MENULIS APA KITA DALAM KITA DIJAJAH LAGI?

PELURUMU

habis cerita peluru 
lalu cerita puisi
apa pelurumu tidak puisi?

Kemayoran,  23 04 2018 
#puisipendekindonesia
------

Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!

Tahun 2017 lalu, sebelum Agustus saya dapat kabar dari penyair pembina Lumbung Puisi, bahwa akan ada penerbitan buku antologi bersama, Kita Dijajah Lagi. Saya tertarik maka saya ikut. Ini puisi saya yang akhirnya dimuat di dalam antologi itu:

MENULIS APA KITA

Mohammad Toha ditulis anakku
Depan rumah makan Sunda
Sebagai perlawanan yang siap meledak
Dengan bom di tangan

Menjadi kesejahteraan

Aku menulis apa dalam kesaksian yang tua?

Pintu-pintu kesejahteraan itu ditutup kembali
Lalu di ruang dalam
Kesejahteraan adalah tempat tidur
Bagi segelintir keras kepala dan hati api
Yang menimang serba  keuntungan sendiri
Dan sebagian pesta korupsi

Muntah daging ditulis anakku
Karena tragedi anak negri yang tidak bisa menelan tubuhnya sendiri 
Dengan ziarah kesalehan
Karena selalu berdarah kecelakaan sosial yang parah 
Tetapi engkau malah tokoh pribumi yang menjual narkoba kepada anak kandung sendiri

Aku harus menulis apa
Melawan bangsa sendiri?

Kemayoran,  01082017
---

Bagi saya hadir di tengah suatu komunitas, baik komunitas seni (sastra) lokal, maupun yang melibatkan peserta secara nasional, adalah kebahagiaan. Saya merasa menemani sekaligus ditemani kalau hidup di situ. Di komunitas-komunitas itu. Namanya saja 'forum silaturahmi', versi-bersinya saja yang khusus.

Saya juga bisa bersaksi atas keunggulan-keunggulan dari tiap komunitas. Termasuk yang khas dari Lumbung Puisinya Rg Bagus Warsono.

Jangankan untuk skala nasional, untuk lingkup kabupaten saja, saya sering membuat pengandaian ada ratusan komunitas seni yang sejenis, termasuk komunitas sastranya. Dari ilustrasi dan mengambil data fakta yang ada, maka kita bisa menjawab, seperti apa mestinya nilai eksistensi sebuah komunitas dan sinerjisitas di antara semuanya.

Bahkan ketika suatu hari saya jadi pembicara Bulan Bahasa di MAN Purwakarta saya bilang, "Kalian hari ini akan membuat 100 komunitas". Jauh sebelum itu, ketika jadi pembicara Bulan Bahasa di sekolah yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Al Muhajirin, saya bicara hakekat bahasa dalam pergaulan manusia, baik bahasa lisan, bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa perbuatan, bahasa karya, bahkan bahasa hadir diri. Saat itu tema catatan saya, "Hade Goreng Ku Basa".

Lalu saya merasa puisi Menulis Apa Kita, yang tentu saja satu paket dengan puisi-puisi lainnya, yang diterbitkan oleh Penebar Media Pustaka Yogyakarta atas koordinasi Lumbung Puisi itu, bagi saya merepresentasikan gerakan besar di situ. Ini yang saya maksud. Eksistensi, lalu sinerjisitas. Mematahkan ego yang sempit dengan memanfaatkan momen Bulan Kemerdekaan dan puncak 17 Agustus. Membangun spirit nasionalisme yang berkesadaran dan berkesaksian. Dengan judul buku yang ekspresif, Kita Dijajah Lagi.  

Pada bait pertama dan kedua puisi Menulis Apa Kita, sengaja saya mengawalinya dengan mengambil inspirasi dari puisi anak saya, Bandung Lautan Alamat, yang pernah juara dalam lomba menulis puisi Surat Kabar Pikiran Rakyat Bandung. Heroiknya saya ceritakan sejenak: Mohammad Toha ditulis anakku/ Depan rumah makan Sunda/ Sebagai perlawanan yang siap meledak/ Dengan bom di tangan// ------ Menjadi kesejahteraan// 

Mengapa demikian? Saya merasa harus menyebut "anakku" di situ. Tidak harus dalam pengertian anak kandung tentu saja. Sebab kata 'anak' juga mencitrakan sebuah generasi. Alasan yang sangat kuat. Saya juga harus menyebut, "anakku menulis", "anakku berkesaksian". Tentang apa? Ya, tentang patriotisme, perang, perlawanan-perlawanan yang tak pernah padam, yang masih terpelihara sampai detik ini. Dan kebetulan anak saya Nurulita Canna Pambudi pernah menulis itu. Otomatis dia bisa saya ambil menjadi sebuah idiom generasi.

Supaya tulisan ini lebih terang, saya sertakan selengkapnya puisi anak saya itu:

BANDUNG LAUTAN ALAMAT

Catatan yang terbaca pada dinding cahaya dari sini
Masih tentang Mohammad Toha
Yang datang dengan cintamati
Lalu dia menghilang dengan begitu tega
Katanya untuk kembali

Pemuda-pemuda yang kemarin bergerombol depan kampus
Dengan tajam kujang
Tadi masih menurihkan kata Bandung
Di kening masing-masing 
Sementara matahari terus bergerak dari Kiara Condong

Kesibukan semisal membentang benang dan memahat kayu
Seperti lagu anak-anak band
Menjelajah dari ruang terang yang tegang
Sampai ke gang-gang jauh yang semakin sempit dan padat

Mohammad Toha setelah mendapat kabar dari barisan gerilya
Seperti mendapat alamat-alamat, katamu
Untuk menjual kemenangan merk Bandung
Melulu sebagai tabungan untuk anakcucu
Sebelum dia sendiri dengan begitu tega
Menghilang, katanya untuk kembali

Ruang-ruang parkir yang selalu sesak dan gaduh 
Dan gang-gang sempit yang bersahutan suara TV,
Orang menjahit dan suara anak menangis 
Adalah juga rasa percayadiri
Yang seperti hilang ditelan jihad hidup di situ

Lalu pemuda-pemuda mall itu juga distro
Dengan turihan Bandung di keningnya yang masih berdarah
Mencoba hadir
Ya, seperti menghidangkan daging-daging tubuhnya
Pecah bersama ledakan waktu 
Untuk hilang juga

Sementara pada sebuah rumah makan Sunda, katamu
Beberapa hari lalu Mohammad Toha duduk menunggu
Matanya selalu sepi
Sementara kepalan tangannya bom!

Purwakarta, 10 Oktober 2010
(Komunitas Cannadrama
Rumah Seni Purwakarta
Wisata Sastra Situ Buleud) 
-----

Oke. Dimulai dari puisi Nurulita Canna tersebut kita bisa menyaksikan, kondisi Bandung yang hari ini alamatnya terus bertambah banyak, alamat terang dan alamat gelap, seperti juga Indonesia, tergantung siapa mau kemana? Tetapi Muhammad Toha dalam mata sepi setia memegang bom. Saya tahu, dia selalu bikin perhitungan, melakukan perlawanan. Dia selalu telah dan akan meledakkan bomnya, menjadi KESEJAHTERAAN.

Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!

Selanjutnya saya harus merasa sebagai AKU, seluruh generasi dewasa yang katanya hidup di dunia maju, alam masa kini, era milenial, yang dari sudut pandang intelektual harus semakin bisa dituakan, kalau tidak mau disebut semakin tua saja. Sayapun menulis: ----- Aku menulis apa dalam kesaksian yang tua?// ----- Pintu-pintu kesejahteraan itu ditutup kembali/ Lalu di ruang dalam/ Kesejahteraan adalah tempat tidur/ Bagi segelintir keras kepala dan hati api/ Yang menimang serba  keuntungan sendiri/ Dan sebagian pesta korupsi//

Kita ini masih setia berteriak, merdeka! Bahkan semuanya. Tetapi mengapa sebagian ada yang berpihak ke dalam gerombolan 'yang merasa berkuasa hidupnya' dengan kesemena-menaannya? Bahkan melebihi kekuasaan negara atas rakyatnya. Di mana letak merdekanya? Bukankah itu penjajahan kepada pihak yang lain, saudara sendiri? Yang anehnya lagi, sebagian dari 'manusia pemerintah' terseret juga ke dalam lorong gelap gerombolan ini. Serba menutup peluang kesejahteraan dan hobi pesta korupsi. Ini kisah lama yang selalu berkepanjangan. Tapi orasi dan fatwa dari mulut-mulutnya serba kesejahteraan dan pemerataan.

Lalu saya mengakhiri puisi Menulis Apa Kita dalam Kita Dijajah Lagi itu dengan: ----- Muntah daging ditulis anakku/ Karena tragedi anak negri yang tidak bisa menelan tubuhnya sendiri / Dengan ziarah kesalehan/ Karena selalu berdarah kecelakaan sosial yang parah/ Tetapi engkau malah tokoh pribumi yang menjual narkoba kepada anak kandung sendiri// ------ Aku harus menulis apa/ Melawan bangsa sendiri?//

Saya memang harus melalui proses kreatif yang ini. Khas dan tepat. Seperti dalam teater, saya harus masuk ke dalam penjiwaan total selayaknya orang-orang yang terus-menerus bertanya, harus menulis apa? Sebab di situ saya bukan orang dengan profesi penulis, atau dengan keahlian tulis-menulis. Saya adalah AKU, generasi yang bertanya-tanya. Dan yang dimaksud 'menulis' pun tentu saja menulis dalam kehidupan, berupa peristiwa-peristiwa, apapun.

Ya, harus menulis apa kita?  

Pada bagian akhir puisi Menulis Apa Kita, lagi-lagi saya merujuk pada puisi karya anak saya, Nurulita Canna yang pernah dimuat dalam buku antologi puisi bersama, Surat Buat Narkobrut (Cannadrama, 2011). Ini puisinya:

MUNTAH DAGING

Selamat datang di pintu neraka
Muka babi
Berkulit duri bermata api

Selamat menikmati hidangan nanah
Dan cambuk laknat berdarah-darah

Selamat hidup dalam kafe
Semenrara meja-kursi mengarat sekarat!
Bau pesing sampai musnah

Kau, narkobrut!
Muntah daging
Panca indramu sendiri

Purwakarta, 2011
-----

Kalau Nurulita berteriak "muntah daging", karena ada generasi yang tidak bisa menelan tubuhnya sendiri yang sudah penuh racun kehidupan, saya terpanggil wajib untuk melanjutkannya dengan kesaksian, justru itu lahan tertawa para sukses, yang merasa punya ladang kemerdekaan dan kekuasaannya sendiri untuk menjual narkoba. Tempat pejabat-pejabat hebat juga. Karena mustahil sukses menjual narkoba kepada penduduk yang waras. Dan 'menjual narkoba' itu berarti luas, menjual racun kehidupan. Apapun. Termasuk menjual moralitas palsu.

Maka di puncak Agustusan tahun 2018, ketika bangsa Indonesia sedang menyambut Pileg dan Pilpres, siap-siap melewati masa kampanye yang panjang, mari kita dengan kritis dan tegas mempertanyakan, "Adakah calon yang akan menjual racun kegelapan? Dan siapa saja pembelinya?" 

Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!

Dalam geregetan yang luarbiasa, menjelang 17 Agustus tahun ini, tepatnya tanggal 15 Agustus, saya juga terpaksa menulis status ini di media sosial facebook:

SEBENARNYA

Apalagi merokok, sedangkan makan daging kambing (idul adha) atau masakan sayur tertentu saja ada masalahnya. Lha kamu malah ngoplos "miras-narkoba-barang curian-dan uang korupsi". Gimana ceritanya?

Apalagi yang di luar sana, waduh manusia bukan manusia! Untuk nafsu serakah kekuasaannya berani makan nyawa banyak orang di atas meja. Kata orang Jawa, pake ngingu mahluk penghisap darah segala.

Padahal saya juga punya LAKI-LAKI BERJILBAB. Mahluk cantik dan seksi, bertaring dan bercula yang berdarah. Bisa mewujud raksasa yang lebih besar dari bola dunia. Namaya, Penegak Keadilan. Hayo!

Met 15 Agustus, jelang 17 Aguatus 2018, jelang Idul Adha 1439-H. Jayalah NKRI.
-----

Kemayoran, Malam 17 Agustus 2018.

#AntiNarkoba
#AntiMiras
#AntiKorupsi
#AntiKriminal
#AntiKekerasan
#AntiPelacuran 
#AntiTawuran
#AntiTerorisme 
#AntiPencemaranDanPerusakanLingkungan 
#AntiPembodohan
#AntiPemiskinan

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG