PUISI MEDSOS DAN HADIAH SERBET

....

kata-kata menemui
sayapnya
bukan karena ingin terbang lebih
tinggi

seperti nabi
ia menggenapkan kewajibannya

seperti daun-daun basah
mencukupkan yang kaulihat
hujan
kemarin

#puisipendekindonesia 
Dari puisi-puisi tanpa judul,  Malam Keajaiban Air Mata,  Gilang Teguh Pambudi 
-------

Jangan remehkan media sosial.  Yang bikin remeh itu setidaknya ada tiga pihak.  Yang bikin jaringan media sosial tetapi permisif terhadap konten-konten negatif.  Kedua,  pengguna yang tidak bertanggungjawab pada sistem nilai pada kehidupan manusia secara universal. Dan ketiga,  pihak yang menyebut bermedia sosial itu cuma beremeh-temeh. Gak ada manfaatnya samasekali. 

Padahal media sosial itu seumpama senjata atau fasilitas tertentu. Sangat tergantung pada siapa penggunanya,  atau siapa penanggungjawabnya.

Saya sendiri termasuk yang bisa menikmati keunggulan media sosial pada bagian-bagian tertentu.  Meskipun tidak pada bagian yamg lain. Dan pada bagian yang disukai itu salahsatunya adalah grup puisi sebagai grup publik.  Karena sekali waktu,  di ruang ini saya bisa menemui puisi yang bagus.  Atau setidaknya yang sangat memikat hati.

Contohnya hari ini.  Saya sangat tertarik dengan sebuah puisi di media sosial facebook  yang ditulis  oleh Edysto Syalira,  yang berjudul Nak.  Begitu saya menyebut nama dia, maklum dia menulis puisinya di grup SYALIRA (Syair Pelipur Lara).

Ini puisi yang saya maksud:

NAK

Nak,
beginilah negeri ini
sekarang

Bukan hanya kita
yang lapar

Mereka
yang berduit pun
kelaparan
Mereka
gerogoti lumbung
simpanan kita

Nak,
jangan menangis
Kita
masih punya nurani

#BE_YK_060518
Edysto Syalira 
-----

Jelas itu puisi sosial,  atau lebih tepatnya, puisi kritik sosial. Puisi kritik sosial sudah biasa bersingungan dengan pola hidup masyarakat,  kesenjangan sosial,  dan kebijakan pemerintah yang kurang atau tidak memihak.

Pola hidup masyarakat yang buruk,  tentu sangat tidak menguntungkan bagi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.  Sebab sistem sosial yang baik serta standar hidup layak dalam batas minimal pun akan ditentang oleh pola hidup yang salah itu.  Dan sebagai lawannya adalah pola hidup konstruktif.

Kesenjangan sosial adalah suatu kondisi tak terkendali karena keadaan yang tidak menguntungkan masyarakat.  Baik secara alamiah terjadi,  atau karena kebijakan pemerintah yang buruk.  Setidaknya pada poin ini,  tidak membenarkan 100% kesalahan pada pemerintah atau penguasa.  Sebab keadaan bisa tiba-tiba buruk sebagai suatu peristiwa yang tak terhindarkan.

Sedangkan kritik sosial yang biasa menonjol adalah suatu kondisi buruk yang jelas-jelas dianggap sebagai akibat kebijakan penguasa yang tidak memihak rakyat.  Cenderung masabodoh, otoriter, sepihak, keras,  dan korup.

Ini perlu saya buka dalam catatan ini karena selama ini banyak pihak berkesimpulan,  bahwa puisi bertema kritik sosial adalah puisi yang nyata-nyata berani mengritik penguasa karena suatu kondisi sosial yang buruk. Semisal anggapan pada puisi-puisi Rendra dan lirik lagu-lagu Iwan Fals. Yang selalu akan melahirkan pertanyaan,  apa puisi yang bersumber dari pola hidup masyarakat yang buruk dan kesenjangan sosial dalam kondisi yang buruk,  tidak termasuk puisi kritik sosial? Apa benar puisi kritik sosial mesti menempatkan masyarakat dan buruh selalu  lebih benar daripada pemerintah? 

Tentu tidak demikian.  Sedangkan puisi yang memikat saya,  karya Edysto Syalira,  menunjulkan kritik kepada orang-orang elit yang dalam keadaan beruang,  bahkan kaya,  tetapi masih saja kelaparan, lebih buruk dari orang-orang  miskin,  dan doyan korupsi. Merugikan masyarakat banyak,  bangsa Indonesia.

Saya menduga,  kalau presiden hari ini membaca puisi Edysto ini,  dia akan tersenyum sebagai dukungan terhadap penyairnya yang anti korupsi. Yang perduli si miskin. Dan ini serius.  Apalagi mengritik keadaan,  tidak selalu harus berarti memusuhi pemerintah atau presiden.

Saya terharu di depan puisi pendek Edysto Syalira itu. Tiba-tiba saya harus membedakan dan membandingkan antara laparnya orang miskin atau orang yang hidup pas-pasan dengan laparya orang kaya yang rakus di depan jatah Si Miskin,  Sampai saya bilang,  untung ada media sosial, atau internet yang berpuisi.

Ataukah anda termasuk pihak yang sudah kepalang menelan karma, tertawa, bahwa puisi medsos selalu lebih buruk dari puisi koran, majalah, dan buku?

Ketertarikan saya pada puisi itu,  sampai saya berfikir,  bagaimana kalau Puisi Medsos model ini diikutkan lomba cipta puisi atau diikutkan dalam lomba baca puisi,  apa jika menang akan dihadiahi dua serbet seperti informasi dari Banten baru-baru ini?  Alamak,  sedih sekali kalau begitu. Alangkah lebih mulia menang nulis atau menang baca puisi tanpa hadiah, cukup disebut nama pemenangnya saja, daripada hadiahnya tidak bisa dipahami.

Ya,  belakangan ini sempat heboh ketika ada informasi dari jurnalis dan kalangan seniman, bahwa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan  Banten telah mengadakan aneka lomba,  termasuk lomba baca puisi di dalamnya, dalam rangka Hardiknas 2018. Tetapi hadiah yang diterima oleh juara duanya adalah dua buah serbet, atau lap kotak. Maka sontak memancing emosi aktivis seni di sana. Yang kemudian mengadakan aksi protes.

Seperti biasa, sebelum memiliki cukup data dan fakta saya belum bereaksi apa-apa. Malah teringat beberapa lomba baca puisi yang pernah saya selenggarakan, salahsatunya yang saya adakan di Mesjid Polsek Cipaisan,  Purwakarta. Saat itu pesertanya antar siswa SMP,  juri puisinya Tholib Mubarok dkk. Lalu apa hadiahnya?  Kami siapkan piagam, lalu piala, lalu sedikit uang tunai,  lalu....  Ya,  saya teringat bahwa saya masih bisa minta gelas kepada sponsor kopi.  Maka saya kasih gelas bertuliskan merk kopi tertentu kepada seluruh pemenang. Apa hadiah gelas yang saya berikan itu layak didemo seperti hadiah serbet di Banten? Ah,  pasti ada beda cerita dari peristiwa Banten.  Itu analisa sementara saya.

Lalu saya teringat obrolan dengan Ali Novel di suatu sesi ngobrol di Rumah Seni Purwakarta.  Saya bilang,  "Gimana ya kalau kita ngadain lomba baca puisi berhadiah sekarung beras?" Gagasan itu bukan tidak beralasan,  bukan iseng belaka. Beras itu siloka untuk nafkah pokok keluarga.  Yang artinya, penggiat puisipun adalah para pihak yang hidup dan menghidupi,  bukan para pengangguran yang cuma tukang teriak,  meskipun yang sedang nganggur pun tetap halal berpuisi.  Itu pesannya. Normatif. Dan setidaknya kalau di sepakbola ada Domba Cup dan Ayam Cup, di puisi kenapa tidak ada Beras Cup? Kalau perlu gambar berasnya juga ada di spanduk.  Tetapi disertai keterangan,  pemenang akan mrndapatkan beras sekarung, piala,  piagam, dan uang tunai walaupun tidak besar. 

Di Sukabumi dulu, ketika saya dan tim dari Radio Menara FM mengawal tim bola voli dalam suatu lomba antar intansi, tim kami menang.  Dapat domba, piala dan uang tunai. Itu biasa.  Kalau perlu hadiah dari suatu lomba tertentu adalah seperangkat alat sholat,  plus piala dan uang tunai.

Saya juga pernah menjadi juara satu lomba baca puisi spontan tema radio,  dalam rangka HUT PRSSNI tingkat Jawa Barat.  Hadiahnya, tidak ada piagam,  piala dan uang tunai. Konsisten,  SEBUAH RADIO.  Ini sempat saya bikin anekdot,  saya dikasih radio oleh PRSSNI. Tentu supaya teman bicara saya menyangka, saya direktur dan punya radio sendiri saat itu.

Jadi hadiah gelas, ayam, domba, seperangkat alat sholat, radio, dan beras bukanlah hal aneh. Termasuk hadiah-hadiah lain,  apapun,  yang ada di gudang yang dianggap masih pantas dibuat hadiah. Biarpun murah, masih bisa dilihat pesan hadiahnya atau kesemarakan acaranya. Apalagi untuk lomba puisi Agustusan tingkat RW.  Waktu remaja saya sering jadi panitia di situ.  Anak-anak sangat senang dapat hadiah beberapa buku tulis dan pulpen.

Kalau di area perkemahan pramuka,  saya yang pernah menjadi pembina pramuka sering mengadakan acara yang sifatnya seru-seruan.  Yang penting semarak.  Yang juara lomba baca puisi pun cuma dikalungi kerupuk yang bisa dibagi-bagikan kepada teman satu tenda. Itu halal dan tidak menjatuhkan puisi,  penyair yang puisinya dibacakan,  dan dunia kepenyairannya.

Lagi-lagi saya mulai bertanya, apakah peristiwa di Banten itu telah meleset dari kisah-kisah romantis pengalaman saya itu?  Inilah rupanya Persoalannya. Tetapi dari berbagai pemberitaan, pihak panitia mengaku tidak punya maksud buruk di acara itu, dan pihaknya meminta maaf jika tidak berkenan. Serta akan mengonfirmasi soal acara itu lebih lanjut kepada tim panitia yang terlibat.

Saya gak perlu berdetil-detil membahas perlambang serbet kan?  Misalkan sebagai alat 'pembersih' ,  baik versi panitia,  versi pemenang baca puisi dalam suatu lomba yang mendapat hadiah serbet,  maupun versi para penyair. Gak perlu juga kan berdalil bahwa serbet adakalanya jadi alat pengadon emas? Sebab,  saya pun tidak punya penjelasan dari sana sedetil itu. 

Di depan media sosial kita bilang, tak ada puisi yang rendah. Kecuali yang cuma mirip puisi padahal bukan puisi.  Begitupun di depan panggung lomba baca puisi.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG