RUH SIAPA DI PANTAI, DI MENGHENINGKAN CIPTA?

ZULHIJAH PENGHABISAN 

Muharom mengepakkan sayap
sayap hijrah 
rajawali wangi bunga
ros pada hutan pada vas di meja 
jutaan cerita melengkung pintu mesjid
jutaan jiwa memberi nyawa Rumah Allah
rindu rosulku solawat
solawat yang hidup:
ros pada langit
setia tumbuh di bumi dan 
zaman pun telah sampai pada
Zulhijah yang penghabisan

Kemayoran, 17102018
#puisipendekindonesia
------

Islam Nusantara terkesan diserang dari sana-sini. Saya gak ngerti juntrungannya. Soalnya di mana letaknya Islam Nusantara? Nyerang siapa? Soalnya selama ini yang mendebat malah cuma mempersoalkan, mestinya sebutannya Muslim Nusantara bukan Islam Nusantara. Itu respon wajar saja sebenarnya. Tetapi akhirnya kalau maksudnya dirasa-rasa sama, ya itulah sesungguh kartunya. Gak ada yang ditutup-tutupi. Sudah rahasia umum. Mau dipersoalkan apanya?

Salah seorang tokoh nasional di TV yang pernah komentar lumayan agak panjang soal Islam Nusantara, selain tokoh lain, adalah Azumardi Azra. Saya cermati ketika itu dia ngomong lurus-lurus saja. Lagi-lagi soal eksistensi umat Islam di Indonesia secara menyeluruh, tanpa kecuali, dengan ciri khas kehidupannya sehari-hari sebagai orang Indonesia yang tidak melanggar dalil-dalil Islam. Tokoh-tokoh lain pun berkalimat yang sama.

Kepada umat Islam Indonesia yang khas dan tidak melanggar ketentuan Islam memang semestinya tidak perlu dipaksa-paksa mengikuti adat istiadat dari negara lain.

Saya merasa yakin, yang dimaksud Islam Nusantara bukanlah organisasi khusus, bahkan bukan sekte atau aliran khusus. Melainkan selalu semaksud sebangun dengan yang disebut umat Islam yang ada di Indonesia. Lalu pertanyaannya, apa bedanya Islam Nusantara dengan Islam? Apa salahnya umat Islam Nusantara yang lurus? Apakah karena seorang muslimah kebetulan penari jaipong dan merasa Islam Nusantara maka dia tidak lurus? Lalu ketika ada seseorang muslimah yang aktif di majlis taklim dengan jilbab lebar bahkan bercadar ---selama tidak ada larangan cadar---- , yang juga merasa Islam Nusantara, apakah dia bukan muslimah yang lurus?

Ada wacana yang melenceng jauh. Contohnya dengan mempertentangkan dua peristiwa. Umat Islam yang setuju hajat pantai berarti kelompok Islam Nusantara, sedangkan yang tidak pernah terlibat atau cenderung tidak suka pada hajat pantai berarti bukan Islam Nusantara. Padahal keduanya sama-sama Islam Nusantara. Keduanya umat Islam di Indonesia yang punya khas masing-masing. Yang tidak suka hajat pantai atau bakar menyan saat acara selamatan, dia pun punya khas ke-Indonesiaan yang lain. Mungkin dari pakaian, kegiatan sosial atau kegiatan senibudaya tertentu.

Beberapa waktu lalu saya membuat tulisan di media sosial facebook khusus membahas hajat pantai yang lurus, atau sekaligus berarti sedang meluruskan hajat pantai. Setidaknya dari pihak-pihak yang masih salah ngerti. Begini: 

"ADA YANG RAMAI-RAMAI TERIAK SYIRIK DI PANTAI PASCA TSUNAMI

Yang penting mohon doa selamat itu tetap hanya kepada Allah saja. Soal tradisi, upacara adat pantai, lihat lurus dan bengkoknya saja. Kalau masih lurus ya biar aja. Itu tasyakur bi nikmah. Kegiatan senibudaya juga yang punya daya tarik, eksotika wisata. Asalkan penuh doa-doa baik. Biar berkah.

Adab doa memang sudah berketentuan. Itu sebabnya takbir, bismillah dan alfatehah-nya sama. Kesemarakan tradisinya yang beda-beda. Seperti ngarak burok dan pawai obor di malam Hijriah. Misalnya.

Soal makanan yang dicemplungin ke laut, itu sedekah kepada habitat laut namanya. Cinta alam. Karena semua makanan kalau ditumbuk jadi satu, hasilnya seperti PELET ikan. Semuanya makanan ikan dan pupuk tanaman. Karena kita juga lupa, inginnya ikan-ikan mendekat ke pantai, tapi tidak dipancing oleh makanan. Akhirnya nelayan kecil pun nyari ikan harus ke tengah laut. Lebih beresiko. Gitu aja. 

Teruslah berdoa kepada Allah saja. Kecuali kalau dalam adat tradisi ada yang bengkok, baru kita luruskan.

Kepala sapi atau kerbau, telur, pisang, pepaya, nasi, jagung dll kalau digiling lalu dikeringkan, itu hasilnya ya makanan ikan. Seperti yang banyak dikemas di toko-toko pakan. Tapi proses untuk itu butuh biaya produksi. Mahal.

Apalagi kalau motong sapi. Seluruh dagingnya di makan masyarakat di pantai, termasuk oleh nelayan, kaum duafa dan anak yatim, sambil wisata setahun sekali. Hatinya berdoa kepada Allah. Sedangkan kepala sapinya disedekahkan kepada ikan-ikan. Secara sederhana itu namanya, MAKAN BERSAMA DI PANTAI NGAJAK IKAN-IKAN. Subhanallah.

Soal Tsunami dan gempa di pantai, itu adalah kalimat Allah yang harus dihadapi dengan iman dan takwa. Tawakalnya, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat harus kompak mengatasi realitas kondisinya. Menentukan area yang layak dan tidak layak untuk pemukiman. Menentukan pengamanan permanen dan penghambat terjangan Tsunami. Membangun jalur penyelamatan masyarakat dan wisatawan pantai yang representatif. Menyosialisasikan model rumah dan gedung tahan gempa. Serta selalu siaga dengan info siaga Tsunami. Dlsb.

Allah Maha Kuasa. 
Allahu Akbar!"
------

Begitulah tulisan saya. Membaca sesuatu yang lurus, atau sekaligus meluruskan. Bahkan ketika ada tulisan di FB, kalau mau sedekah pantai harus yang banyak buat makan ikan, saya sangat ngerti maksudnya. Bagaima mungkin ikan-ikan laut di pantai bisa makan puas sepanjang tahun hanya dengan diceburi sedikit makanan ke laut, itupun setahun sekali? Tapi ya itulah yang namanya hajat atau upacara yang sarat doa-doa. Isinya pasti serba harapan. Simbol-simbol.

Saya jadi teringat sebuah puisi yang mendeskripsikan kepasrahan hamba Allah yang ihlas. Yaitu ketika  mempersilahkan jasad dirinya setelah mati nanti untuk dinikmati cacing-cacing tanah dll. Segaris dengan itu, berarti ia pun mengihlaskan jasad dirinya untuk dimakan binatang laut apapun, baik langsung maupun setelah menjadi bagian dari tanah dan air. Segaris dengan itu, sesungguhnya pelaku hajat laut yang lurus cuma sedang mengihlaskan seluruh makanan kepada ikan-ikan sebagai pemberian hidup, seperti dia sendiri juga kelak menyerahkan tubuhnya. Tetapi dalam seremoninya diwakili oleh makanan yang dicemplungkan ke laut. Itu bahasa. Itu kode. Itu eksotika hajatan.

Saya juga membaca tulisan yang menyebut, lautlah yang memberi rejeki kepada kita, bukan kita yang ngasih makan ikan di laut. Dalam konteks penyerahan bumi kepada yang hidup di bumi, ikan-ikan itu justru bisa makan karena makanannya disediakan oleh bumi, tempat tubuh kita hancur lebur di situ. Sebagai bagian dari tanah dan air, bukan sebagai manusia yang bernyawa. Artinya, tidak benar tanah dan air tidak memberikan makan kepada ilan-ikan.

Dalam bahasa alam, tanah dan air yang berisi jasad para manusia yang telah dan akan mati adalah tempat makanan ikan. Meskipun dalam rantai-rantai makanan di laut, selanjutnya ikan yang kecil dimakan ikan yang lebih besar, dan seterusnya. 

Lalu ketika ada yang mengaitkan dengan ruh-ruh, saya menulis status fb yang isinya berargumenrasi tentang pendapat tentang ruh yang lurus, sekaligus menganfung maksud meluruskan yang bengkok-bengkok. Begini:

"ISLAM NUSANTARA PELURUS?

Untungnya, mengheningkan cipta untuk para pahlawan setiap senin dan di momen-momen penting itu tidak diartikan menyembah ruh nenek moyang. Atau, justru itu malah prinsip pelurusan kepada oknum yang bengkok. Bahwa sesungguhnya yang secara tradisi dicurigai menyembah ruh nenek moyang, maksudnya justru sedang menghargai jajsa-jasa para leluhur untuk diteladani generasi masa kini. Para leluhur itu tentu saja tidak cuma nama-nama pahlawan yang dikenal, tetapi siapa saja yang layak dipahlawankan dj masa lalu, termasuk kakek-nenek kita.

Maka saya bangga dengan menjadi bagian dari bangsa Indonesia (yang beragama Islam), yang otomatis Islam Nusantara. Islam Nusantara itu pelurus juga. Dalam paradigma tradisi generasi, ketika suritauladan para pendahulu telah sampai dan dihargai, maka ketika ditanya, "Siapakah nenek moyang itu?" Maka jawabnya, "Kami". Seperti umat Muhammad SAW juga menghargai umat Ibrahim AS yang lurus. Seperti umat masa kini menghargai generasi sahabat Nabi SAW. Sehingga menyebut ruh nenek moyang yang lurus, sesungguhnya menemui dirimu sendiri hari ini". 
--------

Akhirnya saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan harapan, tidak perlulah kita terseok-seok yang sangat merugikan dalam perdebatan Islam Nusantara. Itu wacana biasa. Baik ketika diwacanakan dengan kalimat-lalimat dan diskusi-diskusi yang viral atau diwacanakan secara diam-diam oleh peristiwa hidup. Sebab tanpa perdebatan itu, toh kita yang Islam di Nusantara tetap selalu sedang berIslam sekaligus ber-Nusantara. Dan selaku hamba Allah yang kafah, wajar kita berpendirian boleh ber-Indonesia atau ber-Nusantara asalkan tidak melanggar ketentuan Islam. Itulah Islam Nusantara. Khas. Di situlah kita saling menghargai setiap adat istiadat, setiap tradisi, setiap perbedaan-perbedaan. Yang penting adat istiadat atau tradisi atau perbedaan-perbedaan itu lurus-lurus saja. Tidak syirik atau mengingkari ajaran Islam. Serta tidak merusak keharmonisan umat seagama dan manusia sebangsa.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG