PUISI BANCI KARENA POLITIK

POLITIK TPS 2

dengar baik-baik! 
kenapa kotak suaranya 
tidak bersuara?

Kemayoran,  15022018
#puisipendekindonesia 
-------

Istilah banci adalah istilah umum yang sudah biasa di tengah masyarakat  kita.  Biasanya untuk memberi kesan tidak laki-laki, tidak jantan, bahkan pecundang. Kalah sebelum bertarung.  Atau nurut karena takut. Tapi bisa berani melanggar hukum asal berjamaah. Kalaupun dipenjara, dimaki-maki, bahkan dikafir-kafirkan, dia bisa tenang karena gak sendirian. Padahal mestinya di situ dia menjadi alif yang tegak dan terdepan.

Saya bisa pakai contoh puisi-puisi orang lain, atau wacana puisi secara umum.  Tetapi karena yang terpenting tersampaikannya sebuah maksud,  maka saya bikin pengandaian pakai puisi-puisi saya.

Begini.  Puisi-puisi saya bisa saja secara mendadak dianggap puisi partisan yang tidak berkualitas lagi. Dianggap milik kubu tertentu, dan cuma dianggap berdaya dukung untuk kubu politik tertentu.

Yang artinya puisi saya akan dianggap pernah mengalami era-era tidak bermutu. Sebagai seniman, penyair,  jurnalis dan aktivis sosial yang gambar punggungnya terbaca dengan jelas oleh banyak orang,  bisa jadi di tahun 1990 puisi-puisi saya dituding milik PPP.  Karena waktu itu saya dan PDI menjadi minoritas yang dianaktirikan oleh penguasa dan mayoritas masyarakat saat itu. 

Apa ada puisi milik partai tertentu?  Mungkin ada,  kalau seorang juru kampanye baca puisi di panggung orasi dengan menyebut-nyebut nama partai itu.  Masabodoh puisi macam itu akan dimuat koran atau diterbitkan dalam sebuah buku atau tidak? Bahkan masabodoh juga akan dianggap puisi sungguhan atau cuma dianggap mirip puisi. Yang penting membakar adrenalin simpatisan. Toh kalau soal orisinalitas dan kualitas dukungannya, sudah teruji pada platform partai yang didukung.

Ketika di kemudian hari saya bilang sama Pak Camat,  siap jadi kader Golkar dan dipeluknya. Sesuatu peristiwa yang tidak akan terjadi di jaman now.  Sebab partai gak ada urusannya dengan lembaga atau jajaran pemerintahan apapun. Jangan-jangan puisi saya mulai dianggap puisi milik Golkar. Termasuk puisi-puisi saya yang sudah lebih dulu dibuat,  beberapa tahun sebelumnya. Sebab di hari-hari belakangan ini ada juga amatan sebagian masyarakat yang menyebut,  penyair yang partisan pada suatu kubu politik tertentu, kualitas puisinya dipertanyakan. Apa itu buah pelajaran Orde Baru? Karya seni apapun di masa itu,  asalkan dibuat oleh anak Golkar selalu berkualitas dan layak dapat penghargaan. Sementara karya anak PDI dan anak PPP adalah karya para pihak yang tidak mendukung negara.

Meskipun hal itu kadang saya sikapi netral,  "Begitulah pilihan politik dan cara berfikir politik pada sebuah era,  sebuah rezim.  Pak Harto bisa dianggap punya ceritanya sendiri. Kalau maunya begitu mau apa lagi?  Produk undang-undang pun sebagai satu-satunya rujukan bersama bisa meluluskannya.  Maka kalau mau,  harus ada yang masuk Golkar terus teriak-teriak dari dalam,  supaya gerak pemerintahan Golkar saat itu lebih berkembang dan berproses mengikuti keinginan rakyat yang lebih dinamis tuntutannya".

Ya,  saya kan POLITISI TPS.  Artinya ketokohan saya bukan di partai.  Melainkan di masyarakat. Di radio. Di komunitas senibudaya dll. Tetapi sekalinya ada bau dan warna partai di punggung saya,  setidaknya 17 orang bisa membacanya. Itu maksud saya.

Selain itu,  cenderung berpartai tertentu dengan berani dibaca orang gambar partainya, bagi saya (penyair/ seniman) adalah tanggungjawab warga negara di sebuah negara hukum,  yang berani mendukung proses pembangunan di segala bidang dengan suatu cara.  Meskipun ntar yang jadi anggota DPR dan presidennya bukan saya.

Bukankah anggota DPR itu dari beberapa partai yang ngumpul di Senayan,  lalu bikin GBHN waktu itu?  Lalu pemerintah disuruh kerja bener? Sampai-sampai waktu di kelas 1 SMA  saya bikin karya tulis ilmiah soal KB untuk suatu lomba tingkat Jawa Barat, saya cuma mau bilang,  menurut observasi saya program KB atau NKKBS itu adalah sebuah PILIHAN SOLUSI SOSIAL. Selebihnya saya cuma mengamini GBHN yang ada. Lucu juga jadinya,  karya ilmiah yang tebal gara-gara GBHN.

Bagi saya berpolitik TPS itu cerdas.  Kita cuma dituntut yakin bakal ada proses pembangunan di segala bidang di dalam kotak suara.  Maka sebelum mencoblos semestinya kita intip dulu kotak suaranya.  Ada apa saja di dalamnya? Siapa tahu ada yang menyimpan bom molotov,  oli bekas untuk menyiram kepala, narkoba,  dll?

Jangan-jangan ketika di awal reformasi saya ada di dalam PAN,  maka puisi saya pun dianggap sudah tidak reformis? Tidak universal.  Menjadi milik Amin Rais?

Begitupun ketika saya lalu nyoblos PKS. Lalu nyoblos PDI Perjuangan. Lalu mendukung Ahok dalam Pilkada DKI. Jangan-jangan waktu saya ditulisi kafir,  komunis,  antek Cina,  murtad dll di media sosial,  pada saat itu puisi saya sudah dianggap puisi kafir,  komunis,  antek Cina,  murtad dll. Walah-walah. Pantesan ada beberapa orang di darat yang gak mau tegur-sapa dengan saya waktu itu.

Iki priye to?  Kok ngene?  Tafsir jaman now kitu Kang? Eceu?

Padahal kalau saya mau membuat ulasan singkat mengapa hari ini mendukung Jokowi sebagai calon petahana dalam pilpres 2019 yang akan datang, rahasia dukungannya tidak akan sampai membuat puisi saya tergadaikan dari kualitas, kerja total puisi yang humanis-universal dst. Ini ternyata menarik dan penting untuk diendus bersama.

Kecuali bagi yang gak mau,  mereka sudah kebelet dengan suatu ukuran: penyair hebat itu netral,  tidak akan pernah ikut-ikutan nyoblos dan kampanye. Dia harus steril sebagai manusia dewa dari langit, titisan para malaikat dari sorga. Kalau sedang bersender lalu telapak tangannya menyentuh gambar partai tertentu,  atau gambar calon tertentu, dia terhukum mesti cuci tangan tujuh kali.

Berikut ini ulasan singkat saya mengapa saya dukung Jokowi dalam Pilpres 2019 yad.  Tapi anda mesti hati-hati, atau sebaiknya jangan baca. Nanti anda pro Politik TPS saya.

Pertama. 
Jokowi itu Islam.  Sejak saya melek politik di Indonesia,  saya setuju pada konstitusi yang membolehkan seluruh anak bangsa jadi calon presiden. Itu adil dan beradab namanya. Yang artinya,  ummat Islam yang mayoritas,  ternasuk saya di dalamnya,  boleh menginginkan dan mendukung total kepada calon presiden yang muslim. Yang tidak cuma berislam KTP.  Tetapi bisa ditokohkan keislamannya. Masuk akal kan? Dan sunguhpun dia seorang muslim,  representasi ummat mayoritas,  tetapi dia adil pada segenap bangsa Indonesia. Tidak seenaknya saja membeda-bedakan dan memperlakukan orang berdasarkan sentimen SARA. Harus melakukan eksekusi pembangunan secara merata dan berkeadilan.

Kedua. 
Terbukti dia siap bekerja dan sudah bekerja untuk pembangunan Indonesia serta memegang teguh komitmen menjaga keutuhan NKRI yang ber-Pancasila, ber-Undang-Undang Dasar 1945, dan ber-Bhineka Tunggal Ika.

Sampai-sampai saya menjulukinya Presiden Bola Indonesia,  karena punya Aksi 312. Yaitu ketika dia hadir di tengah semifinal Tim Nasional di stadiun Pakansari,  Cibinong,  Bogor. Padahal biasanya presiden itu akan hadir di event pembukaan atau di partai puncak,  final, bukan di babak semifinal.  Sehingga dalam apresiasi saya,  sebagai presiden ia memang wajib memanfaatkan momen yang  sedang disorot seluruh bangsa Indonesia itu untuk memelihara rasa cinta NKRI dan berkomitmen pada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Itu hebat! Filosofinya,  mendukung Tim Nasional dan persepakbolaan Indonesia adalah dalam rangka menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Sehingga bola tidak sekedar permainan. Tetapi sebagai olahraga,  hobi, profesi, prestasi, gerak ekonomi, ajang pergaulan nasional dan internasional, harga diri bangsa,  dan simbul nasionalisme.

Gak apa-apa selama ini presiden gak ngasih saya sepeda atau beberapa pemberian lainnya. Melihat mereka yang nerima sepeda,  dll saya seneng banget. Dan di tiap minggu kalau saya jalan-jalan bersepeda, saya anggap itu sepeda dari Presiden.  Termasuk kepada anak saya yang sepeda sekolahnya raib dicuri orang saya bilang,  "Waduh, ada yang tega nyuri sepeda presiden".

Ketiga. 
Dia orang biasa seperti saya yang berusaha untuk amanah. Sebab kalau saya tidak mengandaikan seperti saya pribadi,  lalu bagaimana saya bisa 'rasan-rasanan' bahwa dia sangat mampu memimpin? Mengendalikan kekuasaan dengan penuh tanggungjawab,  konstitusional,  dan menyejahterakan? Termasuk memberi kesejahteraan dalam wujud rasa aman dan peluang untuk berkembang sesuai potensi dan kesukaannya masing-masing.

Bahkan di depan film Nelson Mandela,  saya merasa sedang merapihkan baju saya sendiri, hanya dengan melihat dia sedang merapihkan bajunya di kamar. Seberapa dekat saya dengan Nelson?

Ya, Jokowi itu wong cilik seperti saya.

Keempat. 
Mengapa di tahun 2014 saya dukung Prabowo Presiden? Ya, karena dia pantas jadi presiden. Punya kriteria itu. Termasuk punya daya dukung gagah,  lantang dan berwibawa. Tetapi di tahun 2019, saya konsisten dengan prinsip saya. Tidak berubah sedikitpun. Jokowi punya kriteria kuat, termasuk tenang dan cermat di dalamnya, tidak cuma untuk jadi presiden, karena dia sudah terbukti jadi,  tetapi untuk bertahan 10 tahun memenuhi kewajiban Undang-Undang.  Sekali lagi, menenuhi panggilan Undang-Undang untuk masa depan bangsa dan negara Indonesia. 10 tahun memimpin.  Dengan syarat harus menang lagi.

Kelima. 
Terbukti Jokowi telah dan terus mendapat dukungan politik yang signifikan, baik dari partainya, dari partai-partai koalisi,  maupun dari masyarakat luas. Mestinya dilihat,  dukungan partai itu bersifat formal disertai angka-angka yang pernah dimenangkannya.  Sedangkan dukungan dan kecintaan masyarakat bisa dilakukan melalui survey. Tetapi tentu saja,  hal pertamalah yang menjadi persyaratan resmi.  Tetapinya hebatnya, hal kedua bagi Jokowi,  dia punya dukungan yang sangat kuat.

Tentu beda kalau seseorang capres atau calon pemimpin cuma dapat dukungan dari saya seorang diri.  Saya akan tarik tangannya kuat-kuat,  agak secara paksa, lalu saya akan ajak lari-lari ke pasar, bahkan ke kerumunan pemulung di tempat-tempat pembuangan sampah, sambil teriak-teriak,  "Inilah calon pemimpin kita, ntar kalian pilih yang ini ya?  Bagus bentuknya. Lucu modelnya".  Haha.

Keenam.
Ini biasanya tuntutan pihak yang mengkritisi. Mestinya melihat juga dari sisi kekurangannya, begitu katanya.

Saya pakai pakem kuno,  kalau saya gak tahu,  biarlah Allah yang maha tahu saksinya. Saya cuma berusaha terus cari tahu. Kalau seseorang pemimpin,  siapapun, punya kekurangan yang merugikan,  sementara saya tidak tahu-menahu, bagaimana saya akan ikut tanggung jawab? Buktinya, ketika beberapa bupati dan gubernur yang kita hormati diseret ke pengadilan korupsi,  kita akhirnya cuma ngelus-elus dada,  karena gak ngerti,  gak menyangka. Ikut marah-marah juga akhirnya. Demo juga.

Sekadar mengingat, kalau dulu Ahok terseret kasus korupsi, sebagai tersangka yang meyakinkan pada saat proses Pilkada DKI, saya pasti  berbalik arah 100% menolak Ahok nyalon. Tapi kalau muter-muter dalam salah paham yang gak jelas, mana kekuatan hukum dan keuntungan sosialnya? Toh demikian, ketika ada keputusan hukum,  saya cuma berdoa dan bilang,  "Semoga tidak ada permainan hukum.  Tidak ada tekanan yang memaksa hukum berubah arah keadilannya dari lurus ke bengkok.  Semoga. Allah tetap Maha Adil".

Tetapi khusus untuk Pak Jokowi sebagai capres 2019 yang sudah diumumkan PDI-P dan ramai-ramai didukung partai koalisinya,  juga diam-diam secara kesepakatan konstitusi didukung oleh lawan politiknya, meskipun hari ini belum peresmian Capres-Cawapres,  apa padanya ada tanda-tanda rahasia yang merugikan bahkan merusak tatanan negara dan bangsa Indonesia?  Menghancurkan proses pembangunan?  Tidak amanah?

Nampaknya dia baik-baik saja.  Bahkan masih dipercaya. Bahkan terus menguat kepercayaan kepadanya. Dan kalau ada malaikat lewat yang nanya,  "Apa kau bersaksi dan tahu?" Saya jawab,  "Bukankah kau yang lebih bersaksi muka belakang?"

Itulah 6 poin penting untuk mendukung Jokowi.  Saya tidak perlu menuliskan semuanya dalam tulisan pendek ini. Apalagi tujuan utama tulisan ini adalah menelisik,  apakah benar puisi seorang penyair akan tiba-tiba berubah jadi puisi banci karena politik gara-gara penyairnya semangat pergi le TPS dan ketahuan gambar dukungannya jauh-jauh hari?

Saya kira dengan proporsi netralitas saya dalam "berpolitik TPS" dan berdiri di atas konstitusi itu,  tidak akan mengiris-iris puisi  saya sehingga menjadi cincangan kata-kata yang menjijikkan dan tak berguna. Tetap seperti sedia kala.  Puisi saya wajib bekerja untuk kemanusiaan,  untuk Tuhan.

Menjawab persoalan pada paragraf pertama tulisan ini,  puisi-puisi saya,  juga puisi-puisi anda,  jelas-jelas bukan puisi banci. Bukan puisi banci karena politik. Meskipun kita menjadi pihak yang terpaksa berpolitik atau partisan secara sehat, normal dan konstitusional. Apalagi puisi sendiri sudah menunjukkan sikap politik. Selalu begitu. Bagaimanapun. Sayangnya pihak awam tidak menginsyafi ini.

Entah siapa yang memulai.  Yang jelas Chairil Anwar yang diberi rahmat Allah,  sebuah ruang yang memopulerkan dirinya,  - - - tidak sekadar disebabkan puisinya yang bagus--- nyata-nyata telah mendatangkan respon positif dari Bung Karno karena teriakannya,  Menjaga Bung Karno,  Menjaga Bung Syahrir,  dalam puisi Kerawang Bekasi. Yang secara politis, itu tidak cuma semangat stereotype dari perjuangan 45, tetapi secara khusus sekaligus soal penerimaan ketokohan Soekarno. Sebab pada zaman itu, sastrawan dan penyair khususnya adalah pihak yang vokal dan sangat didengar masyarakat suaranya. Apalagi masih era keemasan koran, majalah dan buku. Nama-nama muncul dari situ. Cuma ada sedikit radio. Belum ada TV.

Tapi dari pengalaman saya. Yang berkali-kali punya partai, calon kepala daerah dan presiden yang kalah dalam Pemilu.  Biasa saja. Tetap suka duka. Selama Orde Baru boro-boro PPP dan PDI bisa menang.  Yang ada,  hidup pun dalam kelompok kecil seperti anak tiri. Bahkan di tahun 2014, saya kan gak nyoblos Jokowi.  Seperti juga di DKI,  saya kan pergi ke TPS untuk nyoblos gambar Ahok-Djarot. Meskipun ada juga orang yang nanya anak saya di depan gerbang TPS,  "Mau ke mana?"  Oalah,  sudah jelas-jelas mau nyoblos.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG