ROMADON, ISLAM, POLITIK DAN INDONESIA

...

bisa biadab puisi belakang
meja

puisi cinta matahari
sore

yang ditulis terawang palsu kitab
suci

sedangkan siapa fulan
ototnya meregang kerja dan baja
puisinya romantis juga

#puisipendekindonesia
Dari puisi-puisi tanpa judul,  Malam Keajaiban Air Mata,  Gilang Teguh Pambudi
-----

Saya melihat ada kegundahan yang tidak lazim dalam gerak politik kita.  Ini saya sampaikan dalam kapasiitas anak Indonesia, muslim, tokoh masyarakat, seniman dan seperti teman-teman bilang, sebagai budayawan. Karena muslim ada pula yang menyebut saya budayawan muslim. Soal sebutan budayawan kentir,  itu soal lain.

Terutama apa yang disebut dengan politik Islam dan politik menggerakkan ummat Islam.

Politik Islam sudah pasti menggerakkan ummat Islam,  bahkan pasti berpengaruh positif kepada masyarakat yang tidak ber-KTP Islam. Menciptakan keharmonisan bangsa dan kerukunan pergaulan dunia yang tiada tara. Sebab Islam itu rahmatan lil alamin.  Kasih untuk semesta.

Sedangkan politik menggerakkan ummat Islam, bisa ditafsirkan,  belum tentu beresensi politik Islam. Cuma masuk wilayah persekutuan orang-orang yang ber-KTP se-Islam untuk suatu tujuan tertentu. Bisa juga bahkan, langsung atau tidak, penggeraknya non-muslim, yang menggerakkan ummat Islam dengan suatu maksud.

Kegundahan itu adalah kesaksian dan kesadaran kita,  sebagai setiap pribadi dan kelompok muslim di Indonesia mesti bersikap bagaimana dan ada di mana? Dan kegundahan ini pula yang menginspirasi dan memotivasi sikap-sikap tertentu. Termasuk membuat penasaran,  ingin tahu gerakan Islam ini dan gerakan Islam itu.

Sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam,  Indonesia tentu mesti memiliki daya baca atas persoalan-persoalan ini. Apalagi akan memberi kesan buruk jika kesenjangan dan potensi masalah sosial justru banyak bersumber dari penduduk mayoritas ini. Termasuk masalah-masalah politiknya.

Negara tentu tidak hanya eksekutif saja.  Tapi seluruhnya. Kalau di struktur pemerintahan sudah jelas. Seluruh jajaran lembaga kementrian atau yang setingkat kementrian di tingkat pusat itu,  sampai ke pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota,  mesti memantau dan memahami kehidupan umat Islam,  baik sebagai pribadi-pribadi atau terorganisir.  Menyadari gerakan mereka yang konstruktif dalam pembangunan berbangsa dan bernegara.

Dalam pendekatan besar ini berarti kata kuncinya sudah jelas.  Kita NKRI yang ber-Pancasila, ber-Undang-Undang Dasar 1945,  dan ber-Bhineka Tunggal Ika. Satu Nusa Satu Bangsa.  Bagi ummat Islam,  ini diterima dengan penuh rasa syukur sebagai karunia tiada tara dari Allah Swt. Bahwa kemudian di dalam sistem perundang-undangan dan proses pembangunan dinilai ada hal-hal yang layak dikritisi atau direformasi, itu memang sebuah kelaziman.  Itu konstruktif. Tidak masalah.

Masalahnya.  Kegundahan politik ummat Islam di Indonesia itu mestinya berorientasi kepada keteduhan sikap-sikap yang Islami. Sikap-sikap humanis-universal.  Rahmatan lil alamin itu.  Bukan berorienrasi kepada ambisi-ambisi kelompok tertentu yang cuma maju bergerak menggunakan simbul-simbul Islam.  Apalagi kalau ujung gerakan itu hanya untuk memenuhi target sesaat. Sekedar mau menulis dalam peta sejarah,  bahwa sesuatu pernah dilakukan kelompok ummat Islam tertentu yang kuat dan berkuasa. Sedangkan yang dibutuhkan, justru ummat Islam selalu menentukan kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara ini ke depan.

Memang benar, setiap kali ummat Islam bergerak, mustahil melepas simbul-simbulnya. Tetapi tentu beda dengan yang sekadar upaya memanfaatkan simbul-simbul itu untuk tujuan apa saja. Bukankah seorang penipu dan pencuri pun bisa sesuka hati menggunakan simbul berangkat dan berdiam di mesjid,  bersorban dan berjilbab,  berdoa dan membaca ayat suci untuk memikat,  dst? Sikap mampu membedakan secara proporsional ini, menunjukkan kita waspada dalam menyelamatkan Islam. Sebab Islam sendiri artinya keselamatan. Dan kita tentu tidak ingin Rosulullah SAW di dalam jiwa dan hidup kita dihina dan direndahkan kebenaran dan kemuliaannya. 

Saya bilang,  mau gak mau ber-Islam itu sendiri sudah sikap politik.  Syahadat itu sudah berkekuatan politik,  meskipun itu kewajiban fitrah manusia. Tinggal kita terus bermain cantik,  secantik-cantiknya,  setelah keutamaan Islam yang menyelamatkan seluruh manusia di muka bumi ini terjaga.

Di Indonesia tentu sambil menjaga ke-Indonesiaan kita yang dirahmati Allah Swt.

Terlebih-lebih tulisan ini mulai dibuat tiga hari jelang Romadon 2018, maka layak juga dimaksudkan sebagai renungan menyambut bulan suci Romadon. Bulan latihan dan berserah diri, yang sesungguhnya mengajari kita untuk berpuasa sepanjang tahun,  yaitu berpuasa untuk selalu menahan hawa nafsu jahat,  bahkan menahan-nahan nafsu halal untuk mengatur hidup yang lebih bermanfaat karena pilihan pada prioritas-prioritas utama.

Jangan dulu bicara yang berkesan tinggi,  muluk, dan yang menuntut intelektualitas tinggi untuk memahami bahwa Islam itu dengan sendirinya kerja politik.

Ketika kita melihat hampir di setiap lingkungan RW di kota-kota, dan setidaknya di setiap kampung kalau di desa-desa, ada surau,  musola,  dan mesjid kecil.  Ada beberapa mesjid jami di satu kelurahan. Ada mesjid besar yang menonjol di tingkat Kecamatan.  Lalu ada mesjid Agung sebagai ikon kota/kabupaten.  Apa yang kita rasakan?  Belum lagi di sana-sini ada sekolah-sekolah Islam dari mulai PAUD sampai perguruan tinggi. Ada pesantren dan yayasan sosial Islam. Apalagi ditambah ada Islamic Centre.  Ada Rumah Sakit Islam, klinik,  apotik,  bahkan pusat pengobatan altetnatif yang Islami. Di beberapa daerah juga menonjol makam keramat dari ulama-ulamanya. Apa yang kita rasakan?

Tentu itu aura besar bagi kehidupan masyarakat sehari-hari,  masyarakat Islam. Potensi besar bagi kesejahteraan dan ketentraman bangsa ini. Dan ini kekuatan politik Islam yang cinta Allah dalam satu derap langkah tujuan.  Sudah teramat sangat menjanjikan cinta. Pintu rahmat dari Allah Swt. Kecuali ketika ada yang nekad membuat kelompok-kelompok, juga partai politik, untuk memecah-belah potensi masyarakat Islam ini.  Meskipun propagandanya demi kesatuan Islam.  Nyatanya bisa memecah belah.

Tak perlu demo-demo berlebihan jelang Romadon. Termasuk jangan terlalu  banyak demonstrasi yang buang-buang enerji di hari biasa. Toh ketika presiden dan mentri agama kompak menyampaikan pesan-pesan menyambut Romadon, seluruh simpul-simpul masyarakat Islam akan menyambutnya sukacita dan kusyu. Mau apa lagi?  Kalaupun presidennya ngaco, masyarakat muslim pasti bergerak dengan mudah, dengan sendirinya untuk unjuk rasa. Tanpa tarikan-tarikan seketika yang dipropagandakan. Kecuali kalau sebatas aksi kemeriahan sukacita menyambut Romadon. Itu biasa. Tetapi pertanyaannya, kalau harus pakai aksi-aksi yang heboh, apa para pemimpin kita sedang ngaco?

Saya sendiri yang pernah dua kali mengetik naskah dan menambahi dua alinea untuk pidato Bupati Purwakarta, Lili Hambali, untuk menyambut Romadon dan Idul Fitri, senangnya bukan main.  Itu kenangan manis dengan aura besar. Di mana letak senangnya? Ada rasa, bersama membahagiakan masyarakat Islam semua, tanpa kecuali. Sekaligus menciptakan kondusifitas masyarakat selama Romadon dan selanjutnya di luar bulan Romadon. Lalu apa aura semacam ini sudah hilang? Hilang oleh apa?  Oleh kepentingan-kepentingan kelompok?

Selanjutnya kita lihat minggu,  bulan,  dan hari-hari besar Islam yang semarak. Ada bulan Romadon, Idul Fitri, suasana halal bihalal, Idul Adha,  Isra Mi'raj, Maulid Nabi, Malam tahun baru Islam,  1 Muharom,  pekan muharom, dll. Apa yang kita bayangkan?  Tentu kesemarakan kegiatan ummat Islam di mana-mana. Apa itu bukan syiar Islam?  Apa tidak berkekuatan politik Islam.  Meskipun tanpa partai apapun di situ. Belum lagi selama bulan haji kita disuguhi informasi kegiatan haji yang semarak.  Memukau. Bahkan masih bisa merasakan hangat wangi dan lezatnya daging kurban di seluruh penjuru tanah air.

Di tambah lagi kita punya hari Jumat. Ada yang menyebut pesta kecil, hari raya mingguan. Ada yang menyoroti tiang sosialnya, sebagai kunci berjamaah. Secara politik massa menunjukkan bahwa ummat Islam tetap bersama. Asalkan tidak ditumpangi kepentingan pragmatis dan profokasi. Sampai saya pernah bersukacita melakukan safari sholat Jumat di 40 mesjid berbeda, tiga kali. Nikmat sekali. 

Di masyarakat,  maksudnya di luar mesjid,  kita masih punya kegiatan rutin majlis taklim mingguan di mana-mana, anak-anak ngaji setiap hari,  juga punya komunitas-komunitas seni Islam yang khas.  Selain juga banyak komunitas seni umum yang digerakkan oleh para tokoh Islam,  tua muda,  yang mau tidak mau aura kegiatannya bernafaskan Islam. Meskipun berupa hiburan yang tidak berkesan eklusif. Kita bisa mafhum.

Dalam hal kegiatan kemasyarakatan.  Masyarakat muslim tentu kalau menikah atau khitanan,  ritual acaranya memberi wangi Islam ke mana-mana.  Ini berkah yang besar. Sebagai pancang-pancang dakwah. Apalagi dilakulan oleh masyakat dalam jumlah yang banyak yang selalu sambung menyambung setiap waktu. Selain itu ada juga semarak kegiatan sosial berupa santunan-santunan,  terutama kepada kaum duafa,  yatim piatu dan kaum jompo. Belum lagi kalau ada bencana,  ummat Islam banyak melakukan aksi sosial untuk kepedulian bencana. Ini semua adalah kekuatan politik Islam.  Bukan karena suatu partai atau kelompok tertentu. Dan tidak mengerikan bagi siapapun.

Senam masal di alun-alun yang diikuti oleh ribuan ibu-ibu,  bapak-bapak dan muda-mudi yang dibuka dengan doa bersama sebelum senam pun merupkan kegiatan ummat Islam yang tidak remeh. Apalgi jadi kegitan rutin mingguan.  Apalagi di seluruh lingkungan di manapun.

Kerja bakti di kampung-kampung,  termasuk program Jumat sehat dan Jumat bersih itu pun inspirasi dari Islam. Kalau ini terpelihara dengan baik,  ini adalah kekuatan politik Islam.  Bahkan sebagai orang yang pernah merasakan remaja dan ikut ronda,  saya dulu paling senang kalau selama bulan Romadon membangunkan orang untuk makan sahur dengan membunyilan kentongan tangan. Ini romantisme yang indah dan menyentuh rasa kemanusiaan.

Di dunia pendidikan. Kita tahu ada mata pelajaran khusus Pendidikan Agama Islam bagi seluruh siswa-siswi Indonesia yang beragama Islam. Berapa banyak jumlah guru dan muridnya, yang tentu bagian dari masyarakat mayoritas itu? Belum lagi untuk membahas seluruh materi pelajaran lain, apapun, kalau sudah menyangkut posisi dan keterlibatan Allah, seperti dalam mata pelajaran IPS dan IPA misalnya, guru pasti akan mengarahkannya sesuai dengan agama murid-myridnya. Tidak diskriminatif. Ini adalah kesadaran Islam yang sejuk. 

Masalahnya,  apakah kita sudah mengerti politik itu apa?  Ya,  banyak orang awam terkena racun,  politik artinya menjadi simpatisan partai politik tertentu. Meskipun itu benar,  tetapi telah membutakan diri dari pemahaman poitik kebangsaan kita,  yaitu ketika masyarakat Islamnya yang merupakan penduduk mayoritas semestinya yang paling mampu membangun ketentraman dan kemajuan pembangunan. Yang artinya,  politik itu strategi sosial, yang sistematis, berproses dalam kehidupan sehari-hari,  menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera. Jauh dari penyakit masyarakat dan kecelakaan sosial.

Dalam paradigma politik kekuasaan. Dalam Islam. Apa kita lupa,  bahwa sejarah lahirnya presiden,  gubernur,  bupati/walikota  dan tokoh-tokoh pemegang amanah-amanah tertentu,  adalah dibutuhkannya tokoh teladan,  tokoh yang adil dan berkemampuan memimpin, yang lahir dari masyarakat yang soleh? Lalu apa kita sudah kadung punya tata masyarakat yang buruk sehingga selalu ketakutan melahirkan pemimpin yang soleh?  Atau karena politik partai kita cenderung menggadang-gadang orang partainya dengan perseteruan yang tidak sehat,  daripada mengelus-elus seorang orang baik,  muslim yang bisa memimpin,  sebagai keterwakilan masyarakat yang soleh?

Ya,  sudah saatnya kita berfikir soal politik Islam dari bangunan masyarakat Islam,  bukan melulu dari posisi partai-partai dengan simbul Islam. Kalaupun setelah itu kita akan berkelompok di partai-partai,  itu langkah selanjutnya,  sebagai buah dari proses pendewasaan di tengah masyarakat muslim. Yang tentu menjanjikan jalan berpartai yang berkemanusiaan.

Seperti yang sudah kita ulas,  dari mesjid dan tempat peribadatan muslim lain yang terserak se Nusantara,  dari maraknya 12 bulan dengan aneka kegiatan ke Islaman setiap hari,  dan dari kegiatan sosial kemasyarakatan dan seni tradisi yang menggairahkan dan perduli kemanusiaan,  lalu waktu-waktu mana yang coplok dari gerakan  budaya atau  gerakan poitik Islam?

Sepakbola,  misalnya, sebagai satu jenis kegiatan, adalah olahraga paling mendapat dukungan suporter antusias di dalam stadiun dan di rumah-rumah.  Sampai ada nobar di mana-mana,  termasuk nobar yang paling simpel di pos RW dan pos kamling.  Apakah dada kita tidak berbunga-bunga,  airmata tidak dingin,  ketika para pemain yang berjibaku,  baik di Timnas maupun di Klub-klub itu selalu sujud syukur setelah mencetak gol,  atau menadahkan tangan ke langit.  Atau dalam wawancara dengan wartawan mereka mengucap,  ALHAMDULILLAH. Apa itu bukan syiar dan gerakan Islam?  Politik Islam?  Padahal pada saat yang sama kita tidak sedang membenci pemain lain yang berdoa dengan cara lain ketika berhasil mencetak gol.  Justru dengan cara ini sujud dan doa kita terbaca mesra.

Saya sendiri bersyukur pernah bersama teman-teman menginspirasi Wisata Sastra sebagai kegiatan mingguan yang menarik.  Bagi para pembaca puisi-puisi sosial dan Islami,  ajang ini adalah tantangan dan perjuangan.  Sehingga kami bangga menerbitkan buku antologi puisi anti miras dan narkoba.  Juga di hari kebangkitan kami meneriakkan BANGKIT ITU ANTI. Anti jahat, anti maksiat. Juga sangat mendukung Malam Puisi sebagai tradisi Indonesia yang khas yang perlu diangkat tinggi.  Bagi ummat Islam itu adalah ruang teriak kemanusiaan.

Tentu kegiatan-kegiatan positif yang mengangkat semangat keislaman itu banyak. Bisa terjadi di mana-mana setiap hari.

Program pemerintah pun banyak.  Setiap hari.  Berapa banyak jumlah muslim di situ?  Tentu mayoritas. Karena memang begitulah gambaran bangsa Indonesia. Demikianpun kalau kita melihat jumlah pegawai negri se Indonesia. Pun jumlah polisi dan tentara muslim. Mengapa harus ada kelompok anarkis yang anti polisi dan tentara,  padahal sama-sama muslim? Ini malah merusak politik Islam.

Sehingga saya perlu mengingatkan pemerintah Indonesia hari ini dan di masa yang akan datang.  Sesuai pesan Islam,  bahwa para suami mesti menjadi kepala rumah tangga yang menyelamatkan anak cucu manusia,  maka utamakanlah penghapusan pengangguran di kalangan lelaki Indonesia. Tentu termasuk para lelaki yang ber-KTP non-muslim. Harus adil. Tanpa mengurangi peluang wanita yang minat bekerja,  terutama dalam rangka membantu suami. Tentu bukan cuma menghapus pengangguran saja,  tetapi terus meningkatkan taraf hidupnya. Sebab bagi laki-laki muslim,  kesejahteraannya adalah juga kekuatan politik Islam, dalam menjaga keutuhan NKRI yang ber-Pancasila ber-Bhineka Tunggal Ika.

Ini tidak ada kaitannya dengan boleh tidaknya tenaga asing masuk Indonesia. Sebab hal itu mestilah ada aturan mainnya yang tidak mengganggu program penghapusan pengangguran dan pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Selain itu potensi ummat yang besar, yang oleh pemerintah mustahil dipegawai-negrikan semua, bahkan mustahil tertampung di pabrik dan perkebunan semua, mesti dibukakan jalan kemudahan untuk menjadi pengusaha-pengusaha Islam. Pengusaha kecil, menengah atau pengusaha besar. Yang bahkan bisa menyerap tenaga kerja. Selain semakin terbukanya ruang-ruang kerja lain yang banyak. 

Sudah semakin pahamkah kita tentang politik Islam yang mesra, bermartabat dan berhasil?

Bayangkan kalau dalam gairah yang bulat,  kesukacitaan Islam itu, lalu datang kelompok-kelompok dengan harapan mendapatkan dukungan ummat. Inilah yang kadang memecahbelah. Padahal berkelompok dan berpartai itu halal. Mendulang dukungan itu juga halal. Bahkan bisa wajib. Kita tidak boleh gagap. Sebab hanya dengan cara ini bisa lahir sebuah sistem dan keterwakilan.  Bisa terbangun kekuasaan yang kokoh. Tetapi kita pasti akan selalu menuntut bagaimana supaya hal ini bisa membuat tersenyum malaikat penjaga ukhuwah Islamiah? Penjaga keharmonisan berbangsa dan bernegara Indonesia yang plural. 

Soal partai nasionalis dan partai agama,  keduanya di negara Pancasila bisa dilihat kontruksi kesepadanannya sebagai Nasionalis Relijius. Bahwa di partai agama, spirit keagamaan harus didorong kuat-kuat untuk menjadi enerji kekuatan keadilan dan kesejahteraan. Agar Allah berposisi sebagai Yang Maha Pelindung. Bukan malah sebaliknya. Sedangkan dalam partai nasionalis,  ummat Islam yang menjadi mayoritas di tiap partainya di Indonesia adalah enerji utama untuk menggerakkan arah konstitusi dan tata kelola negara yang menyejahterakan dan memberi keadilan yang berketuhanan Yang Maha Esa. Bukan pragmatis untuk sekadar menghitung berapa banyak yang pakai peci atau tudung di rambutnya.

Selain pertentangan pilihan partai politik atau kelompok sosial tertentu,  pecahbelahnya masyarakat yang sedang berpolitik Islam itu juga karena perbedaan pendapat yang terlalu dibesar-besarkan.

Kita ambil contoh-contoh. Bagaimana mungkin yang suka dangdutan dan tari tradisional dengan yang tidak suka mesti ribut melulu di satu kampung padahal sama-sama muslim dan menjaga syariat dengan tafsirnya?  Padahal kalaupun ada hal-hal yang dinilai berlebihan bisa dikomunikasikan, sampai diperkarakan menurut hukum yang berlaku jika dinilai melanggar hukum.

Bagaimana mungkin main grebek rumah warga atau kontrakan menjadi budaya sekelompok orang tertentu yang suka main hakim sendiri,  hanya terpancing isu negatif yang belum jelas kebenarannya. Padahal aparat yang tahu hukum akan melakukan penggrebekan jika telah mendapatkan ketepatan untuk melakukannya. Misalnya ada tempat pelacuran terselubung,  sarang narkoba,  tempat menimbun barang curian,  dll. Itupun untuk diteruskan ke dalam proses hukum selanjutnya. Hal main hakim sendiri jelas bisa memancing keributan antar kelompok muslim di satu kampung.

Bagaimana mungkin gara-gara beda selera soal bentuk patung taman di antara sesama muslim, bikin ricuh suasana? Apalagi sampai kafir-kafiran. Kalau pemerintah yang punya andil,  disebutlah negara kafir. Padahal politik Islamnya pun sedang bekerja biasa-biasa saja di tengah ummat Islam. Malah bisa terganggu oleh kericuhan itu. 

Ya. Bahaya kalau kita tidak pernah bersaksi dengan pendapat,  sikap dan perbuatan,  bahwa politik Islam adalah gerakan sosial kemasyarakatan yang rahmatan lil alamin.  Atau kalau kita sering menghianati ucapan di mulut sendiri.

Dalam ketokohan, kita harus terbiasa berlapang dada. Contohnya.  Tidak harus selalu Rhoma Irama figur sentral pedangdut yang muslim,  karena bisa juga menyebut nama-nama lain dengan leluasa kalau mereka adalah orang-orang baik di mata Allah. Meskipun selera musik dan gaya panggungnya berbeda. Sebab terlalu terjebak ciri khas Rhoma juga bisa mendatangkan anti pada ciri khas yang lain. Meskipun sama-sama figur baik. Berbaiatlah saja kepada Allah zat yang tunggal. Berbaiatlah sejak memahami syahadat yang dititipkannya sejak lahir. Jangan membuat baiat sendiri yang ceroboh,  apalagi berbaiat kepada pihak-pihak yang menawarkan kalimat yang tidak kita mengerti. Baiat apa namanya?  Apalagi berbaiat dalam keadaan kita bodoh.

Kita tahu,  jika Allah menghendaki sebuah nama negara pun bisa berganti. Suatu daerah kekuasaan bisa tenggelam. Tetapi bagi muslim yang kafah,  hari ini dan nanti,  ketika kita menyebut kata "INI", maksudnya adalah tanah air Allah, konsisten hidup di jalan Allah. Termasuk yang kita sebut NKRI yang kita bela dan cintai ini. Di mana salahnya?

Terakhir kita masuki suasana jelang Romadon. Menyambut dengan memasukinya. Padahal kita masih generasi Romadon tahun lalu yang tak lekang oleh waktu.

Mengapa Romadhon dibagi tiga? Tentu karena ada orientasi pada akhir,  padahal ketiganya satu kesatuan yang tak terpisahkan. Di sini kita selalu berfikir,  detik ini adalah detik terakhir untuk menjaga kemuliaan kita,  dan detik selanjutnya adalah detik terakhir jika kita mengalaminya.

Mengapa ada malam nuzulul Qur'an,  malam lailatul Qodar dan malam i'tikaf?  Karena kelahiran dan keinsyafan muslim adalah juga turunnya Al-Quran pada dirinya sebagai hidayah. Ini pelajaran Romadon. Karena setiap pribadi muslim adalah para pencari cahaya kemuliaan dan keselamatan, sehingga ia kelak berjalan sebagai cahaya penerang dunia.  Dan karena hidup memang selalu berada di dalam mesjid diri, langit diri,  yang luasnya tak terhingga. Jangan pernah keluar dari mesjid itu. Kapanpun di manapun. Ini mesjid yang mengumpulkan ummat, yang tak pernah sempit. Pengobar ukhuwah Islamiah.

Mengapa ada malam syawal dan idul fitri? Karena hidup adalah perjalanan suci. Setiap hari adalah kebangkitan semangat fajar.  Menemui fitrah diri,  dan menemui fitrah manusia semua sebagai fitrah diri sendiri juga.  Itulah ummat yang satu. Tidakkah terbaca indahnya?

Mengapa ada sholat malam,  tadarus Al-Quran dan ceramah agama?  Karena pribadi cahaya yang tenang itu yang istirah,  bersimpuh,  ruku dan sujud dalam kuasa Allah saja. Ia dalam perjalanan asmara yang mesra. Karena kemesraan dan ketenangan jiwanya, memiliki kefasihan daya baca kitab suci. Sehingga sikap adil dan bijaksananya sangat lembut dan keras. Karena berbagi kesepahaman dalam suatu majlis adalah santapan hati yang kuat,  yang dijaga para malaikat.

Mengapa ada buka puasa dan santap sahur?  Karena hidup semata adalah membuka diri dalam halal. Sebab di balik itu adalah kematian-kematian. Bahkan Allah berpesan tegas, jangan takut memanfaatkan malam untuk kebaikan apapun. Sebab filosofi makan berarti halal mencari makan.  Pun pada jam santap sahur. Ini malah hadir sebagai pesan Romadon. Sehingga kita salut kepada para mujahid yang mendapat giliran jaga malam, tanpa tidur semalaman. Subhanallah. Dan pesan yang penuh kasih lainnya, mustahil seseorang kuat berpuasa tanpa mencukupkan fitrahnya, termasuk fitrah makannnya. Maka kepada kaum duafa, anak-anak yatim, dan tua jompo yang hidupnya dalam puasa,  kita harus berempati dengan sedekah untuk fitrahnya. Sebab berpuasa pun butuh sahur. Kalaupun sahur terlewatkan,  seseorang bisa saja kuat berpuasa ketika santap sorenya masih menjaminnya.

Mengapa ada sukacita,  acara-acara,  buka puasa bersama,  panggung-panggung santunan,  kreasi seni yang menghibur dll?  Karena hidup Romadon adalah cinta. Adalah kepedulian. Adalah semarak yang hening. Rasa tahu yang kusyu.

Mengapa ada zakat, infaq, dan sedekah?  Sebab bismillahirohmanirohim. Kita melangkah sebagai ummat pemenang.  Selamanya. Karena itu kita berhalal bihalal. Saling menghalalkan yang halal.  Jangan saling ribut untuk sesuatu yang halal,  meskipun selera atas halal itu berbeda-beda. Sebab ada dua makanan yang sama halalnya, tetapi seseorang atau sekelompok muslim lebih cenderung pada salahsatunya. Bahkan ada yang dikira tidak halal oleh seseorang atau sekelompok tertentu,  ternyata ketemu halalnya menurut Al-Quran dan As-Sunah oleh pihak lain.

Kemenangan ini adalah politik Islam yang bekerja dengan sendirinya,  dengan rahmat Allah. Kecuali jika kita bergerak mengingkarinya.

Pengecualian ini tentu juga berlaku jika politik Islam cuma ditafsirkan secara dangkal, cuma untuk menggerakkan ummat manusia yang ber-KTP Islam untuk suatu tujuan tertentu.

Kita saling bertanya saja,  siapakah poitisi Islam sejati? Yang terpandang di seluruh mata dunia.

Lalu bagaimana hubungan politik Islam ini dengan hubungan antar pemeluk agama-agama? Tentu baik-baik saja.  Sebab menurut pandangan umum manusia,  perbuatan baik kepada sesama manusia itu keihlasan yang berkekuatan politik. 

Di era internet saat ini,  coba klik google dan tulis "POLITIK ADALAH".  Maka akan muncul kalimat ini:
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).

Di depan kalimat seperti itu, hanya orang yang dirahmati Allahlah yang akan menyelamatkan umat manusia semuanya, untuk hidup di jalan lurus yang lapang.

Marhaban ya Ramadan.

-----

Beberapa menit setelah tulisan  ini selesai, padahal ini minggu siang dua hari sebelum Romadon. Saya mendengar berita di TV ada ledakan bom di gereja Surabaya dengan jumlah meninggal dunia 9 orang, termasuk pelaku bom bunuh dirinya, dan sekira 40 orang luka berat. Sampai keluar airmata saya. Lalu menulis status di media sosial facebook: kebiadaban apa lagi ini yang menimpa korban ledakan bom? 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG