KETIKA ALLAH KASIH PUISI

KATANYA CINTA TAPI TIDAK 

katanya langit tapi tidak langit
katanya bumi tapi tidak bumi
katanya luas tapi tidak luas
katanya dalam tapi tidak dalam 
katanya hijau tapi tidak hijau
katanya adil tapi tidak adil 
katanya ngerti tapi tidak ngerti
katanya cinta tapi tidak cinta 
katanya malu tapi malah memalukan
katanya lugu tapi kesurupan syetan 
katanya kompak tapi memecah-belah
katanya ngajak pulang nyatanya keliaran kesasar-sasar

Kemayoran, 19102018
#puisipendekindonesia
--------

Saya sudah cerita bahwa mulai Oktober ini saya sedang uji nyali ikut tantangan 1 hari 1 puisi dalam 100 hari. Uji adrenalin. Melatih kepekaan untuk melahirkan puisi dari inspirai-inspirasi yang sudah menggumpal, atau melahirkannya setelah merenung harian pada persoalan hidup yang terjadi sehari-hari.  

Mengikuti program ini saya tidak sedang menunjukkan kemampuan menulis puisi. Karena itu pekerjaan orang yang baru kenal cara bikin puisi. Biarlah yang begitu itu, menjadi seru-seruan mereka. Tantangan ala mereka. Yang penting halal. Tapi tidak pada saya. 

Hasilnya seru juga. Secara introspektif, membuka ruang katarsis, betapa sangat bahagia kalau selama ini kita mengarak raga dan menyemayamkan ruhani pada pergulatan fikir dan rasa yang penuh cinta dan kedamaian. Serba melawan ketidak-adilan. Serta membawa upaya penyelamatan-penyelamatan.

Kita memang bukan ruh suci, tetapi kita dituntun kalimat Allah siang malam. Dan kalimat agung itu akan berkalimat pula pada insan pilihannya. Melalui keyakinan dan keihlasan di dalam hati, melalui perbuatan dan lisan. Melalui ngerti. 

Begitupun ketika kita mengasah taji berkesadaran dan berkesaksian. Nyatanya dalam kehidupan sehari-hari kita memang punya ruang besar untuk bertanggungjawab atas kepenyairan kita. Atas kemampuan berbahasa sastra kita. Sehingga kata-kata menjadi mengalir, bukan menjadi mubazir.

Misalnya Jumat ini. 19102018. Semalam sempat turun hujan gak terlalu lama di Jakarta. Hujan pertama yang agak bau kepul tanah yang naik. Sesuatu yang patut disyukuri karena terjebak kemarau panjang ibu kota ini panas sekali. Di waktu ini saya merenung-renung, Allah ngasih apa saja yang bermanfaat untuk manusia. Sebab setiap waktu setiap saat dia memang maha pengasih dan penyayang. 

Ya. Saya tersadar. Ternyata dalam tantangan menulis puisi ini saya sedang memasuki hari ke 9. Tepatnya Jumat hari ke 9. Rahmat yang besar tentu saja. Kebetulan yang manis. Merasa-rasa sebagai 9 di hari Jumat. Sebagai hamba yang menyelami dalam dan luasnya Jumat. Sebab angka 9 selalu molek untuk dipinjam sebagai perlambang para penyembah Allah. Insan tauhid. Kalau untuk ke-Idonesiaan kita yang ber-pancasila, di posisi manusia yang berketuhaman yang maha esa. 

Kalau dihadapkan pada pertanyaan, "Apakah kata-katamu yang kemarin dan yang lahir hari ini tetap pusaka ketika memasuki sidang Jumat yang terbuka?" Pertanyaan ini mengingatkan saya pada perjuangan tauhid hamba Allah di depan api yang membara. Meskipun beda kisahnya. Dia ditanya, "Jika kau menyebut Allah, maka kau akan kubakar. Katakanlah dengan sepenuh keyakinan, siapakah Tuhanmu?" Dan nyatanya, dia menjawab, "Allah". 

Lalu saya teringat adegan drama di meja makan penuh ikan. Seseorang bermonolog, "Demi ikan-ikan halal yang lezat dalam kuasa Allah ini, benarkah aku manusia yang adil?"

Maka saya bersyukur melahirkan puisi untuk Jumat ini. Atau saya sedang bersyukur karena Allah telah memberi melalui Jumatnya, sebuah puisi berjudul Katanya Cinta Tapi Tidak.

Dari model penulisannya, sebenarnya ini gaya yang tidak asing. Bisa dikenali kemiripannya pada karya beberapa penyair. Tetapi selama kita menunjukkan totalitas dalam menulisnya, maka akan sangat jauh dari niat untuk bersengaja membuat pola yang sama. Kecuali cuma sebuah kebetulan saja ada alur kalimat yang mirip pada bagian tertentu. Saya sendiri baru menyadarinya setelah selesai, bukan pada saat mau bikin puisi.

Kalimat terakhir pada puisi ini, "katanya ngajak pulang nyatanya keliaran kesasar-sasar", adalah kalimat puisi yang pas untuk penyadaran diri di Jumat agung ini. Barokallah. 

Sementara pada kalimat sebelumnya, "katanya kompak tapi memecahbelah", semoga selalu menjadi cemeti ngaji jiwa sehati, menjaga kemanusiaan, kemuliaan dan kedamaian. Amin.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG