LIBUR SUTRADARA

...

kufikir menjadi kuli
menaklukkan Jakarta
menaklukkan dunia
dan matahari

ternyata menaklukkan nafsu jahanam
memasuki kusyu sholat
merawat akhirat
menganyam ketentraman

#puisipendekindonesia 
Dari puisi-puisi tanpa judul Malam Keajaiban Air Mata,  Gilang Teguh Pambudi 
-----

Libur kenaikan Isa Almasih,  2018. Semoga jadi libur penuh berkah buat kita semua. Saya tidak memilih ke mana-mana.  Cuma memasuki rutinitas libur,  beres-beres rumah seperlunya dan ngasih makan burung-burung, dan menjemurnya supaya hangat bulu-bulunya, lincah gerakannya,  dan lantang kicauannya. Apalagi motor saya dibawa anak ke sekolah. Ekstrakurikuler,  persiapan lomba. Sementara motor yang satu lagi rem depannya perlu disentuh bengkel dulu.

Sementara di depan sepeda yang biasanya membuat adrenalin saya naik buat keliling kota,  kali ini dua rodanya kalah oleh kicauan burung saya. Sedangkan kalau jalan kaki,  kali ini romantismenya pasti berkurang, sebab Jakarta lebih panas dari hari biasanya.  Bahkan di rumah,  jam 11-an anak saya yang perempuan bilang,  "Kok, gerah ya Pa?"  Saya jawab,  "Kan Jakarta memang lagi panas cuacanya,  apalagi menjelang tengah hari". Jadi gak salah sejak pagi saya cuma 'malas-malasan' di rumah.

Tiba-tiba TV di meja menginspirasi.  Padahal saya lagi on line,  ngasih-ngasih tanda jempol sana-sini, terutama di foto kiriman teman, termasuk ke teman saya yang di Surade, Kartika. Apa inspirasinya?

Nulis ini.  Ya. Mulai nulis ini.

Saya memang termasuk orang yang banyak omong tentang radio,  tv,  koran,  majalah bahkan film. Kalau tentang radio,  karena umur saya setamat sekolah memang habis di dunia radio. Bagi saya,  itu gabungan dari dunia senibudaya,  hiburan (entertainment),  dan jurnalistik. Maka saya lumayan puas jadi manajer di situ bertahun-tahun.

Koran dan majalah?  Ya,  setidaknya setamat sekolah dulu saya ikut pendidikan jurnalistik untuk koran,  majalah dan TV.  Sebelum akhirnya ikut juga pendidikan keradioan di PRSSNI dan RRI. Tentu koran dan majalah itu ada kaitannya dengan mata batin saya. Apalagi sejak kelas 1 SMA (SPGN,)  cerpen dan tulisan saya sudah dimuat koran.

Film dan TV? Lewat tahun 1990 saya tinggal di Sukabumi dan Jakarta.  Baik ketika di Sukabumi maupun setelah tanggal di Jakarta saya memang tukang nonton film.  Dalam seminggu bisa 2-3 kali nonton bioskop. Semua film.  Mulai dari film Indonesia,  sampai India,  Barat,  dan Mandarin.  Tergantung judulnya. Bagi saya,  di depan film-film itu saya seperti berbagi kemampuan bercerita.  Cuma bedanya, saya bercerita melalui ceita pendek dan drama radio. Selain tentu saja membuat daya apresiasi film saya naik.  Kalau gak begitu,  sebagai narasumber senibudaya saya bisa gagap film. Meskipun saya tidak pernah ngimpi jadi pemain film. Bahkan Rendra pun pernah saya kritik,  sebagusnya daripada dusebut-sebut Rendra pernah main film,  akan lebih afdol kalau Rendra pernah menyutradari film.Termaduk kepada Sujiwo Tedjo yang masih hidup.  Saya tuh sebenarnya lebih ingin melihat karya penyutradaraannya di film daripada dia main film. Inilah soalnya.

Rupanya TV di atas meja pada hari libur Kamis ini,  mengingatkan saya pada itu. Pada posisi saya di depan film dan di depan TV.

Sejak saya melek TV hitam-putih yang dibeli Bapak saya di kota Semarang tahun 80-an dulu, mata saya seperti begitu tajam pada sisi penyutradaraan. Meskipun bayangan 'ikut main' secara imajiner di depan film Litle House On The Praire,  Chips,  BJ and The Bear dll,  juga hadir selazimnya pada banyak penonton seusia.

Apalagi setelah saya mulai senang dan aktif di teater.  Bahkan pembina teater di SPGN saya,  Asep Sastra Djuhanda secara pribadi di rumahnya bilang ke saya,  "Kamu kuat penulisan dan penyutradaraannya".  Maka otomatis itu membeli logika saya.  Pantas saja di depan setiap film dan sinetron di tv saya lebih sering mengamati teknis penyutradaraannya daripada terus melototin bagaimana aksi para pemainnya. Saya juga terus mengikuti cara kamera mengambil gambar dan dari arah mana aktor datang atau memulai aktingnya. Suatu cara lihat yang tidak penting buat ibu-ibu di depan sinetron.

Lagi-lagi,  sejak tahun 90-an posisi saya depan film dan TV itu seperti suasana berbagi saja.  Tidak memaksa saya untuk membawa ambisi ke sana. Dalam hal penyutradaraan,  saya lebih fokus untuk produksi drama radio mingguan di radio tempat saya kerja dan bikin penyutradaraan teater sewaktu-waktu,  terutama teater remaja. Ini realistis.  Sebuah kerja serius juga.  Bukan sebuah batu loncatan belaka.

Maka saya bilang ke anak-anak teater saya,  waktu kita main drama radio dan teater panggung itu,  itu sudah selesai sebagai kerja seni.  Bukan suatu rencana atau langkah awal untuk sesuatu yang lain.  Ini harus dipahami.  Sekali naik panggung dan menawarkan sebuah tema besar,  kita sudah melunasi rencana dan keinginan Tuhan,  itu maksud saya. Bahkan ketika di kemudian hari ada anggota teater saya yang bersentuhan dengan main sinetron dan siaran di TV,  saya cuma bilang,   "Nikmatilah duniamu.  Berikan manfaat sebesar-besarnya dari situ.  Sebab saya pun telah menikmati dan memanfaatkan tempat saya,  anugrah Allah".

Bagi saya TEATER MISI (termasuk misi pada drama radio) itu,  terutama mulai usia remaja,  itu utama.  Yaitu teater yang sekalinya tampil membawa maksud yang serius dan besar,  daripada yang berdalih, pada dasarnya cuma mengenalkan dunia akting pada anak-anak.

Ya,  di depan TV saya terus bersikap kritis.  Apalagi masih banyak tema-tema sinetron yang asal-asalan. Belum lagi dari sisi senibudaya,  layar TV masih berhutang banyak kepada masyarakat. Sebab ketika mengambil ranah publik berupa kanal TV dulu,  mereka harus memberikan yang terbaik untuk pemirsa. Tetapi kenyataanya masih belum baik.

Sampai ke hal sensitif.  Soal sensualitas misalnya.  Ini ada kaitannya dengan KPI dan interpretasi owner dan pekerja seni di TV.  Alih-alih mampu menciptakan cara saji sensualitas ala TV yang edukatif,  yang ada justru terputusnya komunikasi elastis soal sensualitas sebagai bagian dari kenyataan manusia yang bisa diarahkan di alamat yang baik itu. Pendeknya, layar TV tidak dipakai bicara,  tetapi malah dipasung. Sekalinya maksain terbuka,  alamak, malah kebablasan. Sampai malu nontonnya.  Termasuk pornografi yang tidak arif melalui kata-kata pembawa acaranya yang lebih 'sadis'  daripada perempuan telanjang di layar TV. 

Demikian pun dalam hal pesan dakwah.  Layar TV masih mandul dalam pencerahan. Kecuali sebagai tema pembahasan pada acara-acara tertentu. Seperti menyampaikan,  bahwa kekakuan dalam suatu agama itu ciri khas.  Padahal fanatisme beragama yang halal itu justru sangat lentur. Menguasai dan menyelesaikan seluruh persoalan dari seluruh pintu-pintunya.

Orang TV di depan program-programnya,  pun tak ubahnya saya sebagai orang radio mengatasi program on air dan off airnya. Bedanya,  bergambar dan tidak. Ini butuh penyutradaraan.

Kalaupun ada pihak yang kontra analisa saya,  toh mereka masih bisa berfikir, bahwa suatu saat nanti saya pasti mati. Dan mereka masih bisa terus kerja.  Meskupun saya sayangkan dari dalam kubur kalau terus-menerus kerja dalam kebingungan. Menyiksa anak-cucu. 

Terlempar saya ke dunia radio dan panggung-panggung kesenian dan dakwah selama ini,  saya adalah 'sutradara' dalam versi lain. Begitupun ketika di depan TV seperti di hari libur ini,  sudut pandang saya adalah 'sutradara TV'. Tidak cuma sutradara sinetron.

Bahkan sampai hari ini ketika saya diundang sana-sini jadi juri lomba baca puisi dan lomba menggambar, posisi saya mewakili panitia penyelenggara,  ikut 'menyutradari ke arah mana lomba akan dibawa?' Ini biasanya saya orasikan ketika menyampaikan maksud tema lomba, kriteria penilaian,  dan daya apresiasi peserta atas maksud panitia tersebut di akhir acara.

Prinsip ini bahkan terbawa sampai ke politik praktis.  Saya bangga selama ini menghembuskan isu POLITIK TPS. Bahwa politik besar pembangunan adanya di situ. Di dalam kotak suara yang kita curigai sering tidak bersuara atau malah salah suara. Sebab sebagai 'sutradara',  di situ saya punya keinginan yang tercapai dan yang belum tercapai.  Bahkan kepada sebagian 'anak-anak saya'  yang sudah jadi anggota DPR, saya bilang,  "Kalian bodoh, gak ngerti maksud saya!" 

Salam libur.  Sejahtera selalu. Dan di akhir tulisan ini,  sambil saya nyruput kopi di cangkir,  kita nikmati lirik Minum Kopi Bersama dari Koesplus:

Pagi
Aku datang sendiri
Sambil mencari-cari
Tanya
Tanya sana dan sini
Akhirnya ku temui

Ku tak sangka
Seperti yang ku kira
Semua senyum gembira
Betapa betapa

Tanya Tanya sana dan sini
Akhirnya ku temui yeee

*Musik

Ku tak sangka
Seperti yang ku kira
Semua senyum gembira
Betapa betapa

Aku
Dengan dia dan mamanya (Namanya) 
Minum kopi bersama

Ku tak sangka
Seperti yang ku kira
Semua senyum gembira
Betapa betapa
------

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG