cetaklah yang paling berkuasa. Begitupun kalau orang umum atau jurnalis Radio dan koran mau muncul di layar tv, orang tv yang jadi 'jin'-nya.

Itu sebabnya sejak saat itu saya gak banyak mikir lagi soal berapa banyak karya saya masuk koran. Karena kalau soal honor dari koran, kenapa saya tidak nyemplung saja 100% ke koran? Itu malah terukur gajinya. Soalnya dulu juga ada orang koran yang berbisik, "Sudah di sini saja". Maksudnya jadi wartawan koran atau nulis terus di korannya.

Tapi buktinya saya milih di radio saja. Ada RUANG KOMUNITAS SENI AULA, yang bisa saya temani setiap hari, sambil kerja rutin. Dari sini bisa berkoordinasi dengan semua komunitas seni yang ada. Apalagi secara on air punya acara Apresiasi Senibudaya, Apresiasi Sastra dan Drama Radio. Lengkaplah sudah.

Tapi saya terhukum juga oleh fenomena sosial. Asyik dengan frekuensi radio dan komunitas seni, jujur saya tidak populer di koran. Tapi apa ini dosa? Anehnya, ada juga sastrawan koran yang mestinya berucap, "Sudahlah nikmati saja nasibmu eksis di radio, di manapun jurnalis itu tetap saja jurnalis, di manapun yang namanya penyair ya tetap aja penyair", eh malah memajukan teori, "Penyair dan penulis eksis itu ukurannya koran dan majalah". Nah lho.

Padahal hari ini, jujur, menurut saya sastra buku dan sastra panggung jauh lebih dinamis. Ditambah sastra internet.

Tanpa mengecilkan arti koran dan majalah, apalagi yang populer dan dikenal berkualitas tinggi, kita perlu melihat Sang Penentu, Penguasa dan Jin Penunggu di situ. Kan kita gak harus pasang sesajen di pojok depan gerbang, dekat pos satpam, kalau puisinya mau dimuat koran?

Kita yakin sajalah. Semua puisi dan cerpen yang bagus pasti 100% dimuat koran dan majalah itu. Dulu pun saya mikirnya begitu. Itu fikiran sederhana, bukan luar biasa. Tetapi dengan syarat, lembaran korannya atau lembaran rubriknya mesti mencukupi untuk memuat semua puisi dan cerpen itu. Misalnya dari 1000 puisi dan 1000 cerpen setiap bulan, tersaring 300 puisi dan 300 cerpen yang memenuhi syarat, tulisan bagus, berkualitas baik, dan menonjol. Tetapi pertanyaannya, ruang untuk 300 puisi dan 300 cerpen itu ada gak? Jangankan segitu, 20 cerpen pilihan dan 50 puisi pilihan sebulan, meskipun dibumbui subyektifitas redaksi, sulit untuk memunculkan semuanya.

Hayo jujur. Masih terlalu berharap dengan honor di situ? Kecuali merapat, semakin saling kenal dan saling rasan-rasanan, ada pembicaraan yang spesial. Tentu saja pakai logika profesional memang. Orang semisal Rendra atau Emha bisa saja datang atau didatangi koran untuk bicara-bicara pemuatan karya. Bahkan ngirim karya jarak jauh pun ada perhatian khusus. Tapi yang jadi fokus pembicaraan kita kali ini kan seluruh penyair dan penulis se Indonesia. Beda jumlah kan. Satu berbanding semua.

Sebagai orang radio, selain yang sudah dimuat koran, kalau saya ngirim puisi atau cerpen ke koran, saya merasa yakin pasti lolos seleksi. Tanpa keyakinan itu saya mesti mundur jadi penyair. Tentu yang saya maksud dari contoh 1000 puisi yang dikirim ke koran, saya bisa masuk 300 terbaik atau 100 terbaik, tetapi sebulan koran cuma bisa munculin 15-20 puisi. Misalnya. Trus gimana? Sebagai orang yang jarang-jarang ngirim tulisan di koran saya gak punya popularitas di situ, meskipun tiap Minggu baca puisi on air, baik karya sendiri maupun kiriman pendengar yang lolos seleksi.

Dalam bahasa penyair lain, muncul sekali dua kali di koran sudah bagus. Karena koran punya kondisi. Punya cara. Menghapus rubrik sastra pun bisa. Pada waktunya, kita juga bukan yang populer di situ. Kecuali jika sudah jatahnya.  Selebihnya kita malah dikenal bukan sebagai penulis koran, tetapi penyair panggung atau penyair buku.

Itulah. Yang dimuat, yang saya misalkan dengan jumlah 15-20 puisi itu, kan selain memang lolos menurut timbangan sastra berkualitas, juga diwarnai subyektifitas halal dari redaksinya. Maka mustahil disebut salah, apalagi berdosa.

Pendeknya, satu dua cerpen dan puisi saya pun pernah merasakan berada di dalam subyektifitas takaran 15-20 itu, dan dimuat juga. Alhamdulillah. Teman lain lebih beruntung, sering masuk katagori 15-20 itu. Sampai dikenal sebagai penyair dan penulis koran. Saya masih saja disebut, Orang Radio Indonesia, atau Seniman Radio Indonesia. Sampai ngaku pensiun 2017. Setidaknya belum terfikirkan untuk lompat sana lompat sini, dari satu kota ke kota lain, dari frekuensi yang satu ke frekuensi yamg lain lagi.

Tentu lain, kalau saya ini sastrawan sekaligus yang punya koran, atau minimal karyawannya. Waktu harian saya bisa semuanya buat 'main teori' di situ. Bahkan kalau saya punya komunitas sastra, saya bisa mengarahkan seseorang dari masih awam sampai benar-benar punya kualitas kepenyairan yang kuat, lalu saya juga yang bisa menariknya untuk memuat karyanya di koran. Analoginya gini, di aula Radio saya bisa ngajarin cara baca puisi, setalah ada yang dianggap bagus, terpilih, dia bisa sering muncul di radio saya. Gitu kan? Bahkan saya juga bisa nawarin, mau jadi wartawan sekalian gak?

Itulah dongeng Kabayan. Dongeng Mat Blangkon. Semua bisa diatur secara prosedur, secara profesional. Terbukti kualitasnya. Tetapi besar subyektifitasnya.

Saya cuma mau ngajak kepada semua penyair dan penulis di seluruh Indonesia, menulislah terus di koran. Kalau banyak dimuat, jadilah penulis koran yang hebat. Kalaupun sedikit yang dimuat, lumayanlah. Kalau belum ada yang dimuat, sebagai orang kuat apa anda tidak merasa menjadi 100 terbaik dari 1000 pengirim naskah, tetapi yang dimuat cuma 15-20?

Meskipun kalau ada kelelawar nyeletuk, "Benar nih merasa di dalam 100?" Kalau kita yakin, dan didukung banyak saksi yang membenarkan kualitas kepenyairan kita, maka kita bisa bilang, "Dari 10 Panitia festival film di negri yang sama, nominator dan pemenang untuk katagori yang sama bisa beda semua". Dan semua nominator dan pemenang dari 10 festival itulah yang menonjol, semuanya. Bahkan termasuk, yang tidak masuk nominasi tetapi malaikat mengakui kualitasnya".

Jangan cengeng.

Padahal saya bisa disebut cengeng. Haha. Kadang merasa diperlakukan, orang Radio itu tidak kuat kepenyairannya. Entah hukum darimana itu begitu?

Selain koran dan majalah, seperti saya bilang, dunia buku dan panggung sastra belakangan ini menggeliat secara progresif, tetapi sebagai ruang kerja sosial kepenyairan. Kerja suci. Belum secara ekonomi. Maka selalu saya bilang, Chairil pun kalau masih hidup, daripada nungguin honor sampai anak istrinya nahan lapar, lebih baik jadi kuli bangunan atau direktur saja. Kepenyairan jalan terus.

Minimal satu buku bisa kita sumbangkan untuk Indonesia, baguslah. Syukur-syukur lebih. Syukur-syukur banyak. Syukur-syukur ada yang best seller. Atau, kalau kebanyakan puisinya sudah tumpah di panggung, okelah, beberapa saja masuk antologi bersama. Gotong royong. Rame-rame. Toh ciri khas tetap milik setiap individu penyair.

Dan kepenyairan atau semangat menulis karya sastra itu mesti seumur hidup. Atau setidaknya, setelah punya banyak karya sastra, atau setelah melempar karya sastra ke tengah masyarakat, apapun bentuknya, membangun wacana sastranya itu yang akan kita bawa sampai dijemput ajal. Karena sastra, karena kata-kata, bisa menyelamatkan bangsa dan negara. Menyelamatkan manusia di muka bumi.

Menulis di website sastra yang sudah dikenal, atau milik sendiri, baik yang mandiri atau 'bergabung', semisal di blog, saya fikir sikap yang bijak dan maju. Asumsi kita bisa sama, dari 1000 website sastra, mungkin yang akan dianggap paling berbobot menurut masyarakat sastra setengah dari itu. Yang benar-benar dianggap menonjol 100-200 saja. Biar saja ada ruang kompetisi di situ. Ada seleksi alam. Ada ruang menyimpan karya untuk dibuka-buka siapa saja, kapan saja.

Apalagi belakangan ini, sangat banyak koran terbit tapi gak punya ruang sastra. Apa nasib kepenyairan kita harus diatur koran?

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG