REVITALISASI PENGKI (?)

TARI CETOK

sejarah naik turun gunung
membelah rimba menjadi sawah-sawah 
menggantungmu di etalase seni
dengan ribuan jutaan kepala menari

tarian senja nelayan
langit purba perkebunan

mata air mata batu 
mata besi mata tanah
mata api mata angin
mata senapan mata hati 
di depan panggung modern 
lentur dan seksi

Kemayoran, 24102018
#puisipendekindonesia
-------

Kalau urusan revitalisasi, saya mau bilang, perkakas tradisional yang terbuat dari Bambu, yang pernah marak digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari, serta menghidupi para pengrajin berbahan dasar bambu itu, semestinya tetap vital ketika penggunaannya dewasa ini berkurang, tidak seperti dulu-dulu. Karena sudah terkondisikan oleh berbagai produk modern dari bahan baku lain. 

Maka saya bersukacita kalau menonton tari-tarian tertentu, berlatar musik tradisi atau modern ---tergantung konsepnya, yang mengeksplorasi perkakas-perkakas itu sebagai bagian dari tema tarian.

Berbagai perkalas bambu itu misalnya boboku (sangku nasi), aseupan (kukusan), hihid (kipas bambu), nyiru (tampah), cetok (dudukuy/ caping/ kerucut tutup kepala), pengki (penyerok pasir/ sampah), dll. Yang kesemuanya bisa mengomunikasikan nilai-nilai karena telah diperlakukan oleh umurnya yang panjang. Misalnya, boboko memiliki pesan alam pedesaan atau alam pegunungan, aseupan  membawa makna rumah yang tentram dan damai, hihid melambangkan nyanyian alam dan kedamaian jasmani dan rohani, nyiru mengisyaratkan kerja keras kaum perempuan, cetok menggambarkan keteduhan gunung-gunung, dan pengki melambangkan pertaruhan laki-laki. Tentu masih banyak lagi makna-makna yang bisa terkuak selain itu.

Khusus hal pengki, suka mengingatkan saya pada boneka kucing asal Jepang, Maneki Neko (kucing pengundang / kucing keberuntungan) yang sering dijumpai di toko China yang selalu lucu ketika mengayun-ayunkan tangannya. Yang sering saya lihat mengayunkan tangan kirinya. Dampai seseorang pernah bertanya kepada saya, "Apa pesan baiknya?" Saya jawab, "Itu kucing pengundang keberuntungan. Tangannya setia memanggil. Selain itu, soal tangan kiri itu punya pesan baik. Meskipun kita melakuan hal-hal yang dipandang remeh dan hina oleh pihak lain, tetapi sesungguhnya itu bisa mendatangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Sebab selama ini mata manusia hanya terbiasa memandang baik tangan kanan". Begitupun dengan pengki. Alat yang biasa dipakai untuk mengangkut pasir, mengurug tanah, dan membuang sampah ini suka dipandang rendah dan teman kuli. Padahal sebagai pesan moral dia sangat tinggi.

Di kalangan orang penting dikenal istilah, tukang buang sampah atau tukang cuci piring. Persepsi positifnya, tukang membersihkan segala kotoran, segala dosa. Bahkan gambar laki-laki dan pengki tidak selalu identik dengan doa kuli, tetapi untuk segala doa, termasuk doa jadi pengusaha sukses.

Siapa yang berani bilang, membersihkan sampah berarti makan sampah? Padahal segala macam sampah selalu dibuangnya. Segala tempat menjadi bersih?

Tapi, ya. Bicara perkakas bambu yang melekat pada kejantanan laki-laki tidak cuma pengki. Berbagai perangkap ikan dan tempat menyimpan ikan pun terbuat dari bambu. Sebab dari dulu laki-laki memang identik dengan para pemburu atau para pencari ikan, pencari nafkah keluarga. 

Lalu saya membayangkan, sebuah atau berbagai tarian tradisional dan modern, masal, sekali setahun di sebuah lapangan luas atau di alun-alun. Ratusan-ribuan muda-mudi menari. Bersyukur atas umur panjang kampungnya yang tentram damai atas berkat rahmat Allah. Sementara properti yang digunakan dalam tarian itu adalah perkakas serba bambu itu. Bukan sesuatu yang mustahil, sebab di panggungpun tarian serupa itu sudah menggeliat, meskipun belum menguat. Oh, sangat eksotis.

Kalau pertanyaannya, ada kemiripan konsep dari berbagai tari tradisi se Nusantara dalam hal itu? Jawabannya sederhana. Selain koreografinya berbeda, musik pengiringnya beda-beda, bahasa dalam lirik lagunya beda, begitupun dengan busana tradisionalnya. Sebab kemiripin itu muncul karena kita memang se Indonesia. Bahkan se Asia pun, dari pengamatan saya melalui panggung, data buku dan internet, banyak tari tradisinya yang mirip. Kreatifitasnya yang bersifat khas yang membeda-bedakannya.

Kalau pertanyaannya, apakah rekan muda di era milenial kali ini bakal tertarik untuk menarikannya dan menontonya? Jawabannya pun singkat, meskipun tidak semudah prakteknya. Justru kesemarakan tradisi yang menantanglah yang harus membeli hati kaum muda. Bukan mereka yang dipaksa-paksa memasuki dunia entah. Dan ini artinya melulu soal komunikasi efektif antar generasi, sekaligus soal kreatifitas yang bergerak dinamis tanpa melupakan akar pokoknya. Eksotisitas tampilan tradisinya serta pesan moralnya yang tak lekang oleh waktu. Butuh strategi jitu.

Sungguh indah pesan boboko. Ini satu contoh. Ketika ditarikan di atas kepala, itu  bisa memberi pertanda memuji Allah atas segala karunia, segala rizkinya. Bukan menyembah dunia. Ditarikan di seputar bahu artinya kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Gotong-royong. Ditarikan di seputar pinggang menunjukkan tabungan dan kebahagian masa depan, pendidikan dan penyelamatan generasi baru. Dan ketika di letakkan sambil bersimpuh memberi kabar segala rahasia, manfaat-manfaat. Tak ada pesan dan kesan pengemis, budak, kemelaratan, kebodohan, ketinggalan jaman, dll di situ. Subhanallah.

Di sekolah-sekolah perkakas ini bisa menjadi alat peraga pendidikan senibudaya selain juga untuk menradisikan tari-tarian itu. Bisa juga untuk merangsang pelajar membuat kreasi-kreasi panggung yang lain. Tidak cuma dalam tari, bisa juga dipakai dalam pertunjukan teater dll. Dan pemerintah melalui dinas pendidikan tinggal konsisten memotivasi segala bentuk pelestarian budaya, setidaknya untuk tujuan mendidik pemahaman para pelajar terhadap sejarah dan ciri khas daerahnya. Karena mustahil kita mencetak semua manusia jadi penari. Seperti mustahil pula dari ribuan peserta lomba gambar itu kita suruh jadi pelukis semua. Itulah membimbing pemahaman generasi.

Boboko dan perkakas lain dari bambu juga bisa dipergunakan dalam pawai hasil-hasil pembangunan. Terutama pembangunan sektor pertanian, kerajinan tangan dan bahkan pariwisata dan kuliner. Ini memberi kesan tradisi dan kesan ramah lingkungan yang kuat.

Pengalihan penggunaan perkakas itu untuk pembuatan gapura menurut saya tidak akan 100% mulus. Hanya tiga jenis benda saja yang sudah lulus sensor dan lumayan kuat di situ, yaitu nyiru, cetok dan aseupan.  Itupun butuh modifikasi. Yang satu untuk menulis angka dan kata-kata, sedangkan yang lain bisa dipakai untuk kap lampu. Butuh daya seni spesial untuk mampu meramu seluruh perkakas dalam satu gapura. Sebab kalau asal tempel malah mendatangkan kesan ceroboh, serabutan dan kumuh, meskipun perkakasnya baru beli semua. Tentu akan lebih efektif di daerah-daerah yang identik dengan 'tradisi sesaji', sebab perkakas itu bisa bersusun di tempat-tempat tertentu pas dengan fungsinya. Di situ upacara-upacara adat juga sangat menolong kelestarian perkakas-perkakas tradisional dari bambu itu. Tetapi sulit untuk daerah lain.

Selain senibudaya yang mampu merevitalisasi kerajinan rakyat dari bambu itu, menurut saya justru pemerintah mesti memotivasi dan mengayomi para pengrajin untuk menggunakan bahan dasar bambu untuk berbagai keperluan. Apapun yang dianggap serba bagus dan menarik kalau memakai bambu. Yang artinya, tradisi mengolah bambu bisa semakin dimajukan, selain berfikir melestarikan produksi mereka yang sudah lazim.

Apakah diperlukan pameran pembangunan bertema bambu agar masyarakat kota dan desa melek bambu semua? Bisa begitu. Bisa juga satu paket dengan pameran pembangunan yang umum.

Terakhir saya mau mengingatkan catatan saya sebelum ini. Jangan sampai kita dikritik oleh orang miskin atau orang-orang yang bertahan dan perduli pada tradisi, ketika mereka berkata, "Padahal kalau boboko yang digantung-gantung itu diberikan kepada kami, bisa bermanfaat untuk hidup bertahun-tahun, daripada dihujan-panaskan sia-sia begitu". Dia tentu bisa menggunakan istilah 'sia-sia' untuk sesuatu yang menurutnya mubazir atau kurang manfaat. Dalam bahasa Sunda jadi bisa disebut, "Ngalelewe jalma kere" (menghina orang miskin).

Lain kali saya pasti berminat untuk melanjutkan tulisan pendek ini. Setidaknya untuk terus membicarakannya.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG