JUMAT PEMBANGUNAN

MAYORITAS VS MAYORITAS

baik, baik, kau pergi sana! 
meninggalkanku dengan kalimat,
"Mayoritas yang memaksakan kehendak"
padahal kau mayoritas baru yang buru-buru 
ingin berlalu tanpa diketahui
bangunan mayoritasmu gerombolan semu
rapuh 
sementara mayoritasku cuma bilang,
punya kebebasan konstitusional sama 
dengan semua yang kau sebut minoritas
tapi mesti, punya keuntungan suara
juga pengaruh pembangunan

Kemayoran, 14122018
#PuisiPendekIndonesia
-------

Tahukah anda bahwa sesungguhnya, jika di suatu negri terdapat dua partai besar di tengah partai-partai kecil dan baru, yang saling berhadapan dalam kepentingan politik atau rencana pembangunan era ke depan, maka sesungguhnya kita tengah menyaksikan dua partai besar yang menonjol. Bisa kita sebut juga, Mayoritas vs Mayoritas.

Sungguhpun dalilnya, yang lebih banyak anggotanya, meskipun plus 1 orang (+1), lebih berhak mengklaim diri sebagai mayoritas, tetapi faktanya, keduanya adalah kekuatan mayoritas yang paling berpengaruh. Dengan prinsip, selalu salahsatu dari keduanya  ingin memenangkan konstestasi.

Dalil lain menyodorkan tanya. Jika ada kelompok besar terdiri dari 5 orang pintar dan 7 orang bodoh, berhadapan dengan kelompok yang terdiri dari 9 orang pintar dan 3 orang bodoh, mana yang lebih mayoritas dalam sebuah kontestasi politik. Tentu. Keduanya mayoritas dengan suatu kondisi keunggulan tertentu. Begitupun ketika satu kelompok beranggotakan 8 orang sementara kelompok lain 10 orang. Pun jika kenyataan menunjukkan, yang sedikit orang pintarnya justru orang-orang pintarnya berada di posisi sosial yang strategis. Sementara yang banyak orang pintarnya malah sedikit orang pintarnya di posisi sosial yang strategis. 

Ini menarik kita bicarakan hari ini, Jumat, 14122018. Apalagi Jumat sendiri mengisyaratkan hidup berjamaah. Bergotong royong. Maka membahas kelompok-kelompok, termasuk yang kita sebut mayoritas, adalah hal utama.

Secara kebetulan, formasi kepartaian jelang Pilpres 2019 di Indonesia terbagi dalam dua kubu besar. Kubu petahana, Jokowi-Ma'ruf Amin dan kubu oposisi Prabowo-Sandi. Kubu petahana lebih mayoritas dari formasi jumlah partai, sehingga lebih gemuk pengurus partai (mesin partai)-nya sampai ke tingkat ranting/ kelurahan di seluruh Indonesia. Selain itu dari sejak awal survei menjelang penetapan capres-cawapres hingga hari ini, seluruh lembaga survei masih menunjukkan angka yang lebih tinggi untuk pasangan petahana. Tetapi meskipun demikian kita mesti menyebut mereka sebagai dua kubu besar yang paling berpengaruh saat ini.

Sehingga sebagai pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin, saya merasa perlu bersukacita dengan doa-doa, "Semoga sebagai mayoritas, pihak ini bukanlah mayoritas yang gembos alias keropos". Padahal secara terbuka dan universal, doa-doa serupa bisa juga diberlakukan secara terbuka untuk kubu Prabowo-Sandi.

Lebih bahaya lagi dalam wacana umum, kalau ada suatu kelompok mayoritas di masa kapanpun, yang berpengaruh dan berkuasa tetapi berisi para penipu rakyat. Ini harus kita hindari.

Saya sendiri bangga ketika menyebut umat Islam di Indonesia adalah umat mayoritas yang punya pengaruh signifikan terhadap laju pembangunan dan berlangsungnya kedamaian dan kesejahteraan di negri ini. Ini bukan arogansi. Bahkan bentuk kewajiban bertanggungjawab, menyadari potensinya.

Sebagai bentuk rasa tanggungjawab yang besar terhadap Allah Swt, terhadap bangsa dan negara, tentu parameternya justru keadilan yang beradab. Oleh karena itu dalam pandangan saya, sudah tepat umat Islam Indonesia membela Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD '45, NKRI, Merah Putih, spirit lagu Indonesia Raya, dst.

Dengan sikap dan kondisi yang konstitusional tersebut, maka akan sangat mudah dipahami potensi umat Islam Indonesia sebagai, rahmatan lil alamin. Kasih untuk semesta. Terutama dipahami oleh yang disebut pihak non-Muslim.

Mayoritas muslim ini berposisi sama secara konstitusional. Bahkan ketika menginginkan presidennya beragama Islam.

Yang kita khawatirkan justru bukan itu. Melainkan jika ada kekuatan sosial yang mayoritas, tetapi tidak terlalu kuat menyukseskan pembangunan di berbagai bidang. Malah menjadi masalah. Tetapi masalahnya, kontribusi umat mayoritas ini sejak pra-kemerdekaan hingga hari ini justru sudah sangat besar untuk menyukseskan pembangunan nasional, bahkan berkontribusi besar untuk perdamaian dan pergaulan internasional.

Di era awal kemerdekaan kita melihat Bung Karno, Bung Hatta, juga Jendral Soedirman, dll, adalah kekuatan besar yang muncul dari kalangan Islam nasionalis. Begitu tegas ia melihat posisi strategis umat Islam Indonesia. Tidak cuma menyebut partai atau kelompok Islam di luar partainya, ia sendiri menyebut pribadinya adalah seorang Islam, atau yang populer dalam sebutan hari ini, Nasionalis Relijius. 

Membicarakan hal itu bukan hal yang tabu. Suatu yang biasa saja dalam komitmen kebangsaan yang terbuka. Tidak memotong-motong atau merusak konstitusi. Tetapi kadang kita masih melihat di hari ini, ada pihak-pihak yang mengatasnamakan mayoritas, Islam Indonesia, tetapi sikap-sikapnya sangat bertentangan dengan konstitusi yang ada. Sehingga menjadi masalah bagi siapapun.

Padahal kita sudah berada di puncak komitmen moral, "Mayoritasmu jangan menjadi mayoritas yang rapuh. Yang tipu-menipu". Sebab dapat dibayangkan kalau ada kelompok besar anak bangsa, termasuk partai atau koalisi partai-partai, tetapi tidak amanah. Kita tentu tinggal menunggu kehancurannya.

Dalam bahasa Islam pun, koalisi partai-partai yang di dalamnya mayoritas muslim, harus tetap menyadari prinsip, rahmatan lil alamin. Kasih untuk semesta. Apa masih ada yang alergi dengan istilah ini dalam wacana politik terbuka? Kalau ada, anda hidup di jaman apa?

Hidup Pancasila! 
Jayalah NKRI.

Kemayoran, Jumat, 14122018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com
------


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG