RUMAH HAJI, PUISI, DAN ANAK-ANAK IDUL ADHA

RUMAHUJAN 

ini rumah hujan, kata anak-anak 
sambil tidur-tiduran di atas batu 
di bawah jamur 

mengapa dia mesti mengubah diri
lebih kecil dari segala jamur 
untuk memandangi indahnya hujan 
dalam keteduhan?

Kemayoran,  23 04 2018 
#puisipendekindonesia
-------

Hidup manusia di dunia selalu bergelombang dasyat, bergerak menuju pembebasan. Sebab ia selalu terancam siksa yang berat. Tentu menghadapi juga tipuan, tekanan, paksaan, ancaman dan hujatan-hujatan. Padahal semua ingin nyaman tentram tinggal di rumah-rumah. Lalu aku mulai menulis dalam pertanyaan kepadaku juga kepadamu, seperti apa bentuknya, dan seberapa luas rumah hajimu? 

***

Duduk di dalam rumah, aku di atas bukit. Di atas sajadah aku di atas bulan. Kalau kau datang padaku, juga telah dialamatkan tujuh pintu kebaikan yang dijaga malaikat. Mulai dari pantai atau taman kota. Sama seperti perjanjian kita yang sering kau hianati. Aku sesungguhnya selalu berusaha memegang teguh kunci untuk tujuh pintu kebaikan menujumu. Itu sebabnya kita sering berselisih, bersitegang. Sebab aku hanya memakai jalan-jalan kekasih. Sedangkan kamu, kejam pun minta dimaklumi.

Memang tak ada manusia sempurna. Sebab kesempurnaan hanya milik Allah. Yang menjadi cahaya pada kerasulan yang didatangkannya. Tetapi justru karena itu pula aku menggenapi tujuh pintu untuk merunduk dan meratapi setiap pertobatan harian. Sementara tak ada satupun pintu yang menulis, dosa boleh diciptakan semena-mena untuk kemudian ditobati dalam suatu kesaksian yang dipropagandakan. Apalagi dosa bersama yang kemudian ditobati bersama, sebab dianggapnya tidak memalukan.

Berdiri atau bersimpuh aku membawa nama kerajaanku di bumi. Bukan kerajaanmu yang semu. Di seluas telapak kaki adalah proklamasi. Di sekujur badan jika jatuh di tanah kematian adalah baiat suci dari Allahku. Sebab itulah keluasanku. Kekerdilan yang menggapai-gapai cahaya kemenangan, yang kelak dipelajari manusia kesakitannya, apalagi ketika mereka muak dan marah besar dengan kesetanannya.

Sementara kamu setelah perjanjian-perjanjian, memohon-mohon, "Ijinkan sekali saja berdosa". Atau memohon-mohon seperti pemain bola yang mau mendapat kartu merah, karena merasa baru sekali melakukan pelanggaran. Dalilmu sangat tegas dan jelas menampar Allah, "Manusia pasti berdosa! Karena tak ada manusia sempurna!". Sebab kamu telah membuktikan, kamu bisa berdaya dan beruang. Bisa kaya dan perkasa. Dirunduki orang di mana-mana. Justru karena kesesatan yang sebagian tidak mereka saksikan, kecuali yang remeh-temeh yang sudah dimaklumi oleh iklim hidup serba kesulitan.

Sementara kamu. Ya, kamu! Malah berdosa dan tersesat karena dalil-dalil yang tidak dimengerti. Kamu menjadi berbahaya. Kapan saja bisa membunuh ketika merasa telah mendapat perintah membunuh oleh Allah, padahal pada bagian itu tak ada satu huruf dan titik koma yang Allah berikan untuk suatu pembunuhan demi keadilan. Sehingga kamu bekerja berkeras-keras, berdarah-darah atas titah siapa?

Ada yang sembrono dengan kekuasaan yang disebut-sebut atas nama ketegasan sebuah keadilan. Padahal cuma akal-akalan yang tersaksikan. Maksudmu, itu justru jurus mematikan. Soal kesementaraannya, itu cuma lelucon perjudian. Sebab kamu justru fasih tahu, kesesatan hanya beranak kesesatan. Maka pengikutmu adalah orang-orang yang tak butuh ajaran keadilan, tetapi para monster yang setia pada cara-cara mengakali keadilan.

Kamu jelas-jelas pergi dari kerajaanku. Yang seluas telapak kaki dan sekujur tubuh rebah itu. Kamu malah memasuki pintu-pintu besar, mendirikan negara dengan keserakahan dan angkara murka. Sementara kaki dan tubuh rebahku beratus beribu nyawa yang akan menutup bumi Allah dengan kekuasaannya. Dimulai dari puisi yang ditulis malam-malam ketika cahaya begitu lekat, atau ditulis siang hari ketika matahari yang gerah berkipas-kipas sambil menumpahkan keluh-kesahnya tentang derita anak manusia sepanjang jaman.

Kamu mencari-cari guru yang bisa menjadikan Ratu. Aku tahu. Sebenarnya kamu bisa malu dan menyesal kalau tidak cepat-cepat membutakan diri. Menutup telinga dan menyudahi seluruh pembicaraan. Kamu hanya takut ada yang mendahului kalimatmu sebagai raja suka-suka, ketika semuanya akan kamu sebut telah sesuai garis tangan. Sebab ilmu mahdi itu menjadi guru yang memimpin hati-hati yang bersih saja. Yang dicari ketika dia justru sedang mencari. Titik temunya pada manusia dan kemanusiaannya. Ya, seperti guru dan murid saja. Lalu lahirlah keberadaban negara-negara dengan kekuasaannya.

Masalahmu, kamu mengecilkan kamanusiaan, sehingga tidak berketuhanan. Kamu mengingkari Allah yang esa, sehingga tidak beradab meskipun selamanya pura-pura beradab. Sebab sesungguhnya kamu mengakui, menjual beradab itu bisa laku keras juga. Tetapi seperti kamu bilang, beradab itu untuk semua dukungan-dukungan, meskipun itu cuma kepalsuan, sedangkan biadab itu untuk seluruh perlawanan. Sebab kamu harus mengikat perjanjian diam-diam dan terbuka. Terpaksa memaksa dengan segera karena hidup selalu kalah oleh kecepatan waktu. Sementara ada yang dilupakan, selamanya waktu bergerak terukur dan tepat. 

Kamu pandai menciptakan orang-orang kalah.

Di sini aku menulis dan membaca puisi dengan hati. Di sebuah ruangan yang sangat aku kenal. Ruangan yang dilihat para Nabi. Di sebuah titik seluas bumi.

Maafkan jika kau merasa telah datang ke alamatku, berkali-kali, tetapi tak pernah bisa menemui aku. Cuma mendapati padang tandus yang tak menjanjikan apa-apa.  Sebab kamu datang dengan alamatmu. Ke arah dirimu sendiri. Alamat yang sesungguhnya tidak kita kenal. Dan ini berarti sebuah ajakan dan kesetiaan tentang eksistensi dan kerja kita. Tempat aku tak perlu menujumu, sebab aku selalu di tempatmu. Di sini cinta tidak dipaksa-paksakan. Cinta adalah ketulusan. Di sini perasaan menemui kebebasannya, sampai dia paling tahu jalan-jalan yang akan menyesatkan dirinya.

Apa kamu pernah merasakan mesjid yang teduh, sejuk, menentramkan, dengan dinding, atap dan lantai yang menghibur? Dengan taman yang justru menulis dan membacakan puisi untuk kita. Sehingga mengingatkan kita pada kenang-kenangan di sebuah desa. Ketika ada seorang petani yang selalu rajin bekerja di tengah lumpur sawah, yang ternyata itu adalah keindahan sebuah puisi saja. Sebab kalau ditanya, "Mengapa begitu setia dan bahagia?" Petani itu selalu dengan jelas dan sadar menjawab, "Sebab keindahan jangan disudahi".

Apa kamu masih marah-marah perkara duduk di dalam rumah? Keluar untuk bekerja hanya karena segala yang direncanakan dari rumah? Ketika semua taman-taman, pantai, dan seluruh atraksi kesenian seperti kamu tata di antara alat-alat tulis, komputer, secangkir kopi, syal dukungan untuk timnas sepakbola, kripik singkong, dll?

Apakah kamu masih seperti otak penguasa itu yang dengan sangat bodoh dan cengeng menuduh individualis kepada seorang manusia komunitas yang sedang memandikan keris? Sendiri di tempat sepi mementingkan diri-sendiri, katanya. Mereka lupa, pada keris ada lima, tujuh sembilan kelokan. Yang bisa dan sedang dikendarai satu-satu atau seluruhnya. 

Mereka lupa, bahwa pada mata kujang ada alamat yang tidak bisa dimasuki oleh para penguasa, kecuali dengan bersyahadat. Dengan kesepakatan suci yang dirindukan seluruh manusia. 

Dari dalam rumah aku bisa menghirup wangi daging dibakar. Asap mengepul mulai dari bawah kursi. Dan kita yang berserah, berkorban untuk kehidupan mulia. Membeli cinta dan gairah asmara. Merasakan kemenangan takbir.

*** 

Selesai menulis ini. Aku menemui anakku yang lahir malam Idul Adha. Kuajak bicara. Kudoakan menjadi jantan Idul Adha yang soleh. Yang baik-baik saja. Menyatu cinta dan rindu dengan seluruh hamba Allah yang sesungguhnya Anak-Anak Idul Adha semua. 

Dalam hati aku berkata, "Akupun sama. Takut sepeninggalku kegelapan itu memguasai bumi".

Kemayoran, Malam Idul Adha, 21 08 2018

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com  
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG