BIKIN PUISI DAN SENSASI PUISI

...

anak
adalah utaraku
tempat kokoh selatanku

adalah baratku
tempat timur tunai menghitung waktu

adalah semua arah asmara
tempat mata panah
menancap di kuncup jantung

#puisipendekindonesia 
Dari puisi-puisi tanpa judul,  MALAM KEAJAIBAN AIR MATA,  Gilang Teguh Pambudi 
------

Saya tidak punya sensasi puisi.  Untung istri saya nanya,  saya menduga karena ada yang juga nanya dia,  "Gimana supaya puisi bagus?"

Pertanyaan serupa sesungguhnya sudah sering saya terima termasuk dari para guru yang sedang menghadapi proses kreatif muridnya.

Saya jawab.  Penyair itu tidak mikirin bagus atau tidaknya puisi.  Karena dia sudah menulis puisi dengan kekuatan alasan menulisnya. Apa kita mau bilang,  seseorang penyair tidak pernah punya niat bagus?  Lalu apa namanya?  Apa masih pantas disebut penyair?

Atau kenyataannya,  memamg ada penyair  yang gak percaya diri dengan puisi-puisinya,  kecuali kalau sudah ada yang memujinya?  Lalu untuk apa dia ngaku-ngaku penyair?  Terlalu tega kepada pohon di taman-taman kota dan batu hutan.

Penyair itu cuma berfikir,  puisinya wajib bekerja menyampaikan apa?  Bekerja di mana?

Tetapi saya bilang ke istri saya,  dalam dunia pendidikan pasti diajarkan cara nulis puisi yang bagus itu.  Kenapa?  Setelah penyair hidup dan konsisten berjalan di atas airnya, masyarakat semua,  tanpa kecuali wajib tahu rahasia sastra dengan cara memahami yang paling sederhana. Jangan sampai gagap sastra,  gagap puisi, gagap guna bahasa.

Coba tengok.  Dari PAUD-TK sampai perguruan tinggi,  seluruh manusia di Indonesia wajib mengikuti pendidikan dasar 9-12 tahun,  dan di dalamnya harus mempelajari sastra. Tidak untuk jago bikin puisi tentu saja. Itu ranah lain. Tetapi kata kuncinya,  untuk paham bahasa,  paham sastra,  dan paham puisi.  Ini universal.

Sekadar pengantar dan sebagai pendekatan, coba kita selami dan hayati ajaran suci yang didakwahkan dan kitab suci. Coba masuki juga doa-doa dan kalimat orang tua.  Mampukah kita bersetubuh dengan bahasanya dan memahami tafsir-tafsirnya?  Nah, pendidikan sastra memberi segala yang serba utama dan istimewa di situ. Ada akal budi dan ada kalam tinggi yang tidak mudah menguaknya. Datang kepada Rosul  SAW secara bertahap,  mampu diserap umat manusia secara bertahap pula.  Makin lama makin paham, setelah melewati kesadaran dan kesaksian pertama.

Al-Quran populer dengan kalimatnya,  "Bacalah!"  Bagaimana awam bisa membaca tanpa sastra dan memasuki kalam?

Apa itu kalam?  Penjelasan tegasnya yang sekaligus sederhana, karena ada kata,  kalimat,  maksud-maksud yang tidak dimengerti oleh Tuhan.  Allah menyebutnya,  itu bikinan sendiri, cuma akal-akalan, bernilai keisengan dan kebodohan, bukan dari alam ilmunya yang universal. Penjelasan ini mengantarkan kita kepada pemahaman kalam.  Bahwa kalam itu tidaklah demikian. Itulah kitab suci.

Selanjutnya apapun bahasa manusia, termasuk bahasa hukum tertulis dan norma sosialnya, adalah buah pemahaman kalam suci itu.  Ini yang benar.

Jika ada yang alergi atau gagal paham dengan istilah kalam suci.  Saya bilang,  terbanglah ke langit kedalamanmu yang jernih.  Yang jujur. Yang bercahaya.  Mengapa ada prikemanusiaan,  cinta dan kebenaran mulia yang menyelamatkan di situ?

Tiba-tiba saya tersadar. Bukanlah ini sensasinya? Ruang yang saya buka sejak mulai tampil berpuisi tahun 85-an.  Umur SMP.  Dan saya tidak pernah memikirkan sensasi ini.  Nampak membenarkan kalimat saya sendiri,  penyair jadi yang dipanggil Tuhan itu akan selalu bekerja dengan sendirinya. Natural.  Gak mungkin gak kerja. Kecuali jadi nelayan atau direktur pabrik yang tidak memproduksi puisi.  Tidak lagi takut terjebak benar dan salah. Sebab salah hanya milik syetan dan milik istigfar ketika terpleset dosa. 

Ya, sensasi adalah sesuatu yang meletup kuat. Menjadi pusat perhatian,  sedikit atau banyak orang. Bisa positif, bisa negatif.  Karena ada juga sensasi yang jahat bagi kemanusiaan.

Sensasi yang tiba-tiba saya sadari ini, mungkin kekhasan Gilang Teguh Pambudi,  yang membuat tersampaikannya puisi dan apresiasi sastranya kepada orang lain. Sedikit orang atau banyak. Relatif.  Tetapi saya yakini,  tetap sebagai kekuatan pada waktunya.

Pantas saja,  saya pernah menulis puisi pendek:

akulah Muhammad
dan akulah Isa
yang membenarkan

atau satu-satunya puisi pendek lain yang saya sebut NALIKAN (3-2-5-2) :

kulempar 
sauh
dari dunia 
tumbuh

Lalu saya mulai mengurai sedikit cara membuat puisi kepada istri saya.  Begini, anak-anak itu harus punya tema yang ingin disampaikan. Harus diambil keputusan,  akan disampaikan dalam pola sederhana, lugas, selazimnya bahasa tutur sehari-hari,  juga lurus-lurus saja tak ubahnya bahasa formal,  atau mau dibuat dalam majas (gaya bahasa) yang kental? Ini bukan cuma soal cara menulis atau soal pilihan, tetapi soal kesadaran,  apakah isi pesan puisinya memang menuntut salahsatu dari dua pilihan proses kreatif itu?

Tapi jangan salah, selugas atau sesederhana apapun suatu puisi, tetap akan mengedepankan gaya bahasa sebagai bagian dari cara menyampaikan maksud-maksud.

Perhatikan puisi akrostik yang dibuat anak saya,  Findra Adirama dengan bantuan saya waktu di kelas 1 SMP ini:

FINDRA ADIRAMA PAMBUDI

Fajar Idul Adha
Itulah hati kelahiranku
Nun yang sudah ditentukan
Dalam takdir kehidupan
Rahasia ilahi yang harus aku syukuri
Agar beriman dan bertakwa

Aku lahir di tanah Tuhan
Di satu titik kota tercinta 
Inspirasi Indonesia
Ruang cinta yang tak bisa kulupa
Anugrah yang selalu kukenang
Menjadi spirit pengabdian
Agar mencintai Allah dan membangun tanah kelahiran

Pada gema takbir itu aku bersaksi
Atas semua keagungan Tuhan
Memahami kenangan dan harapan
Berjuang di jalan lurus bersama seluruh putra Idul Adha
Untuk keselamatan dunia akhirat
Dalam suka maupun duka
Itulah aku

Kemayoran, 21 Maret 2017
------

Puisi akrostik tetsebut termasuk berkatagori lugas.  Bahasanya tidak rumit.  Majasnya tidak aneh-aneh.  Serba biasa saja. Bagus untuk mulai belajar menulis puisi di SD dan SMP.   Tetapi kalau kita cermati,  tetap mengandung gaya bahasa dan istilah-istilah. Misalnya,  /hati kelahiranku/ nun/ tanah Tuhan/ titik kota/ ruang cinta/ jalan lurus/ dan putra idul adha.

Menulis puisi memang diajarkan sejak anak-anak Indonesia ada di bangku Sekolah Dasar. Itu ada dalam kurikulum.  Resmi buatan pemerintah.  Tentu setidaknya dengan dua maksud. Pertama,  agar yang berbakat,  para calon penyair,  menemui hidupnya.  Sebab ini juga jalan Tuhan yang tidak menipu baginya. Kedua,  seperti yang sudah saya ulas secara singkat,  agar semua manusia Indonesia tidak gagap puisi,  tidak gagap  tafsir bahasa.  Sebab Allah pun menyampaikan pesan mulia melalui bahasa. Disebut olehNya,  berupa perumpamaan-perumpamaan, agar menjadi petunjuk jalan terang bagi yang membacanya.

Tapi jangan pernah berkesimpulan bahwa gaya sederhana dan lugas dalam suatu puisi hanya milik dunia belajar berpuisi pada anak-anak.  Jangan.  Itu bahaya.  Sebab saya pun, apalagi berangkat juga dari Syair Wangi,  biasa memakai bahasa lugas sehari-hari justru sebagai pilihan final.  Kesengajaan. Karena tidak akan mengurangi nilai puisi sama sekali. Malah mengangkat. Pas pada maksud-maksudnya. Saya ambil satu contoh puisi saya dari buku Tadarus Puisi yang terbit pada bulan Romadon tahun lalu. Sangat lugas.  Bahkan pasti ada juga yang mempertanyakan secara salah,  apa ini termasuk puisi bagus? 

Ini puisinya:

HIDUP ROMADON

hidup ini keyakinan
demikian firman Allah dan keramat utusan

hidup ini sholat
sehingga 24 jam kita doa-doa keselamatan semata

hidup ini zakat
membaca fitrah diri
yang telah lahir tanpa daya dan upaya

hidup ini wajib puasa
sebab dengan menahan diri
akan hadir kemuliaan dan kesejahteraan

hidup ini selamat dan menyelamatkan
sebagai lautan manusia
telanjang tanpa kuasa
kecuali dalam kuasaNya

Kemayoran, 31052017
-----

Saya sadar penuh saat menulit puisi itu.  Tahu persis mengapa gaya bahasa yang dipilihnya demikian. Bahkan membayangkan jika seorang anak SMA atau mahasiswa membacanya di panggung puisi,  khususnya di hari besar Islam.

Ya,  kita memang wajib bikin puisi yang tidak ditolak Tuhan.  Itu saja. Selanjutnya, pastikan puisi itu bekerja,  justru dalam wujudnya yang khas.

Kalau soal persajakan,  huruf-huruf,  suku kata, bait, tipografi dll,  itu semua bisa dimulai melalui proses melatih yang sifatnya memberi contoh dan istruksional.  Selanjutnya, lepaskan.  Segera bebaskan. Demikian pun itu terjadi pada diri sendiri seorang penyair, setidaknya dalam proses inspirasi. Bersamaan dengan turunnya ilham dalam ruang sensitifitas kemanusiaan (sosial). 

Saya bersyukur istri saya tiba-tiba bertanya ini.  Seperti dulu juga dia bertanya waktu bikin skripsi,  "Seberapa penting posisi boneka bagi manusia?" Lalu saya bilang,  itu penting,  sebab Indonesia negri boneka.  Mulai dari boneka pipih (wayang kulit), wayang golek, sampai maskot ibukota negaranya,  Ondel-Ondel. Semua pesan kemanusiaan tumpah dari boneka-boneka,  termasuk dari rekayasa boneka-boneka di tangan.

Tentu. Tak pernah ada jawaban benar apapun, yang main-main. Bahkan saya dibuat tersadar, setelah sekian lama merasa gak punya sensasi. Meskipun kalau menurut Majalah de-Radio,  sensasi saya adalah selalu membawakan program Apresiasi Seni (Sastra)  dan bikin Komunitas Teater di radio-radio. Mungkin menambahi penjelasan de-Radio saya bisa akui, saya memang vokal soal wisata sastra dan malam puisi, posisi penyair dalam suatu bangsa dan hidup manusia, serta soal kerja kepenyairan dan sumber nafkah keluarga penyair. Ini bagian dari debat soal eksistensi dan gerak manusia dalam kemanusiaannya.

Catatan ini sekaligus juga jawaban untuk pertanyaan, halalkah sensasi?

Selamat menyongsong bulan sukacita sesaat lagi,  Bulan Suci Romadon.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG