ANAK BAHAGIA

TERUS SAJA BAHAGIA 

meliuk barongsai dalam arena
meliuk beliak mata penonton
kuning, merah, hijau cemerlang 
putihnya terang 
anak-anak maju-mundur dalam putaran 
ada yang melompat-lompat 
mengikuti lagak berakrobat 
aku terpana pada amplop merah itu
pasti tertulis di situ, Indonesia 
dan kalau azan asar mau tiba
pertunjukan dihentikan segera 
arena teduh-hening
anak-anak terus saja bahagia

Kemayoran, 20102018
#puisipendekindonesia
------

Saya memang termasuk manusia terlambat di Jawa Barat. Telat setarik nafas. Kecuali dua anak saya yang lahir di Bandung dan Purwakarta. Karena baru menikmati sepoi angin perkebunan di tatar Pasundan mulai kelas empat SD. Meskipun itu artinya sudah sejak umur anak-anak. Dan itu berarti juga, pertunjukan panggung yang dekat adalah jaipongan, yang selalu saya tonton setiap tahun di panggung kenaikan kelas hingga tamat SMA. Tentu di luar panggung-panggung lain di tengah masyarakat yang terus saya ikuti sampai hari ini. Kalau di luar panggung sekolah saya sering nonton calung.

Sebelum itu sebagai orang Curug Sewu di Kendal Jawa Tengah, hiburan yang terdekat dengan mata adalah jaran kepang dan barongan. Bahkan saya paling suka waktu umur kelas tiga SD, naik jaran kepang ukuran mini dan menari-nari di lapangan ditepuktangani teman-teman. Bagi saya itu sudah 'ndadi' paling nikmat. Dan saya justru 'berkelainan', tidak terlalu menikmati adegan kesurupan dan makan beling, meskipun itu suka jadi tema lagu. Bahkan rasa saya itu masih terbawa smpai hari ini, kalau saya nonton jaran kepang, saya justru lebih bisa menikmati tarian-tariannya dalam banyak versi dan formasi. Baik ala lama atau hasil eksplorasi baru. Apalagi pemahaman dewasa saya menyebut, naik kuda di Kendal itu punya dua filosofi. Pertama Ksatria naik kuda. Yaitu tokoh masyarakat yang tampil seperti pendekar (super hero) di atas kuda. Dan kedua, prajurit atau panglima perang yang memang dikisahkan jago dalam perang berkuda. Dari dua hal ini tentu saja mengerucut pada satu pesan, orang Jawa harus bisa memimpin dirinya, keluarganya, dan bersama-sama memimpin masyarakat. Tentu dalam kepemimpinan yang beramanah mulia.

Mangkanya ketika Didin Tulus dan Deni Irwansyah nyebar poster di FB bertema Ekspresi Puisi Dunia Numera 2018, 4 Th Numera World Poetry Expression, dengan aksen besar kuda lumping, saya langsung komentar, "Aku sekali". Ya, meskipun acaranya diselenggarakan di Malaysia, tapi kan kuda lumping tetap asal dan asli Indonesia.

Dari uraian dua alinea awal tersebut, berarti saya pun manusia Indonesia yang telat mengenal barongsai secara dekat. Artinya tidak seperti keturunan Tionghoa yang kenal sejak lahir. Baru setelah kelas satu SMA saya bekerja sebagai pengrajin mainan puzzle dll yang terbuat dari bahan kayu untuk super market pada seorang tetangga Tionghoa. Otomatis saya mulai dekat dengan gambar-gambar (stiker) yang berasal dari tradisi China dan gambar-gambar yang dekat dengan tradisi Kristen. Apalagi kalau sudah menyisir berbagai pernik-pernik di super market. Selain itu sekali-kali mulai suka menyaksikan pertunjukkan barongsai, selain mengikuti informasinya melaui TV, koran dan majalah.

Menurut saya barongsai adalah budaya Indonesia. Meskipun benar, itu berasal dari luar. Pengaruh budaya dari luar Indonesia. Artinya, Indonesia halal mengklaim barongsai sebagai keseniannya, tetapi tidak bisa mengakui sebagai daerah asal barongsai. Dalil ini saya pakai waktu menengahi heboh reog ponorogo dulu. Saya bilang di acara Apresiasi Seni di radio, boleh mengakui reog ponorogo sebagai bagian dari budaya di daerah manapun, di negara manapun, tetapi akui juga asalnya dari Ponorogo Indonesia. Lalu saya bilang, masyarakat Indonesia pun tidak bodoh, mereka 100% mengakui musik country berasal dari Amerika meskipun penyanyi lokal kita banyak yang bermusik country.

Budaya Indonesia adalah budaya yang tumbuh kembang di Indonesia dan diterima dengan sukacita oleh bangsa Indonesia. Termasuk yang berasal dari pengaruh luar. Misalnya pengaruh Arab, India, China, Jepang, atau Amerika. Selain itu, budaya Indonesia juga mengalami tumbuh kembang yang disebut sebagai peristiwa menerima dan menolak tradisi. Maka segala tradisi yang terus tumbuh kembang karena mendatangkan sukacita dan besar manfaatnya bagi masyarakat, itulah budaya Indonesia. Ini sekaligus menjawab pertanyaan, apakah sesuatu hal yang dianggap buruk di masa lalu, yang ada di balik tabir seni tradisi tertentu, masih merupakan budaya Indonesia?

Dalam hal menolak tradisi inilah kita masih terus berupaya mencerdaskan diri. Sebab ketertutupan kita atas suatu pencerahan, bisa berakibat selalu menolak sesuatu yang sesungguhnya baik dan nyaman bagi masyarakat.

Kembali ke soal barongsai. Saya bersaksi, bahwa di era Orde Baru pun barongsai eksis terjaga. Bahkan sering mengikuti festival atau pertunjukan internasional. Tidak tertutup sama sekali. Tetapi tentu saja seperti yang diakui oleh penggiat barongsai, saat itu mereka harus mengikuti alur kebijakan Orde Baru. Sementara setelah pecah reformasi 98, barongsai mrnggeliat lebih leluasa lagi.

Bagi saya, berdiri di depan poster besar atau pertunjukan barongsai, saya menikmati eksotisitas yang mengagumkan. Super indah, khas, meriah dan hangat. Sehangat wangi dupa kalau di Kota Sukabumi saya menyusuri gang-gang di sana.

Dalam pengalaman sosial masa remaja. Sebagai ketua Remaja Mesjid dan Karang Taruna kelurahan, ketika saya berdekat-dekat dengan tradisi China sungguh sesuatu yang biasa. Lumrah. Justru ini mendatangkan kebiasaan untuk selalu harmonis menikmati kehangatan seni tradisi di tengah masyarakat. Terbukti setelah saya menikah, kakak ipar istri saya adalah keturunan China yang tiap tahun leluarga besarnya merayakan imlek. Maka tidak sulit bagi saya untuk bergaul mesra dalam lingkungan seperti itu. Terutama bagi anak-anak saya. Yang tentu saja, insha Allah berpengaruh positif pada cucu-cucu saya kelak.

Perlu saya garisbawahi, pergaulan dengan masyarakat keturunan China di sebuah perusahaan dan di tengah keluarga agak jauh berbeda. Yang satu kadang masih disebut oleh sementara pihak sebagai pertemuan yang bersifat formalitas belaka, sedangkan peristiwa yang lain sudah masuk kepada penerimaan yang iklas dalam kehidupan sehari-hari yang harmonis. Sehingga ukuran keakraban gaulnya, semestinya lebih dibaca pada lingkungan yang lebih informal daripada yang serba formal. Dan alhamdulillah-nya, barongsai di kota-kota termasuk salahsatu seni yang  menembus kehidupan masyarakat bawah dengan hubungan emosional yang akrab. Masyarakat tidak anti ketika pertunjukkan barongsai tiba-tiba digelar di suatu tempat. Biasa-biasa saja. Bahkan selalu meriah.

Karena barongsai juga menunjukkan atraksi-atraksi khusus yang menuntut keahlian dari para penarinya, maka hal itu selalu mengingatkan saya pada seni tradisi China yang lain yang sangat populer yaitu wushu. Apalagi selain selalu muncul di event-event olahraga, wushu juga sering muncul di atas panggung sebagai pertunjukkan kesenian, seperti halnya pencak silat khas Indonesia.

Setelah menikmati semua yang dekat. Jaran kepang, barongan, jaipongan, qosidah, barongsai, wushu, dan pencaksilat. Akhirnya saya terpacu untuk lebih banyak tahu, menyibak khazanah tradisi Nusntara, sekaligus ingin banyak tahu seni tradisi Asia dan dunia.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG