HAFAL, HAPAL, ATAU APAL

BASAH LANGIT RAMADAN SAMPAI KE RAMBUTMU

coba selalu bayangkan ada di Ramadan
hari ke tiga
hujan
bacaan-bacaan langitpun basah
sampai ke rambutmu

Kemayoran, 2018
-----

Kalau ada orang bisa melantunkan lagu Andai Kau Datang dari grup legendaris Koesplus yang sempat dinyanyikan ulang oleh Ruth Sahanaya dalam versi khasnya. Atau lagu Sepohon Kayu versi nasyid.  Atau meletupkan syair heroik-dramatik Chaiil Anwar yang berjudul Aku atau Diponegoro. Atau melafalkan doa-doa harian. Bahkan mampu mengilustrasikan bentuk lukisan Afandi dan Basuki. Atau model tari jaipong ala Gugum Gumbira. Maka masyarakat biasa menjulukinya, "Orang yang hafal", atau "Orang yang sempurna hafalannya".

Kata hafal atau hapal kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda atau Jawa akan menjadi 'apal'. Tetapi pada tulisan ini kita tidak akan mempersoalkan mana yang lebih dulu, apal versi Jawa dan Sunda atau hafal dan hapal versi Melayu dan bahasa Indonesia. Termasuk tidak akan jauh-jauh melihat asal katanya, apakah dari Arab atau bukan?

Tetapi dari kumparan masyarakat pemakai kata apal dan hafal itu akhirnya kita bisa membuat tiga ilutrasi. Ilustrasi pertama, tentang seseorang yang bisa menjelaskan titik peta suatu kota dan segala kedaannya di sana. Orang ini disebut 'orang hafal' pada tingkatan ini. Setidaknya malaikat pun telah mencatat tentang kesadarannya dalam berkesaksian yang demikian. Lengkap dengan pahala-pahalanya.

Kedua, orang yang selalin tahu titik peta dan keadaan kotanya, juga bisa menggambarkan rute untuk menujunya berikut jalan-jalan alternatifnya. Termasuk yang rahasia sekalipun. Ini berada pada tingkatan 'orang hafal' berikutnya. Meskipun kita tidak bisa memastikan bahwa cara orang ini ketika melintasi tingkat pertama sama persis dengan orang pertma. Sebab caranya bersaksi tentang kedaan kota itu ternyata tidak seumpama menghafal 5 sila dalam Pancasila. Maka otomatis bisa berbeda. Singkatnya, ada yang paham sila itu berurutan dari sila 1 sampai 5, ada juga yang sifatnya mengurai kesemuanya, saling berkaitan. Ini sekaligus jawaban, mengapa membicarkan Pancasila bisa dimulai dari manapun, termasuk dari kamusiaan yang adil dan beradab atau persatuan Indonesia, meskipun yang paling utama tetap saja ketuhanan yang maha esa?

Ketiga, ada orang yang sudah berada di suatu kota tertentu, atau pernah berada di suatu kota itu. Ia tahu cara-cara menujunya. Tahu suasana, manfaat-manfaat di sana, berikut cara-cara menikmati atau mensyukurinya. Tahu juga suka-duka menujunya. Sehingga ia dijuluki orang yang hafal atau orang apal. Maka orang ini berada pada maqom (makam) ketiga. Siapapun yang ingin tahu seperti dia harus menziarahi makamnya itu. Sampai di sini saya jadi teringat kisah Rumi yang suka dibicarakan orang, termasuk dalam celotehan media sosial, ketika Rumi mengatakan, "Selamat datang (padaku, siapapun dari manapun, dalam keyakinan bagaimanapun)". Spontan kita bisa menduga, siapa yang bisa sampai pada derajat suatu maqom tanpa berada pada level maqom itu? Betapapun dari keberangkatan yang beragam keadaannya.

Dari tiga ilustrasi tersebut, kita masih harus hati-hati atas kerja para penipu yang sangat membius-memukau kata-katanya. Seperti memakai dalil tingkat tinggi saja ketika mengatakan tahu ini dan itu, pernah ini dan itu, padahal diliputi kebohongan semata. Misalnya. Bahkan keberadaannya di kota itu bukan bersyukur melainkan menolak, melaknat dan mengutuki Allah. Bukan di jalan lurus melainkan di dalam kubangan ahli fitnah. Bukan menyelamatkan melainkan merusaknya. Bukan bentuk penerimaan melainkan ingkar sunah. Sebab dengan demikian ia merasa bisa mendapatkan kekuasaan dan kenikmatan, meskipun sesaat.

Ramadan pun harus kita baca dari parameter hafal ini. Sebab tak perlu berkhayal sampai melambung jauh, cukup menapaki jejak kearifan lokal dan kecerdaan sosial kita. Sehingga nikmat kebenaran dan kemuliaan itu terasa begitu dekat, bukan didatangkan dari alamat-alamat yang jauh. Spiriualitas Islam itu kita yang memohon dan menemukannya di tempat sendiri, bukan dipaksa pihak lain, atau dianggap sebagai ajaran impor yang cuma bisa nempel tidak lama.

Ketika ada seseorang telah berhasil menunaikan tugas dengan baik, mendatangkan manfaat-manfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain, meskipun berhadapan dengan cobaan-cobaan bahkan luka-luka, kita yang di kampung-kampung tentu biasa menyambutnya dengan kalimat, "Benar-benar hafal, dia". Artinya tidak cuma sanggup menyelesaikan sesuatu dengan mengemban amanah, tetapi juga bisa mencerahkan, setidaknya pada para pihak yang bersaksi atas sikap dan perbuatannya. Kalaupun tak ada yang menyaksikannya, Allah tentu maha saksi berikut para malaikatnya.

Dalam antologi puisi Sedekah Puisi (Penebar Media Pustaka, 2018) saya telah menulis satu sajak pendek dalam 9 Puisi Pendek Di Atas Tisu:

BASAH LANGIT RAMADAN SAMPAI KE RAMBUTMU

coba selalu bayangkan ada di Ramadan
hari ke tiga
hujan
bacaan-bacaan langitpun basah
sampai ke rambutmu
---

Meskipun saya bersengaja dengan suasana membayangkan, sebagai suatu bentuk kesukacitaan yang normal, hakekatnya kita justru sedang memasuki wilayah puisi yang realistis. Kesaksian yang jujur atas peristiwa-peristiwa, pengalaman dan penerimaan.

Jika Ramadan adalah suatu kota yang kita tuju dan harus kita diami, sudah sampai mana 'hafalan' kita?

Angka tiga bisa kita pinjam sebagai perlambang jalan atau jembatan, sebagai tarekat suci. Zikir 33. Sebagai ekpresi perbuatan, ihtiar yang sungguh-sungguh. Melintasi waktu yang selalu dibagi tiga, ketika kita bersukacita di sepertiga malam terakhir, atau di sepertiga Ramadan terakhir. Tetapi tidak ingkar pada kemuliaan awal malam dan awal Ramadan.

Sebagai basah hujan, kita adalah kalimat langit, yang basah mahkotanya.

Lalu sebagai cambuk, introspeksi yang tak pernah selesai, agar kemanusiaan kita tak senang berkubang dalam lahar dosa. Saya pungkas dengan puisi dari antologi yang sama:

BAGAIMANA SAMPAI RAMADAN

bagaimana Ramadan sampai hari ke tujuh
kalau tubuhmu tak menemui hujan
di situ?
---

Kemayoran, 15 05 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG