PENYAIR JUMAT

TARIAN SYAIR PENYAIR

langit dan bumi persegi empat
penyair dalam rumahnya
tubuh singkong dalam tanah 
matanya garuda angkasa
ditepuk-tepuk kedua pahanya
berirama apa saja
bersaksi apa saja
mengabarkan apa saja
menyadarkan apa saja 
membangkitkan apa saja
telanjangnya bergerak hati
kadang tenang, sangat tenang
kadang riuh, liar dan terbakar
dari mulutnya kata-kata lepas
dari jemarinya kalimat-kalimat
menguasai seluruh alamat
beranjak ke atas kotak merah, 
kotak putih, kotak kuning, kotak hijau,
dan semuanya
suara-suara dari pahanya 
terus menuntut kekuatan 
melecut dirinya 
bahkan malaikat menambahi kerasnya
hingga cemeti langit halilintar 
telinganya tajam merekam
tragedi sawah ladang
runtuhnya kota-kota
bahkan kuburan yang hancur 
dan mesjid yang dicuri kiblatnya

Kemayoran, Jumat, 21 12 2018
------

Kalau kita bicara manusia Jumat, tentu yang dimaksud adalah manusia yang hidupnya dijiwai oleh pemahaman atas nilai-nilai Jumat-nya. Pun kalau kita menyebut penyair Jumat, maka otomatis yang kita maksud adalah penyair yang ngerti garis Jumat, lahir batin pada dirinya, yang rahmatan lil alamin itu.

Manusia Jumat, termasuk penyair Jumat, tentu orang yang sangat atau minimal selalu berusaha untuk amanah atas jalan lurus yang ditempuhnya. Tak tergoyahkan meskipun penuh hambatan, tantangan, rintangan dan gangguan.

Memang ada seloroh masyarakat. Kalau ada karyawan yang punya kebiasaan buruk, suka gak masuk kerja di hari Jumat disebut manusia Jumat. Atau kalau ada seniman yang manggung atau on air-nya tiap hari Jumat disebut seniman Jumat. Tapi itu soal lain. Cuma guyon belaka. Yang lebih enak tentu, setiap muslim dijuluki insan Jumat. 

Yang kita maksud dalam tulisan Renungan Jumat kali ini adalah manusia yang memahami hikmah dan kebijaksanaan Jumat bagi kehidupan manusia yang lapang, selamat dan sejahtera.

Sesungguhnya seluruh muslim yang kafah mestilah manusia Jumat. Sebab, ibarat sudah bersatu tubuh, seorang muslim dan garis hidupnya tidak mungkin bisa dipisahkan. Sementara dalam paradigma Jumat, garis hidup setiap pribadi adalah nilai-nilai Jumat itu. Yang memahami bahwa dirinya adalah individu mahluk sosial, yang harus saling mengamankan dan menyenangkan satu sama lain dalam kemuliaan. Bergotong-royong. Minimal keberadaannya tidak pernah merugikan, apalagi berbahaya bagi orang lain.

Ini menyadarkan kita pada tiga ruang diri dan tiga ruang sosial. Tiga ruang diri itu adalah, kecenderungan hati, ucapan dan perbuatan. Meskipun adanya pada diri pribadi tetapi konteksnya pasti pada tata hidup manusia dan kemanusiaannya. Mau tidak mau memang sudah begitu. Adapun tiga ruang sosial itu adalah, berdoa untuk kehidupan masyarakat kita agar selalu dalam lindungan Allah, saling bernasehat baik secara lisan maupun perbuatan, dan ketiga, secara sistematis mendorong secara konsisten agar bangunan sosial ataupun bangunan kebangsaan yang ada selalu bisa bekerja untuk keselamatan bersama.

Oleh karena itu Islam yang agung menyadarkan. Seorang pribadi dengan segenap hal kekhususannya. Termasuk dalam hal selera dan urusan pribadi lainnya, tidak boleh menyiksa dirinya sendiri. Tidak boleh membuatnya tersesat. Sebab menyiksa diri itu berarti menyiksa manusia. Manusia dalam pemahaman yang universal. Lebih lanjut Islam menyebut dengan tegas dan jelas dalam syariatnya, siapa saja yang mati bunuh diri, maka dia telah membunuh manusia. Dalam kontek ajaran, setiap pribadi punya kewajiban membawa ajaran kemanusiaan. Subhanallah.

Begitulah manusia Jumat. Maka ketika ada suara-suara atau kalimat-kalimat kebaikan dari manusia Jumat atau penyair Jumat, kita haram mencelanya, menantangnya dengan terbiasa berkalimat, "Kamu sok suci. Sebab di dunia ini tak ada manusia sempurna!"

Janganlah di depan puisi-puisi mulia dalam sibgoh tauhid, kita malah memaki penyair ---yang pada hakekatnya memaki Allah---- dengan kalimatnya, "Puisi-puisinya sok suci. Sok Nabi!" Sebab amarah hanya boleh ditujukan kepada pihak kafir dan murtad, terlebih-lebih yang menyerang, menghina, dan menyudutkan kita.

Kalimat 'janganlah' itu, sekaligus menjadi cambuk bagi penyair yang istikomah di jalan lurus, meskipun berbeda-beda sikap hidupnya antara yang satu dengan yang lain, untuk senantiasa berkecenderungan hati, berkalimat, dan berbuat yang melambangkan pribadi Jumat. Harus mencerahkan bukan menyempitkan. Harus melegakan bukan menyesakkan. Harus menyelesaikan bukan menyengsarakan, apalagi membinasakan.

Ya. Sebenarnya kita sudah membicarakan sejatinya manusia dan sejatinya penyair.

Karena di dalam Al Qur'an telah ditegaskan agar manusia berhati-hati dengan para penyair yang cuma bermain kata-kata dan menyesatkan, itu sesungguhnya mengandung dua kekuatan. Pertama, Allah telah mengunggulkan penyair-penyair pilihannya. Disebut secara langsung dalam kalimat sucinya. Kedua, Allah sangat melaknat manusia-manusia yang berlagak penyair, yang sesungguhnya sedang menggiring manusia-msnusia ke neraka jahanam.

Tentu yang dimaksud menggiring ke neraka jahanam bukan karena seseorang penyair, pria atau wanita, meneriakkan atau melantunkan syairnya yang 'sindir sana sindir sini' sambil sedikit bergoyang eksotik ala penyanyi dangdut. Bukan pula karena dalam wacana-wacananya terdapat beberapa atau banyak perbedaan yang sesungguhnya rahmat Allah itu. Termasuk ketika ditemui pada kover buku antologi puisinya ternyata terdapat ilustrasi siluet seorang wanita yang tidak memakai jilbab. Tentu bukan begitu cara mengukurnya.

Saya pernah menjalani ritual pribadi berkaitan dengan sholat Jumat itu yang terasa sekali konteknya sosial. Ternyata kita selalu dipukuli waktu untuk tidak boleh sombong. Saya pernah tiga kali di waktu berbeda menjalankan safari sholat Jumat di 40 mesjid berbeda. Berarti mencapai 120 mesjid berbeda. Di Purwakarta dan di Sukabumi. Tetapi saya tidak pernah menyuruh apalagi memaksa siapapun untuk mengikutinya. Sebab bagi saya, itu kenikmatan sholat di satu sisi, di sisi lain merupakan kenikmatan membaca aura sosial yang berbeda-beda di setiap lingkungan masyarakat. Dan tambahannya, menikmati suasana gerbang mesjid yang asri serta merasakan kuliner yang ada di sekitar situ. Sehingga saya bilang untuk menambah suasana wisata reliji, setiap gerbang mesjid yang representatif semestinya diibuat sangat khas dan indah. Apalagi yang posisinya di kanan kiri jalan utama.

Kenapa saya tidak menyuruh siapapun untuk melakukan safari Jumat seperti saya? Pertama, selain itu akan terjadi secara khas pada kesadaran dan kesukacitaan seseorang, kedua, sesungguhnya manusia Jumat tidak diukur dari yang model begitu, meskipun anak saya pada saat mendengar kabar itu bisa menyebut saya manusia Jumat. Sebab yang utama adalah keberhasilan ngaji Jumat-nya yang terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Tapi berkaitan kebiasaan safari Jumat itu, beberapa hari lalu saya sempat ngambek ketika Presiden Jokowi dikritik begini di media sosial oleh pihak tertentu, "Katanya presiden Jokowi punya kebiasaan puasa Senin-Kemis, kok hari Senin ketahuan makan di warung?" Tiba-tiba saya jadi teringat pengertianan dan teori kebiasaan itu. Kebiasaan memang perbuatan yang sudah lazim dilakukan seseorang, tetapi bisa punya kurun waktu tertentu. Saya juga punya kebiasaan puasa Senin-Kemis seperti Jokowi, bahkan puasa Daud seperti Amin Rais, tetapi biasanya berlangsung sekian lama lalu berhenti dulu. Suatu saat nanti bisa lanjut lagi. Pun soal safari 40 mesjid Jumat itu. Itu kebiasaan juga. Tetapi kok baru saya lakukan 3 kali? Anak saya atau siapa saja yang tahu pada saat itu bisa menjawab, "Papa saya kalo hari Jumat biasanya safari Jumat ke mesjid-mesjid". Memang begitulah kebiasaan. Tetapi ada juga kebiasaan yang permanen, misalnya setiap ada yang gatel di kulit pasti digaruk. Nah, berkaitan dengan prinsip Jumat, bagaimana supaya nilai-nilai Jumat-nya jadi permanen? Tentu kita harus paham betul, apa kandungan ajaran sholat Jumat? Seperti halnya kita pun mesti paham, apa kandungan dalam ajaran puasa Daud atau puasa Senin-Kemis itu?

Selamat hari Jumat, Bro.

Kemayoran, Jumat, 21 12 2018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG