TAMAN DILAN DI BANDUNG?

CINTA

tiba-tiba putih-abu
kita malu-malu
bicara cinta

Kemayoran 2010-2018
Puisi Pendek Indonesia
------

Bentuk penghargaan terhadap apresiasi masyarakat penonton film Dilan yang ditunjukkan dengan angka penonton yang fantastis untuk ukuran film Indonesia, telah membuat rencana pembuatan Taman Dilan di Bandung. Konon itu film Bandung terlaris sepanjang sejarah.

Sesungguhnya saya punya pendapat yang tidak populer. Untuk membuat taman permanen seperti itu tidak terlalu mendesak. Secara edukatif figur Dilan juga baru sebatas muncul sebagai fenomena, bukan tokoh inspiratif. Tentu lebih inspiratif pihak pembuat filmnya dalam hal kemampuan bikin film yang pendekatannya serba diterima. Baik dari tema, karakter tokoh, maupun suasana film yang dibangun. Merebut dua dunia sekaligus. Kenangan bagi yang pernah SMA dan membangkitkan gairah penonton remaja jaman now.

Tapi oke. Sebagai sebuah sensasi kreatif itu suatu kebijakan yang normal. Bagian dari pencitraan yang populer di satu sisi, dan niat yang populer bagi peminatnya di sisi yang lain. Ada pertemuan hati pemerintah daerah Jawa Barat (gubernur) dengan setidaknya tidak sedikit masyarakatnya. Bahkan yang mengritisi pun tidak sedang marah besar. Seakan cuma bilang, "Yang gitu-gituan gak penting".

Memang ada yang sedikit mendalam amatannya, yaitu mengenai perencanaan yang semestinya dimatangkan dulu. Supaya jelas arahnya, posisi dibutuhkannya, tidak kontroversial, dan menjadi kebanggaan bersama ---kalau memungkinkan, setelah proses sosialisasi perencanaan itu dirasa cukup. Tetapi lagi-lagi, momentum menjadi dalil yang dianggap seimbang. Bukankah untuk sesuatu yang viral dan menggembirakan sudah otomatis memiliki daya sosialisasi yang dasyat dalam waktu yang tidak lama?

Saya coba tengok analoginya. Jika suatu waktu PERSIB BANDUNG jadi juara nasional, maka pemerintah kota Bandung atau Jawa Barat boleh merasa terinspirasi, tentu atas dukungan besar masyarakat, untuk merubah suatu perempatan atau pertigaan kota yang strategis, memiliki patung pemain bola Persib lengkap dengan konsep taman di sekitarnya. Bahkan diharapkan ini bisa menjadi monumen yang berumur panjang. Kalau perlu kelak masuk pada poin PERDA, cagar budaya yang mesti dilestarikan.

Tapi, ya, soal Dilan memang lebih eklusif dari analogi yang saya kedepankan. Ijinkan saya bernostalgia sedikit. Di tahun 90-91 saya adalah remaja berseragam putih abu. Agak diidolakan oleh beberapa teman karena saya penulis cerpen satu-satunya di SMA saya yang suka dimuat koran mingguan. Saya pun pembaca buku yang rajin, termasuk sesekali membaca Lupus novel pop remaja yang aromanya tak jauh dari tema Dilan, yang lebih menonjol sisi humornya. Tetapi ketika ada acara bedah buku perkelompok di SMA, saya yang ditunggu-tunggu bakal membedah buku apa, justru muncul dengan buku Jalan Tak Ada Ujung.  Padahal menurut sebagian teman-teman, sebagai penulis cerpen pop di koran semestinya saja ngebahas novel Lupus dan yang sejenisnya.

Saat itu saya bilang, toh saya masih bisa vokal ketika ada kelompok lain yang membedah buku Lupus. Sebab saya tidak bisa menanggalkan ketertarikan saya pada jenis di luar Luspus, justru di 'kampung' Lupus. Sebab pada saatnya kita bisa menjadi koma atau tanda petik yang mendatangkan kenangan, karena sesuatu yang perlu direnungkan di tengah-tengah momentum popularitas hal tertentu. Di tengah sesuatu yang tiba-tiba viral.

Akhirnya saya bisa bilang, tema Lupus atau Dilan  sesungguhnya hal atau persoalan yang biasa-biasa saja. Bahkan secara pesan sosial masih longgar untuk diperdebatkan. Tetapi seperti alasan saya di awal, gubernur punya ruang untuk memahami dukungan masyarakatnya yang antusias meskipun tidak seluruhnya antusias.

Saya malah tiba-tiba ketawa ngakak kalau momen Dilan menjadi buah bibir masyarakat, menjadi akronim dari "DILANjutkan" dua periode.

Dan kalau ada yang tiba-tiba mrengut bin baeud karena paragraf akronim itu, saya cuma bisa ngobatin gini, "Tenang Bro, tokoh Dilan itu ---terlepas dari jalan ceritanya, sebab lebih unik karena nostalgia SMA-nya, sesungguhnya Gilang. Tadinya ditulis Gilan, tetapi pengucapannya gak enak. Akhirnya dipilihlah nama Dilan. Semoga penulis naskahnya protes, haha, pasti lebih seru, dan kita tetap waras".

Kemayoran, 26 Februari 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG