DARI SUATU SAMPAI PROSES YANG TIDAK FATAL

SUATU

suatu
itu
aku membeli
waktu

Kemayoran, 01 06 2019
NALIKAN, puisi pendek 3-2-5-2
-----

Alhamdulillah, benar-benar Ramadan yang penuh berkah. Setelah saya belum bisa memastikan akan menulis puisi pendek yang berpola 3-2-5-2 suku kata itu, akhirnya Allah jua yang memungkinkan saya untuk menulis Nalikan kedua. Ini benar-benar menakjubkan bagi proses kreatif saya. Ketika saya dihajar waktu, diperangkap mesra oleh puasa yang melulu isinya keluasan cinta, lalu diberi kuasa oleh Allah untuk menulisnya.

Tentu, proses kreatif berpuisi saya beragam. Bahkan ketika suatu waktu pernah ikut momen tantangan menulis 100 puisi dalam 100 hari, saya merasa itu tidak cuma tantangan, atau semodel kerja pabrikan dengan target minimal setiap hari, melainkan menjadi pernyataan diri, setiap hari saya memang puisi. Sehingga tidak ada puisi yang lahir terpaksa dan prematur di situ. Bedanya, pada waktu lain setiap inspirasi tidak harus jadi tulisan. Cukup mengendap, ditabung menjadi kekuatan yang pada waktunya bisa meledak, diledakkan, atau dialirkan dan dirembeskan. 

Kalaupun mau sedikit yang beraroma perdebatan lama yang sudah lama pula diterima dan disahkan, adalah ketika ada kesan 'puisi pesanan'. Setidaknya melalui target satu puisi sehari itu. Meskipun kali ini temanya bebas, sedangkan pada puisi pesanan, biasanya, temanya sangat mengikat. Tapi tidak masalah, penyair punya hak, bukan sekadar hak bersikap, tetapi punya hak proses kreatif untuk menolak menerima suatu pesanan, atau bahkan menerimanya dengan sangat antusias. Dan jika ia menerima, itu dengan rumus jitu, dia memang punya potensi, kekuatan dan kelayakan untuk tema itu, dan memang sudah waktunya dilahirkan. Ia tidak sekadar berempati kepada pihak pemesan, sebut saja sebagai contoh, kepada Panitia dari Dinas Lingkungan Hidup yang meminta kita membaca puisi dengan tema tertentu, lalu kita membuatnya. Tetapi jauh sangat maju dari itu, ia merasa telah bertepatan waktu dengan pihak pemesan untuk melahirkan puisi itu. Dan dalam perjalanan hidup saya peristiwa itu beberapa kali terjadi. Meskipun tidak terdokumentasikan dengan baik. Apalagi saya hidup pindah-pindah tempat. Banyak yang tercecer, bahkan ada yang terurug puing-puing ketika kantor saya direnovasi total. Termasuk kliping-kliing koran karya saya dan tulisan koran tentang saya. Maklum, lupa menyelamatkan.

Saya tahu tulisan koran saya gak banyak. Orang-orang ada yang bilang, sangat kurang produktif di koran, meskipun konsisten di tempat lain. Dan itu bukan hukuman. Bukan juga pengusiran.

Oke. Kembali ke rasa sukacita saya. Selain tetap rutin berkarya melahirkan puisi-puisi lain, terutama puisi pendek, akhirnya Nalikan yang kedua berhasil saya buat. Dengan rentang waktu yang cukup lama, sebab Nalikan pertama saya tulis tahun 2015. Berikut ini Nalikan pertama saya 4 tahun lalu:

NALIKO

kulempar (3)
sauh (2)
dari dunia (5)
tumbuh (2)

Kemayoran, 31 10 2015
---

Meskpun yang saya tulis adalah Nalikan, tetapi secara umum saat ini saya sedang berkubang dalam romantisme cinta tanah air. Terlebih-lebih pasca Pemilu Presiden di tengah Ramadan yang riuhnya menguras enerji, hari di saat saya menulis tulisan ini adalah suasana libur 1 Juni, kelahiran Pancasila.

Selama dua tahun terakhir puisi-puisi saya banyak bernuansa kehidupan berbangsa, baik dalam bentuk puisi panjang maupun puisi pendek. Ada juga yang sudah menjadi buku dan diterbitkan. Yang berbentuk puisi-puisi pendek 12 baris telah melahirkan buku, JALAK, Jakarta Dalam Karung. Sedangkan yang berupa puisi-puisi panjang saya terbitkan dalam buku TAGAR, Tarian Gapura.

Romantisme saya itu selain diwarnai banyak sukacita tentu berhadapan juga dengan kedukaan-kedukaan. Kesadaran dan kesaksian yang kita kerap sayangkan. Demi keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan bangsa ini.

Sambil menulis saya juga tengok sana tengok sini membaca puisi-puisi orang banyak, siapa saja. Penyair atau bukan, itu tidak penting. Apalagi di media sosial, orang pacaran saja bersajak-sajak. Dan ada yang saya baca juga.

Salahsatu puisi pendek yang di akhir Ramadan ini saya baca dari grup Puisi Pendek Indonesia yang saya buat adalah puisi berjudul MELANJUTKAN KELEMAHAN karya Ayie S. Bukhari:

MELANJUTKAN KELEMAHAN

Menipis sudah kalender itu
tanggal satu persatu meremas tubuh
Diruang tunggu kursi bergoyang angin menembus selimut

Bandung, 28 Mei 2019
Karya Ayie S. Bukhari, di grup Puisi Pendek Indonesia (#PuisiPendekIndonesia)
-----

Bagi saya, dalam riuhnya suhu politik yang terus menanjak naik sejak tahun lalu, puisi serupa ini adalah ruang lain, ruang tunggu yang menunggu. Subhanallah, saya menikmatinya.

Lalu saya teringat sesuatu. Ya ya ya. Belakangan ini, sudah beberapa tahun terakhir, mungkin mencapai 10 tahunan. Banyak penyair menulis puisi ---atau sebut juga mendokumentasikan puisi, di berbagai grup puisi di media sosial. Apa untung ruginya?

Tentu dia beruntung, karena statusnya sebagai penyair tidak bergeming. Ini penting! Apalagi puisi dan kepenyairan itu tidak melulu soal honor, sebab dia bisa digaji dan beruang dari pintu sebelah kanan puisi. Waktu saya baca puisi bencana tsunami Aceh di radio dulu, misalnya, yang direkam dan diputar setiap hari selama satu bulan. Ketika itu larik-larik air mata saya bukan karena uang. Dan di belakang hari saya bersyukur dan bangga bukan main.

Pun puisi-puisi para penyair yang ada di grup-grup itu. Itu pendokumentasian sekaligus sosialisasi yang normal. Meskipun ada sedikit ruginya, tetapi saya sebut bukan kerugian yang fatal. Di mana ruginya? Gini. Dari dulu para penyair itu biasa berproses kreatif setiap hari. Melahirkan puisi kapan saja. Sampai-sampai penyair mengenal istilah, "stok puisi di laci meja saya". Dari stok itu lalu muncul secara teratur mengikuti prosedur semaunya penyair, puisi-puisi yang dipublikadikan dalam berbagai bentuk. Ada yang dimuat koran dan majalah, diterbitkan berbentuk buku baik antologi sendiri atau antologi bersama, ada yang ditulis di website tertentu, ada yang dinaikkan ke atas panggung untuk momen tertentu, dll, termasuk yang dikantongi saat wawancara TV untuk dibaca depan kamera.

Sudah jelas kan? Posisi grup puisi di media sosial saat ini bagi penyair-penyair tertentu justru ruang pendokumentasian karya yang fungsinya sama persis dengan laci meja kreatifnya di rumah. Atau hampir sama dengan isi laptopnya. Sebab dari ruang sosialisasi grup-grup itu lalu terjadi proses pemilahan ketika ada puisi-puisinya yang akan diterbitkan dalam bentuk buku.

Akibatnya, banyak puisi-puisi karya penyair di grup media sosial yang lebih menunjukkan ekspresi bebas penyairnya. Bahkan tidak mustahil ada puisi spontan yang dibuatnya setelah beberapa menit ia melihat keluar kaca kereta lalu terinspirasi sesuatu. Sangat-sangat spontan. Bentuknya pun liar, macam-macam. Bisa model apa saja. Bahasa yang digunakannya pun tanpa pantangan. Mulai dari yang paling lugas, sampai yang absurd atau gelap. Dimasabodohkan dari kemungkinan kelak ada yang akan diralat, demi menemui kenikmatan baru.

Pendeknya, sesungguhnya para penyair itu orang yang sangat ekspresif dalam berbahasa. Bebas-bebas saja. Tidak ada salah fatal dari itu. Apalagi para penyair juga telah menabung persyaratan lain untuk sukses kerjanya. 'Rahasia'. 

Kemayoran, 01 06 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG