CINTA MENGENANG PURWAKARTA

SALAM TUMBUH DARI GAPURA

salam tumbuh dari gapura
sejuk hangat rasa kembang melintas
kupu-kupu senja terbang ringan
malam tropis memusar mata lampu
dari 7 titik
membeliak 9 gairah
menari selendang gerimis
sayap-sayap mendendang sajak dan lagu
mengular pedagang tepian jalan Purwakarta

Purwakarta, 9 November 2010 
#PuisiPendekIndonesia 
------

Malam ini saya tertarik untuk mengenang Purwakarta. Di tempat yang indah, hangat dan menyenangkan ini saya lama ber-KTP Purwakarta. Tepatnya sejak tahun 2000. Di ujung kepemimpinan Bupati Bunyamin Dudih. Pindah dari Bandung karena tugas memimpin Radio. Selama di Bandung saya menjadi Programmer Radio Lita FM dan Radio Rama FM. Lalu beralih tugas ke kota santri menjadi Kepala Studio dan Programmer Radio Populer FM.

Ketika saya domisili, kerja dan ber-KTP Jakarta, tepatnya di Kemayoran, saya memang merasa seperti di kampung sendiri karena ibu kandung saya memang sudah berumah di Jakarta sejak tahun 70-an. Sejak berpisah dengan bapak saya. Sementara bapak saya setelah lama menjadi warga Kota Sukabumi, akhirnya berumah dan meninggal di Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah. Tetapi meskipun demikian, saya sampai hari ini masih merasakan Purwakarta adalah kampung saya. Apalagi anak laki-laki saya lahir di Purwakarta. Anak Purwakarta. Kebetulan ulang tahunnya bulan ini, Desember. 

Ketertarikan saya nulis kenangan Purwakarta disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, murid Apresiasi Seni saya dari MAN Purwakarta yang sekarang sudah kerja di Bandung beberapa hari lalu bertanya, "Pak Gilang kalau ke Purwakarta ke mana?" 

Tentu saya jawab sekenanya tapi pas, "Ya pulang ke tempat kelahiran anak saya". Lalu saya jelaskan, "Di Purwakarta saya bebas ketemu siapa saja, karena teman saya ada di seluruh titik. Selain itu, pintu-pintu radio selalu terbuka menerima kunjungan saya. Bahkan ada yang ngajak siaran atau ngurus radio juga. Sayangnya waktunya masih berat diaturnya. Itu sebabnya jangan heran saya suka nginep atau bergadang di radio selain di hotel-hotel Purwakarta. Ada juga sih temen yang nawarin nginep". 

Kedua, saya tiba-tiba terkenang Purwakarta gara-gara seorang teman baik saya di Bandung berkomentar begini tadi pagi, "Kapan bisa siaran duet di Bandung?" Waduh. Hasrat hati saya sangat ingin. Siaran itu pelipur hati juga selain karena sudah lama jadi profesi. Tapi sama halnya dengan di Purwakarta, pasti kendalanya soal waktu. 

Memang, sebagai Orang Radio Indonesia yang sudah kenyang asam garam dunia radio, saya sudah mengalami berbagai macam model siaran. Pernah nongkrong 24 jam di radio selama siaran bertahun-tahun. Pernah siaran di dua radio sekaligus, sehingga harus bagi waktu sana-sini. Pernah siaran seminggu cuma dua-tiga hari saja. Bahkan pernah cuma nongol sebagai Narasumber Senibudaya seminggu sekali. Itulah pengalaman nyata selama lebih dari 20 tahun, baik di Kota Sukabumi, Kota Bandung maupun di Purwakarta. 

Sukabumi juga kampung halaman saya. Bayangkan, sejak umur kelas 4 SD saya sudah hidup di tanah air Sukabumi. Bahkan obyek wisata Selabintana dan Palabuhan Ratu mungkin sampai bosan melihat wajah saya. Selain saya yang merindukan, rasa-rasanya bau tubuh saya juga dirindukan oleh Pantai Minajaya dan sungai Ciletuh.

Kota Kembang juga kampung saya. Lama ber-KTP Bandung, menikah dan punya anak pertama. Nikahnya sama orang Bandung pula, meskipun asal Manado. Otomatis sampai hari ini keluarga besar Bandung masih terus berhubungan, terutama dengan anak-anak saya. Selain itu yang paling membeli rasa adalah kegiatan sosial dan senibudayanya yang terlalu berat untuk dilupakan. Baik selama di Sukabumi, Bandung maupun Purwakarta. 

Ketiga, saya tiba-tiba ingin bicara mengenang Purwakarta justru karena momennya menjelang Natal dan Tahun Baru. Tentu kalau Natal dikaitkan dengan masa pemrograman radio di Purwakarta tidak terlalu nyambung, sebab radio tidak punya program khusus Natal, tetapi masih nyambung untuk jurnalistik seputar Natal dan tahun baru, serta menggelar semarak malam tahun baru. Kecuali kalau saya pimpinan TV Nasional, saya yakin sejak sebulan lalu sudah mengikuti atau memantau rapat-rapat persiapan Acara Spesial Natal dan Tahun Baru. Sehingga anda sudah bisa pastikan, akan seperti apa kalau saya pimpinan TV Nasional? Yang ada kaitannya dengan rindu Purwakarta adalah posisi saya sebagai Narasumber Acara Apresiasi Senibudaya di radio. Setiap jelang Natal dan tahun baru seperti saat ini pasti mengangkat tema, Natal dan Tahun Baru. Termasuk membahas berbagai tulisan Natal dan Tahun Baru di super market/ mall, membahas bakal semaraknya program di TV-TV, membahas kebhinekaan dan keharmonisan sosial, dan tentu saja soal panggung-panggung hiburan. 

Apa yang mengesankan tentang Purwakarta? Tentu sangat banyak. Dulu di tahun 2000 saya biasa menyebut, daerah perlintasan Jakarta-Bandung. Itu menginspirasi saya untuk menulis sebuah puisi di tahun 2010, begini:

HANYA SEKELEBAT KERUDUNG

Jarak Istiqlal dan Bandung
Tercatat di Purwakarta
Hanya sekelebat kerudung
Yang gaul dan kencang di atas motor
Menarik mata Tuhan lanang sejati
Menjadi wangi kota santri

Purwakarta, 11 Oktober 2010 
-----

Tetapi tentu, Purwakarta beberapa tahun terakhir semakin marak sebagai daerah kunjungan siapapun, tidak cuma daerah persinggahan. Meskipun atribut daerah persinggahan tak perlu sirna, apalagi ada sejarah kuatnya yaitu nama yang sekarang populer menjadi nama kelurahan, Sindang Kasih.

Puisi Hanya Sekelebat Kerudung itu juga bentuk keterbukaan saya ketika mengritik Bupati Dedi Mulyadi yang dalam pidato-pidatonya selalu sepi dari sebutan Kota Santri. Padahal di era Bupati Lili Hambali dan kepala daerah sebelumnya sebutan itu begitu hangat dan familiar, meskipun Pak Lili juga suka joged dangdut dan nyanyi Cucak Rowo. Maklum, dangdutan kan perlu nyantri juga, meskipun multi tafsir.

Tentu kritikan-kritikan saya, termasuk soal jangan terlalu banyak bikin patung dan jangan terlalu banyak jauh masuk ke dalam proses kreatif kesenian, tidak mengurangi kedekatan hati saya pada Kang Dedi yang berbagai terobosannya saya sukai. Apalagi suka bertemu dalam event-event kesenian, terutama sastra, kalau bupati sedang berkenan hadir. Sampai saya bilang di media sosial, bahkan melalui grup '7 Meter Dari Dedi Mulyadi', "Nanti kalau sudah pensiun dari Bupati, membina sanggar seni atau apa, insya Allah saya sukacita datang kalau tidak diusir". Ha!

Khusus soal patung-patung, waktu ada kabar peristiwa malam perusakan, dari pukul 01:00 - 03:00 dini hari saya keliling Purwakarta melihat bekas-bekas perusakannya. Sedih. Maklum, saya tidak suka cara-cara yang keliru. Padahal kita telah punya kebebasan berwacana dan menyampaikan aspirasi, tapi tidak harus dengan cara-cara merusak. Di radio dan di berbagai diskusi dengan teman-teman seniman saya bilang, bahkan di jaman Musa menumbangkan Firaun, tidak ada agenda perusakan. Yang ada menjatuhkan kekafiran Firaun dan membangun peradaban dengan seluruh fasilitas yang ada. Jalan-jalan Firaun berubah menjadi jalan-jalan Musa yang lurus. Lalu saya tambahi, "Tanpa harus anti karya seni patung, kalau kelak saya bupatinya, kalau perlu sebagian atau seluruh patungnya bisa ditiadakan, yang perlu diperbaiki atau diganti bisa diperbaiki dan diganti, sesuai dengan prinsip pembangunan dan kearifan lokalnya. Itu sah menurut peraturan daerah dan perundang-undangan yang ada. Tidak boleh asal merusak. Jangan sampai pada waktunya tembok-tembok, pagar, dan gapura pun bisa dirusak juga gara-gara beda pendapat atau emosi". 

Klaim kota santri memang bukan cuma milik Purwakarta saja. Beberapa kota dan kabupaten lain juga menyebut demikian. Tidak apa-apa. Wajar. Yang jelas, sebutan itu bukan wujud fanatisme sempit, setidaknya memang mesti demikian. Saya rasa warga Purwakarta akan tersinggung kalau disebut, penamaan kota santri dalam kurun waktu yang panjang itu karena fanatisme sempit. Apalagi dalam terminologi pendidikan istilah kota santri juga memiliki arti kota pelajar atau kota terpelajar.

Ya, apalagi untuk ukuran Purwakarta yang wilayah kabupatennya paling kecil di Jawa Barat. Tentu sektor pertanian dan perkebunan tidak akan segagah daerah lain. Harumnya bisa menonjol pada dunia industri, peternakan dan perikanan, pariwisata, dan pendidikan. Ini akan segaris dengan imej kota terpelajar atau kota santri itu.

Kalau ada yang tetap bersikeras bahwa istilah santri hanya milik dunia pesantren, berarti saya kalah dua kali. Kekalahan yang lain adalah ketika ada yang ngotot bahwa Hari Santri Nasional adalah Hari Pesantren yang diperingati oleh orang-orang pesantren saja. Waduh. Tapi nampaknya kita selalu bisa menang bersama.

Citra kota santri sebagai kota terpelajar akan membuka wacana, menunjukkan bukti, bahwa masyarakatnya dewasa, maju, dan memahami banyak persoalan. Itu sebabnya musik pop, dangdut, nasyid dan qosidah bisa bergantian naik panggung di berbagai tempat. Wayang menjadi inspirasi perenungan dalam wacana yang terbuka. Berbagai seni tradisi lestari, meskipun di tatar Sunda seluruhnya saya pernah vokal mengritik sepinya tari-tari tradisi dalam berbagai event yang merakyat, terutama di panggung-panggung Agustusan. Di satu sisi tari tradisi cuma hidup sebagai ekspresi kamonesan anak-anak dalam komunitas tertentu, sebab yang dewasa kadung dihukum dianggap bakal sensual, padahal itu juga 'eksotika panggung yang komunikatif dan sarat pesan'. Di sisi lain, proyek pentas tari seperti mulai berkubu pada turunnya anggaran pemerintah pada program atau berbagai hajatan tertentu. Ini terlalu formal dan kurang berspirit menradisikan tari tradisi. Kurang semarak di mana-mana, meskipun gambar-gambarnya masih dimaskotkan.

Pendeknya, asal pemerintah daerah sudah punya hajat besar seni tari 3-4 kali setahun, berarti tanggungjawab penradisian sudah kelar. Padahal belum. Masih sangat jauh. Istilahnya, anak-anak dan remaja Agustusan saja gak kenal tari tradisional. Padahal panggung Agustusan itu hampir ada di seluruh lingkungan RW se-Indonesia.

Menurut saya semaraknya bambu dalam event-event harian dan event-rvent besar Purwakarta sudah sangat tepat. Itu relijius. Sebab prinsip 'ngaji awi' itu banyak nasehat Para Walinya. Dan itu kurang dikembangkan selama ini sebagai eksotika 'kampung halaman yang ramah'. Yang penting jangan berdalih revitalisasi lalu produk perkakas rumah yang terbuat dari bambu digantung-gantung kurang memberi pesan. Lebih tepat kalau mengajak para pengrajin bambu itu terlibat memproduksi ini dan itu, kebutuhan dekorasi bambu untuk berbagai keperluan.  

Sebagai wilayah terpelajar tentu Purwakarta akan menunjukkan tata kehidupan yang harmonis dalam keberagaman yang ada. Beragam agama, beragam suku, dan beragam selera dalam banyak hal, selain eksistensi suku Sunda sebagai suku utama. Saya yakin Purwakarta yang istimewa menunjukkan itu.

Tetapi sebagai kota terpelajar tentu mustahil tanpa geliat dunia pendidikan yang menonjol. Itu sebabnya program pendidikan dasar harus terus sukses. Disertai ketersediaan fasilitas pendidikan yang memadai dari PAUD-TK-TPA sampai Perguruan Tinggi. Tak kecuali dunia pesantren dan lembaga pendidikan non-formalnya. Masyarakatnya dewasa, kreatif dan dinamis. Dunia pustakanya menonjol. Majlis taklim dan tablig akbarnya semarak. Bahasa, sastra dan wacana budayanya terbuka. Sebab selain akan berhadapan dengan proses komunikasi yang maju, juga akan membuka tafsir-tafsir kehidupan.

Karena itu taman-taman terbuka yang bisa dipergunakan untuk menggalakkan program literasi serta latihan-latihan seni harus memadai. Sebab hanya orang gagap yang berfikiran, membaca, diskusi dan latihan seni hanya pantas dilakukan di dalam gedung, atau aula, atau pendopo. Lebih gagap lagi kalau ada kota maju tidak punya gedung kesenian yang representatif dan dikenal aktivis seni dan masyarakat luas. 

Saya pernah berseloroh kepada aktivis seni Purwakarta, Ali Novel, "Bagaimana kalau kelak di Situ Buleud atau Wanayasa ada tidak sedikit wanita turis asing yang karena kegerahan mengenakan kaos singlet dan celana pendek?" Meskipun sayang, marak kabar di internet, kunjungan wisata ke Purwakarta perhari ini masih belum menggembirakan. 

Oke. Sampai di sini dulu tulisan rasa cinta dan mengenang Purwakarta ini. Lain kali disambung lagi.

Kemayoran, 18 12 2018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG