MANUSIA DAN ALAM SEMESTA

ALAM MEMBACA KITA

waktu Dimas Kinjeng Merah
sajak yang meluncur
sampai ke langit terbuka:
"kinjeng itu kyai kanjeng
ngapung wangi 
bunga-bunga
berjalan di atas air
mempesona"
aku telah melompati pilihan-pilihan
sambil memahami dan menghindari
kesalahan-kesalahan
selalu dibikin sadar, alam membaca kita

Kemayoran, 06122018
*) Kinjeng = Capung
#PuisiPendekIndonesia
------

Besok jumat yang bersih, tentu saja. Dan ini berbeda dari biasanya. Tulisan yang bernada renungan Jumat saya tulis sehari sebelumnya. Padahal biasanya selalu selesai di tengah-tengah menikmati Jumat yang teduh, meskipun mataharinya sedang terik.

Sejak kecil saya memang dekat dengan alam, mungkin juga anda. Saya dekat dengan perkebunan kopi, kebun-kebun petani, persawahan, jalan tanah, tepian hutan dan sungai yang panjang, berkelok dan berair terjun.

Ternyata setelah seseorang menjadi dewasa, dan semakin dewasa, berkeluarga dan dituakan, semua peristiwa alam itu memberikan kenang-kenangan. Memberikan banyak pelajaran hidup.

Bagi siapa saja yang jiwanya terasah oleh sensitifitas prikemanusiaan, ia kelak akan menyadari bahwa selama ini alam raya telah membimbing kita pergi ke arah itu. Menjadi silih asah, silih asih dan silih asuh. Lalu pada gilirannya, kita akan membawa anakcucu menikmati alam lagi, sampai mereka menjadi orang baik. Dan kemudian menyadari, alam telah mendatangkan kearifan yang banyak.

Tanaman mengajari tumbuh mandiri hingga bermanfaat dan perkasa. Binatang mengajari kita menafkahi anak-anaknya hingga cukup umur. Burung yang jatuh setelah cukup umur dan tubuhnya lebur menjadi tanah mengajari ritual penguburan jasad itu kembali kepada tanah. Ikan-ikan mengajari kita menghadapi setiap tantangan hidup sesuai dengan keadaannya, seperti dia harus berenang kesana kemari di air. Gunung berapi mengajari potensi yang disimpan dan bisa meledak atau diledakkan sewaktu-waktu. Batu kali hadir sebagai kekuatan diam. Batu karang mengingatkan tentang keberuntungan dan bahaya. Matahari mengajari bercahaya dan bulan mengajari cara menyebarkan cahaya. Air mengajari kita manfaat-manfaat dan bergerak mengikuti kemampuannya hadir dan mengalir. Dan seterusnya.

Tentu. Tentu kita manusia bukan batu. Bukan burung. Bukan tanaman, air, ikan, matahari, bulan, gunung, dll. Itu sebabnya manusia disebut mahluk sempurna. Tidak cukup dengan jasad yang lebur di tanah, karena itu kita kuburkan ia dengan doa-doa dan cinta. Kearifan kita juga tidak meledakkan hasrat apalagi amarah semena-mena. Bahkan ketika ada binatang buas memangsa binatang lainnya, manusia mengingkari memakan nyawa. Sebab kita manusia. Mahluk doa. Cukup memahami peristiwa alam itu sebagai kalimat, setiap yang bernyawa butuh makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Selebihnya adab kemanusiaan kita akan berkalimat dengan sendirinya, bahwa di depan daging ayam atau daging kambing, kita tidak pernah makan nyawa, melainkan cuma menikmati dagingnya. Itupun sekadarnya saja. Sedangnya nyawa binatang itu telah dikembalikan dengan adab, cinta, dan doa-doa kepada Allah-nya.

Pelajaran alam tidak hanya milik desa-desa. Di kotapun sama. Air tanah mengajari kepada kita tentang kebutuhannya akan keterpeliharaan, sebab jika tidak terpelihara ia akan menjadi air yang sakit. Taman kota perlu dipanggil oleh rasa cinta. Besi-besi menolak karat. Udara dan kaca-kaca menolak debu.  Rumah padat butuh lingkungan sehat. Kecelakaan lalulintas banyak mendatangkan hikmah agar hidup butuh kehati-hatian dan keteraturan. Dst.

Pada suasana jelang hari Jumat besok, sangat mulia kita renungi diri kita sebagai bagian dari alam, sekaligus sebagai pihak yang dicintai Allah melalui kalimat-kalimat atau sinyal alam.

Bagi manusia, melihat tanda-tanda alam itu untuk dua kepentingan pokok. Pertama untuk mengimani eksistensi Allah, agar kita tidak menjadi manusia lupa di depan Yang Maha Kuasa, dan kedua untuk kesejahteraan hidup.

Meskipun demikian kita tidak perlu membayangkan luasnya alam raya ini dan mengira-ngira seberapa tak terbatasnya Allah. Cukup memahami ada ilmunya, hukum alam yang bekerja. Dengan segenap kemuliaannya yang memberi keadilan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi hamba Allah yang berserah diri di jalannya.

Sebab pada titik tertentu kita akan mengatakan, biarlah untuk sesuatu yang tidak menjadi fokus harian saya, saya tidak mengetahui sesuatu, yang jelas Allah Maha Tahu, tempat bertanya segala sesuatu pada waktunya. Bukankah orang pintarpun bukan orang yang tahu semuanya, melainkan tahu semua kunci-kuncinya?

Jangan sampai kita seperti ketemu istilah kampung, baca buku sampai botak, mewajibkan tahu segala-gala, tetapi Allah makin tidak dikenali.

Selain sadar atau tidak kita telah membaca alam semenjak bayi. Dan pada gilirannya kita dituntut lebih peka membacanya, justru pada saat kita mulai lupa pada bahasa alam. Kita pun sesungguhnya selalu berada pada posisi dibaca alam semenjak dari rahim ibu. Pada saat ibu mengandung, taman-taman samping rumah mencatat ruh tumbuh kita. Pada saat lahir sebagai bayi, mihrab mesjid menerima kita. Ketika diberi nama, pepohonan, gunung, ombak laut, api, bahkan angin badai mengamini bersama malaikat Allah. Pada saat belajar berjalan, lantai rumah mencatatnya. Dan kelak aspal jalan akan bersaksi jam berapa kita melintasi suatu tempat dengan niat apa?  Pun di tembok mana kita pernah bersandar dan menitikkan air mata luka dan pertobatan. Pun di bumi sebelah mana kita pernah mengatakan cinta untuk semua. Dan itu yang kita sebut keramat.  

Maka selain berinteraksi dengan alam di luar diri, lebih utama sesungguhnya kita berinteraksi dengan alam diri kita dan menemui keagungan Allah yang bekerja di situ. Biasanya kita menyebut diri manusia sebagai 'jagat alit'. Misalnya, kita bisa berfikir karena diberi kemampuan itu oleh Yang Maha Berfikir. Sehingga jelas jarak manusia dengan Allahnya. Sangat dekat, erat, menyatu, tetapi dia Yang Maha. Kita bisa merasa karena dikaruniai perasaan yang peka. Kita bisa bergerak karena Allah yang Maha Menggerakkan. Dst. Sehingga untuk semua perbuatan baik kita, yang menyelamatkan diri sendiri dan orang banyak, sesungguhnya hanya Allah saja penyebabnya. Dia saja yang bergerak. Sementara untuk segala ucapan dan perbuatan dosa, Allah juga yang berkalimat di situ, bahwa sesuatu yang hina harus dihinakan. Dan yang melanggar kebenaran dan kemuliaanya, begini dan begitu, akan mendapatkan balasan yang setimpal demi keadilannya.

Ya, jika dengan alam raya saja kita begitu dekat tak bisa lepas, bagaimana mungkin kita mengingkari kebersamaan hidup dengan sesama manusia di jalan lurus? Kita tentu mewajibkan diri hidup berjamaah. Saling menyelamatkan dan tolong-menolong. Minimal keberadaan kita bukan gangguan bagi siapapun. Justru dengan keimaman yang teguh, kita menjadi rahmat bagi semesta alam. Subhanallah.

Kemayoran, 06122018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG