MICKY BELUM LIHAT GARY BACA PUISI

ASMARA LAUT

kau masih penyair? 
birahi lanang juga!

tubuhmu nelayan bau ikan
kulitmu kemilau ombak panas hari

hitam dan kriting kata-katamu
merasa tak basi
menulis asmara laut

Kemayoran, 11 05 2018
(Malam Keajaiban Air Mata)
#Puisipendekindonesia
------

Adalah pemilik akun facebook Micky Hidayat, menulis di akhir Agustus 2018 ini tentang baca puisi. Entah dalam rangka apa? Mungkin sekadar berbagi, atau justru dalam rangka menemani para 'artis' baca puisi dan penyair pemula yang siap-siap tampil naik panggung di semarak akhir Agustusan kali ini.

Tapi bisa ditebak. Dari gaya bahasanya ia bermaksud mencairkan suasana kehidupan manusia dan puisi. Baik manusianya itu masyarakat awam maupun penyair dan pembaca puisi yang intensif. Yang jelas dia berusaha berseloroh secara nyata.

Selengkapnya, inilah tulisan Micky Hidayat itu:

"Beberapa tips atau syarat terpenting untuk menjadi pembaca puisi yang baik, antara lain:

  1. Ada panggung
  2. Ada mikrofon atau sound system
  3. Ada penonton yang bersedia menjadi pendengar. 
  4. Kesiapan diri, mental, sehat lahir-batin, dan daya konsentrasi yang tinggi demi keutuhan penampilan. 
  5. Ada puisi yang hendak dibacakan (boleh puisi karya sendiri atau puisi orang lain)
  6. Pakai baju dan celana (boleh rapi boleh tak), yang penting jangan bugil atau bertelanjang. Kalau tampil bugil itu porno aksi, bukan aksi baca puisi. 
  7. Punya kaki untuk berdiri di atas panggun (pengecualian bagi penyandang disabilitas), juga sebagai penunjang gerak tubuh (gesture) 
  8. Punya tangan untuk memegang kertas teks puisi
  9. Punya mata untuk melihat/membaca
      teks puisi
10. Punya mulut dan lidah untuk melafalkan kata demi kata, larik demi larik, dan bait demi bait puisi yang dibacakan. Demikian pun kejelasan artikulasi, intonasi, tempo, dinamika, ritme, serta emosi penting dikuasai. 
11. Punya wajah (boleh ganteng boleh tak, boleh cantik boleh tak) agar penonton bisa melihat bagaimana ekspresi atau mimikmu ketika baca puisi. 
12. Punya hati, perasaan, dan sensitivitas untuk menginterpretasikan atau menghayati puisi yang dibaca secara ekspresif. 
13. Punya suara atau vokal. Kalau tak punya suara alias bisu selama di panggung, yang nonton pasti pada kabur. Saat membaca, boleh teriak (bila memang perlu teriak), tapi tak perlu teriak-teriak kayak kesurupan setan dan bikin para penonton jantungan, bubar, dan berlarian tersebab takut ketularan kesurupan. 
14. ... dan seterusnya (kalau masih ada) silakan ditambahkan sendiri".

Hahaha. Sungguh, itu benar-benar tulisan Micky Hidayat di akun media sosial facebooknya.

Lalu saya teringat sebuah PR (pekerjaan rumah) dari hidup. Pada suatu saat saya berniat untuk menulis soal Gary Si Siput dalam film kartun Spongebob Squarepant yang pernah tampil baca puisi dan disambut antusias oleh para penontonnya. Dan membuat saya melongo oleh dua hal. Pertama, untuk sebuah panggung entertain, hiburan, puisi masih bisakah muncul dengan sambutan seantusias itu, Gary? Setidaknya di kampungmu, kampungnya Mr. krabs? Kedua, bahasa dan cara baca Gary tidak saya mengerti samasekali. Tidak ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Mungkin Si Pembuat film Spongebob berfikir cerdas yang sederhana, "Bukankah kalau ada orang Jawa atau Riau baca puisi, diapun gak bakalan ngerti?" Ya, cuma bisa melihat para penonton bertepuk tangan antusias.

Saya jadi ketawa sambil teringat lagi ingin nulis Gary Sang Pembaca Puisi, entah sebagai penyair atau bukan, justru setelah membaca tulisan Micky Hidayat itu. Lagi-lagi dengan maksud yang bersinggungan, ingin mencairkan suasana hidup manusia dan puisi.

Pada awalnya puisi adalah kesadaran dan kesaksian seorang penyair. Ini awal keberangkatannya. Dari titik terminal paling kuat. Apalagi ketika sebagai penyair ia menggunakan P-besar. Atau menggunakan M-besar sebagai manusia. Yang artinya, itu adalah suara kemanusiaan, suara peradaban. 

Saya tentu tidak sedang mempersoalkan mana penyair yang kuat P dan M-besarnya dan mana yang tidak? Cuma sedang mengedepankan catatan biasa saja. Juga pembicaraan untuk mencairkan suasana dari keheningan, apalagi keterkungkungan. Sangat perlu.

Selanjutnya saya berusaha meminang Panggung Agustusan dan Malam Puisi atau Wisata Sastra pada umumnya, untuk disetubuhi gairahnya. Apakah masyarakat kita sangat antusias mencari pemahaman hidup melalui sastra, melalui puisi? Dan apakah puisi telah bekerja menyampaikan maksud seoptimal mungkin sebagai puisi yang bekerja untuk menghibur sekaligus menyelamatkan kehidupan? Ataukah puisi-puisi sedang terjebak ribut-ribut ruang pemuatan dan honor penciptaannya?

Dan bagaimana dengan para pihak terkait? Apakah sudah membangun infrastruktur, berupa jalan-jalan mulus, jalan-jalan tol yang bukan jalan tolol, dan melahirkan ruang-ruang pertemuan puisi dan manusia?

Apa yang ditulis oleh Micky Hidayat, terlepas dari plus-minusnya, sebab itu sebuah seloroh belaka, ---semisal pada bagian baca puisi memakai tangan dan kaki, padahal yang membaca itu mulut/pita suara. Tetaplah mengandung penyadaran tentang kesiapan dalam membaca puisi. Sehingga saya perlu menerjemahkan, yang dimaksud tangan dan kaki adalah daya memegang puisi dan daya berdiri di atas puisinya, yang bisa dikondisikan dengan cara-cara apapun, bagaimanapun, terutama bagi yang secara fisik tidak punya tangan dan kaki.

Pun pada bagian melihat. Sebab saya punya pengalaman di tahun 1998. Menaikkan Edy Subang, seorang tuna netra, ke atas panggung untuk membacakan puisi saya di Aula Radio Litasari (Lita) FM Bandung, di tengah-tengah pertunjukkan teater yang saya sutradarai. Tentu, saat itu puisi saya sudah dialihkan ke dalam huruf braile. Maka Edy dapat melihatnya dengan cara meraba dan merasa.

Pada akun Micky Hidayat itu saya berkomentar, "Bagaimana dengan pembacaan puisi oleh Gary Si Siput dalam film kartun Spongebob SquarePant?" Ternyata ia menjawab, sayangnya belum pernah menontonnya. Sampai akhirnya saya ingin bertanya juga, sesungguhnya berapa banyak orang di Indonesia ini yang pernah nonton Gary Si Siput baca puisi? Setidaknya fokus sejenak, merasakan sesuatu pada bagian itu. Saya penasaran.

Atau anda mau cek di youtube dengan menulis, Gary Si Siput baca puisi dalam film Spongebob? Atau menulis, Spongebob Squarepant - Poetry By Gary? Saya sendiri tidak terlalu perlu karena sudah dua kali nonton di depan TV. Ya, sampai dua kali bahkan.

Yang jelas jangan cekak berfantasi, bahwa Si Siput itu binatang lambat yang berpuisi. Apalagi di dalam film Spongebob itu dia nganggur dan cuma jadi peliharaan di rumah. Sebab dalam cerita rakyat di Indonesia, dalam suatu lomba lari, Siput itu juaranya. Sebab akal dan hatinya terus bekerja. Sebab hidup ini dinamis. Bahkan dalam diam. Ia teman Raja dan Panglima Perang.

Kecuali bagi anda yang mengintip dari pintu lain. Agak di belakang sebelah kiri rumah Spongebob. Ini interpretasi saya, jangan salahkan sutradara. Pintunya rahasia. Di situ jelas terlihat, bahwa dia memang cuma seekor siput. Lendirnya suka mengotori bikin jijik. Dan tidak pernah dibersihkannya. Bahkan mandipun dia tidak mau. Wujudnya menyenangkan tetapi 'ngerjain'. Yah, namanya juga binatang. Kalaupun dia baca puisi, itu daripada tidak ada kegiatan samasekali. Sebab di situ ternyata dia bisa dielu-elukan. Setidaknya separuh bahasanya bisa dimengerti oleh kemanusiaan kita. Sebagian lagi tetap segaris dengan lendir itu. Tapi secara politis dia bisa diangkat-angkat. Lumayan, daripada tidak ada. Sebab jika tidak demikian, sebuah kekuasaan akan kosong dari penyair. Dan itu rancu. Bikin kekuasaan berumur pendek. Maka bertepuk tanganlah yang semarak untuknya.

Kemayoran, 27 08 2018

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG