NGOMEN SOAL NGAKU-NGAKU KARYA

TARIAN KUAS

seribu anak-anak di pekarangan rumah
ayo kita dukung sukacitanya
setelah menggambar komik
memukulkan kuas pada kentongan
biar semarak warnanya
terbang harum kemana-mana
bersama bunyi nyaringnya
ayo kita lari-lari. Terus lari memutar
pukulkan lagi kuas pada pagar
sontak 1200 warna lahir dari rahimnya
menyanyilah syalala
syalala lala lala lala
melompat! melompat!
pukulkan kuas pada lantai
ooo, lautan bergolak tujuh kedalaman
ooo, warna-warna mendalam,
siapa memulai kelahiran sebelum pulang?
penerimaan dan penyerahan?
musik riang memintal angin
keceriaan menyampaikan pesan
seribu anak di pekarangan rumah
menyambut matahari minggu pagi
yang mengucurkan warna-warna
tumpah-ruah
berkah angkasa
tadahi dengan batu-batu berakar kali
melukis bunga dan daun pada batu
biar sampai terus tumbuh
lalu bila gerimis dan angin 
minggu gembira kita habisi saja
dengan cinta di atas kertas dan kanvas

Kemayoran, Jumat, 21 12 2018
------- 

Menarik, malam ini, 20122018 saya baru komen di akun FB Deni Irwansyah, soal tidak bolehnya mengaku-ngaku. Begini:

"Ya. Mungkin maksudnya mengaku-aku karya. Beda dengan plagiat. Melainkan menganggap suatu karya orang lain sebagai karya kita. Terkecuali pada tataran ilmu tinggi yang mengangkat orang lain. Semisal saya mengakui, ketika Nabi SAW muda mengangkat hajar aswad dulu, itu yang melakukan benar-benar saya. Di sini saya mengangkat Nabi SAW alias bersholawat untuk kerasulannya. Bukan justru menjatuhkan atau meniadakan Nabi SAW sebagai pelaku utama. Pun demikian, kalau kita bersedekah kepada anak-anak yatim hari ini, maka sesungguhnya yang melakukan itu adalah dia, Rosulullah SAW. Itulah umur panjang Nabi SAW sampai akhir jaman. Sampai ke TITIK KELAK, pertemuan yang dijanjikan".

Deni Irwansyah pun menjawab, "Mantap". Lalu mengajukan persoalan dalam proses kreatif, "Bagaimana jika kasusnya seperti ini Bang. Misalnya, seseorang meminta saya menggambar atau melukis pemandangan, contohnya pantai, baru 90% dia meminta  gambar atau lukisan itu, lalu dipoles sedikit sama dia, setelah selesai dia tandatangani atas nama dia, dan memamerkan kepada publik bahwa itu adalah karyanya, tanpa sepatah kata bahasa dan etika kepada saya...nah gimana bang?"

Sayapun menjawab, "Gak boleh, Kang Deni. Yang dimaklum itu seperti pengalaman saya. Waktu anak didik saya di Sanggar Gambar Minggu Anak Berwarna menggambar, saya sengaja 'gangguin', tapi dia malah suka. Saya arahin begini dan begitu. Nambahin coretan dan cara dia memberi warna. Nah, setelah selesai dia bilang kepada siapa-siapa, "Ini karya saya, tapi dapat arahan dari Pak Gilang". Itu boleh. Sangat jelas, jentre, dia yang punya tema, punya niat, punya tujuan, punya cara-cara, yang berproses kreatif, dan punya gambar. Itulah gunanya Komunitas Seni. Menyadarkan, mengangkat, dan mencerdaskan".

Tulisan komentar saya itu dikomentari oleh Syam S. Tanoe, "Menarik dibaca. Salam, Pak".

Sementara Orang Buku, Didin Tulus mengritisi kebanyakan komen status yang cenderung membuatnya malas untuk mengomentari. Dia menulis, "Yang saya temukan di tulisan kawan-kawan di FB berbeda dengan tulisan ulasan, kritikan di jurnal, atau di buku misalnya. Perlu pemikiran. Kadangkala saya baca kritikan semacam sinis-sinis di FB itu banyak. Kadang malas saya komennya".

Saya tidak menyalahkannya. Di FB, bahkan hoak pun menjamur. Maka saya menjawab, "Ya, Kang Didin Tulus. Kecuali kita berlepas dari kebanyakan isi status. Misalnya semacam menjawab pertanyaan umum, universal, "Bolehkah mengaku-ngaku karya orang lain?" Di situ ruang pemberhentiannya. Jawabannyapun akan bersifat umum. Pun sembarang contohnya".

Didin Tulus berkomentar lagi, "Iya, kalau pertanyaanya jelas tentu akan dijawab tidak boleh. Tp ada kecualinya juga. Misal karya yang sudah jadi milik masyarakat. Contoh cerita legenda. Tanpa diketahui pengarangnya".

Saya tertarik soal cerita legenda yang sama yang ditulis oleh banyak penulis itu. Semua mengklaim cerita itu karyanya. Sayapun berkomentar, "Ya. Beda penulis beda isi tulisannya meskipun untuk kisah legenda yang sama. Ada juga yang mirip-mirip. Perbedaan terjadi karena referensi yang didapat penulis berbeda-beda. Apalagi kalau secara ekstrinsik masuk kekuatan beropini, menyampaikan pesan hikmah tertentu, dan menambahi 'sensasi kreatif'. Untuk 'menari ularkan' kisah legenda itu. Ditambahi dan dikurangi. Pakemnya ada pada kesimpulan utama secara menyeluruh. Ya. Itu karya penulis masing-masing, meskipun judulnya sama, mirip, atau beda. Misalnya tema Sangkuriang".

Lalu Didin Tulus menyampaikan ketertarikannya pada ulasan Ajib Rosidi soal mengaku-mengaku karya itu, "Di buku Ajip Rosidi banyak tulisan kritik soal seperti di atas. Ngaku-ngaku karya orang seperti Si Kabayan. Banyaklah ulasan Ajip soal dunia karya. Penting dibaca ditelaah. Supaya jelas arahnya".

Sayapun mengakhiri diskusi singkat di halamam situs sosial Facebook itu dengan komentar, "Ya. Mudah-mudahan banyak yang terus tertarik pada ulasan Ajip Rosidi itu. Dalam proses kreatif, pengrajin keramik atau gerabah juga sudah biasa berproses kreatif secara unik. Bayangkan. Dia membuat segala rencana, contoh karya, dan arahan-arahan. Karyawannya banyak. Tetapi ujung-ujungnya dia yang akan disebut sebagai pengrajin dari semuanya itu. Memang begitu. Itu mengaku-ngaku yang halal. Bukankah Walt Disney pun bisa melakukan itu?".

Saya tiba-tiba teringat keisengan positif saya yang kreatif. Suatu ketika pakai laptop saya bikin video animasi, kucing hitam yang sedang menari. Itu 100% orisinil gagasan saya. Blum pernah nonton atau baca ulasannya di manapun. Tetapi ketika akan diunggah ke Youtube ternyata gak bisa-bisa. Malah muncul keterangan, itu  karya orang  lain. Saya langsung ngambek bin ngadat. Pingin nonjok layar komputer. Merasa 100% gak ngerti karya siapa, yang mana? Sampai saya bilang ke youtube pake mulut, masabodoh gak ada yang dengar, "He, kutunggu kau berubah fikiran bertobat". Haha! Anehnya tak lama berselang setelah saya bikin video kartun, petani menari, ternyata youtube mau mengunggahnya.  Waduh-waduh!

Terakhir saya akan masuk ke dalam catatan tinggi karena tulisan ini juga diawali dengan yang demikian. Suatu ketika Rosulullah memerintahkan khodamnya untuk mengikatkan perbekalan pada ontanya, maka sesungguhnya yang mengikat itu adalah Rosul sendiri. Kalau ikatan itu kurang kuat dan berpeluang jatuh, ia boleh protes kepada khodamnya, sebagai protes pada dirinya sendiri. Kecuali jika khodamnya berniat jahat, maka dia sudah berkhianat. Ya, seperti seorang ibu menyuruh anaknya belanja, maka sesungguhnya ibunyalah yang belanja. Maka jika suatu ketika Sunan Kalijaga memesan suatu lukisan ukuran sekian kali sekian, di atas media tertentu, bertema tertentu, dengan pewarnaan begini begitu yang semuanya mengisyaratkan pesan-pesan besar Kanjeng Sunan, maka jika ada seseorang menawarkan diri atau sanggup diperintah, maka setelah karya itu jadi, itu sah karya Sunan Kalijaga sepenuhnya yang dibantu oleh seseorang. Tetapi perlu diingat, jika prinsip ini ditarik ke dunia jahat, kriminal, maka yang disuruh dan yang menyuruh harus dihukum atau dipenjarakan. 

Kemayoran, 20 12 2018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG