PUISI SATU: KEBANGKITAN

MENYUDAHI TERIK

aku menepuk bahu langit
dengan takbir dan bismillah
malaikat mengeluarkan kuda putih berkilau
berasap api
besar dan pekasa
kutunggangi ia
memecahkan sial dunia
mengeliligi bumi dan tata surya
meringkik tak selesai-selesi
di pinggang pedang masa depan
dari tangan melesat tombak masa silam
dan aku perwira di tujuhpuluh bendera

Kemayoran, 09 10 2018
JALAK (Jakarta Dalam Karung, JM-Bandung, 2028)
------

Selamat hari kebangkitan nasional 2019!

Puisi Menyudahi Terik adalah puisi pertama saya dalam antologi Jalak. Puisi yang lahir dalam suasana 'masyarakat pening' oleh gejolak pemilu yang sering memunculkan wacana-wacana hoak dan tidak masuk akal. Sekaligus puisi yang lahir dalam suasana tantangan hidup kekinian yang membutuhkan kesaktian dari para pengaji nilai-nilai tinggi yang cair dan rahmatan lil alamin.

Karena judul buku, Jalak adalah akronim dari Jakarta Dalam Karung, aura keberangkatan tema puisi ini juga masih berhimpitan dengan kisah pencerahan dari Jakarta. Tentu universal.

Dalam penampilan teaterikal modern, kita tidak canggung untuk memunculkan tokoh berjilbab cantik tetapi bertanduk tajam dan bergigi taring yang juga tajam, bahkan berdarah. Apakah perlambang jahat. Tidak stereotype begitu, sangat tergantung tema yang diusung. Menjadi seperti makin absurd memang, tetapi tidak bagi masyarakat maju, masyarakat yang jeli karena terdidik sensitiftasnya oleh pengalaman. Ketika apresiasinya semakin baik.

Perlambang itu bisa mendeskripsikan bahwa keadilan akan bekerja dengan tegas, bahkan keras, dari seseorang wanita cantik dan lembut yang berjilbab. Atau dari eksistensi dan bentuk suatu kelembutan apapun. Dia bahkan bisa membunuh dengan menggunakan dalil dan hukum yang adil. Kalau di Indonesia tentu melalui proses pengadilan.

Masih ingat cara saya mengajar anak-anak SD bikin monster? Yang sudah baca catatan tentang itu di cannadrama.blogspot.com tentu sudah mafhum. Bahwa saya bisa menggambar monster raksasa apa saja yang terinsppirasi dari apa saja. Ada monster kaos kaki, monster asap hitam, monster kaleng, monster sendal jepit, monster batu, monster plastik terbang, dll. Termasuk yang berbentuk seperti gumpalan besar yang bermata tajam dan bertaring, kuku-kuku tangan dan kakinya panjang-panjang. Tetapi tidak cuma itu senjatanya. Dia justru bisa membuat pingsan masyarakat dan bahkan membunuhnya dengan menggunakan cairan berbau yang melumuri tubuhnya yang hitam legam. Semakin banyak cairan kotor itu keluar dari pori-porinya, maka semakin baulah lingkungan di sekililingnya. Dan tahukah anda, hanya ada satu cara mengalahkannya? Dengan menyemprotkan cairan bunga dari botol kecil milik seorang gadis berambut panjang. Kalau cerita fiksi macam ini akan dibuat serial, maka setelah mahluk ini menghilang, pada waktu lain bisa muncul lagi. Setidaknya di setiap edisi penerbitan nomor baru. Pendeknya, fiksi ini tentang kelembutan yang tak terkira menjadi sang penakluk monster bengis, kasar dan bau.

Kembali ke soal tema puisi Menyudahi Terik. Mengingatkan kita pada kisah Ondel-Ondel yang oleh sebagian masyarakat Jakarta (Betawi) disebutkan bahwa pada jaman dahulu Ondel-Ondel yang sekarang halus, lucu dan cantik serta ganteng itu bertaring bahkan berdarah. Apa pasal? Sebab seperti pada gadis cantik berambut panjang sang penakluk itu, Ondel-Ondel bertaring berdarah-darah adalah perubahan wujud dari kelembutan dan kemulusannya, ketika marah besar dan menegakkan keadilan. Menjadi nampak super keras dan bengis. Ini mengingatkan juga pada tokoh wayang yang legendaris, Sri Kresna. Ia pun bisa berubah wujud dari kehalusannya. 

Dalam tafsir lain, ketika Ondel-Ondel masih diarak dalam rupa seram dan bertaring, mengandung pesan, "Sedekah mulia itu bisa mengusir gangguan ruh jahat, menyelamatkan sang penderma dan Ondel-Ondel dan anak-cucunya". Sebab seperti dalam lagu lucu Benyamin Suaeb, Ondel-Ondel itu tidak cuma sepasang, sebab mereka kawin dan punya anak. Kalau kawin sejenis dan gak punya anak, itu bukan keluarga Betawi.

Maka di tengah suasana gaduh politik yang banyak tidak sehatnya, meskipun masih beruntung ditunjang oleh sistem yang masih bisa menenangkan, di tengah kesejahteraan yang masih jauh dari baik, serta di tengah persoalan-persoaan sosial yang kita takutkan bakal ditumbuhi kelemahan-kelenahan di satu sisi dan oleh kekerasan sikap yang ceroboh si sisi lain, secara tematis bisa melahirkan tokoh pejuang dengan segala ciri khasnya. Yang akan berjuang melalui tarekat dan pintu-pintunya. Termasuk yang menjadi 'aku lirik' dalam puisi tersebut. Dia tiba-tiba menjadi tokoh ksatria berkuda yang berasap besi, dengan pedang di pinggang dan tombak di tangan.

Pertanyaannya, apakah simbolisasi pada tokoh puisi itu suatu bentuk kekerasan? Inilah kasusnya. Di era politik yang cenderung pragmatis dan hobi membohongi ini, tudingan kekerasan itu bisa terus saja terjadi dan terpola secara sistematis,  untuk suatu maksud merebut empatik para pencinta kehalusan yang bakal tertipu. Padahal jika bisa berkaca pada wajah Ondel-Ondel Jakarta, sangat halus dan lembut. Meskipun tetap menyimpan tanduk dan taringnya yang keramat di dalam gulungan kain putih yang wangi, di dalam kotak cahaya yang hangat, yang rahasia, menyilaukan dan wangi.

Selanjutnya marilah kita masuki sejenak dunia berseloroh yang tidak jorok. Bersenda yang halal.

Kebangkitan itu apa sih? Saya coba meminjam istilah yang saya rangkum sendiri dari seluruh tulisan penyair Sunda Godi Suwarna di media sosial facebook. Jawabannya, kebangkitan itu adalah, batang zakar yang tegak lurus dan sempurna. Tapi jangan lihat bagian bengkoknya. Sebab ini masalah lurus dalam parameter sirotol mustakim. Bukan sembarang "tol". Bukan tolol.

Demikian pun sajak saya itu. Jika dibawa ke sidang para penyair yang sedang memprotes situasi dan kondisi yang sering kacau karena ulah para pengaku elit yang menggerakkan masyarakat yang tidak tahu-menahu, atau setidaknya masyarakat yang tertipu, maka hasilnya pasti seloroh jorok. Ini bukan sembarang jorok tapi. Sebab kopi toh masih di dalam cangkir yang tidak sudi dituangi comberan dan racun.

Kisah aku yang naik kuda dan menggenjotnya kuat-kuat dalam ringkik yang tak selesai-selesai, tiba-tiba akan berubah menjadi sensasi persetubuhan. Dengan dasyatnya pedang dan tombak. Dan sidang warung kopi para penyair yang mendapati hiburan akan merekomendasikan senyum dan tawa. Mungkin juga akan ada deklarasi yang menggelegak. Dan itu kebenaran. Tafsir apapun harus saya terima dengan lapang dada. Yang kemudian tetap akan membawa sedih dalam kungkungan kekacauan-kekacauan yang terserak yang disaksikan Allah.

Mata batin yang cerah akan mengusap sampai mengungkap semisal istilah dari buku penyair Acep Zamzam Noor, 'tungtung teuteupan', atau istilah 'ujung pandang' dalam puisi pendek saya. Berkesadaran dan bersaksian jauh ke anak-cucu masa depan. Bahwa orang tahu tidak pernah menipu. Sebab orang tahu yang menipu, dia masih belum tahu!
---

MATACADAR

sudut pandang
ujung pandang 

Kemayoran, 2011
-----

DUNIA MENCONG

duh
dunia yang mencong
kok
malah banyak omong kosong 
sampai
monyong-monyong
sampai
gak bisa diajak ngomong

Kemayoran, 20 05 2019
#puisipendekindonesia
---

Sebuah analogi. Ketika ada orang  yang mengaku-ngaku tahu, sebut saja dia itu para elit politik atau kepala daerah atau pemimpin organisasi yang bisa menggerakkan massa. Merasa benar bahwa suatu jembatan yang menyebrangi sungai itu bisa dilalui oleh para pejalan kaki sebanyak 1000 orang. Lalu dia membiarkan lebih dari 1000 orang melintas di atas jembatan itu setiap waktu, bahkan menyebutnya masih aman, maka resiko apa yang akan terjadi? Tetapi cobalah lihat kondisi para pelintas yang tidak tahu bahaya itu, mereka merasa dan percaya telah diberitahu oleh orang yang tahu, sehingga nampak tenang dan riang. Kecuali pada saat terjadi bencana.

Masalahnya di negri ini, bagaimana membuka mata orang-orang yang tidak tahu dan yang bisa mudah tertipu itu? Sebab ini kunci kebangkitan nasional kita. Selain itu, bagaimana negri ini bisa memiliki tokoh-tokoh kaliber, meskipun untuk bekerja ditingkat RT/RW, yang sebenar-benarnya orang tahu atas sesuatu yang menyelamatkan. Bukan orang yang sok tahu, pura-pura tahu, atau orang tahu yang menipu yang sesungguhnya lebih bodoh dari orang yang tidak tahu-menahu.

Kalau 'kaliber' yang tahu tidak sampai ke tingkat RT/RW , kebangkitan apa namanya? Berrti kita sudah berdalil, "Yang di tingkat RT/RW itu orang-orang tahu apa? Orang-orang model apa? Bohongi saja". Sungguh menyakiti proses pembangunan pendirian ini. Dan jawabannya tentu tidak butuh sekadar formalitas, termasuk yang berbau sekadar strata sekolah formal. Sebab kita butuh kecerdasan sosial. Sensitifitas kemanusiaan. Cinta yang menyejahterakan. Kalau presidennya orang baik dan peka, orang jujur yang ihlas, 'pejantan tangguh', pemersatu yang teduh, penegak keadilan, maka aparat desa dan aparat kampungya ya mesti se-kaliber itu. Sehebat dan sedasyat itu.

Kita tidak butuh mentri yang sekadar Profesor Doktor. Yang seperti iming-iming semu itu. Tapi yang bisa kerja demi Indonesia maju. Dan banyak lagi contoh lainnya.

Kebangkitan nasional itu tidak membodohi dan membohongi rakyat, meskipun rakyatnya sangat tiak sadar kalau dirinya dibodohi dan dibohongi. Ini prinsip sepanjang sejarah. Bukan kalimat untuk satu rezim kekuasaan belaka. Rakyat butuh keselamatan di sebuah negri yang kedaulatannya dijaga oleh Allah dan balatentara malaikatnya.

Jangan sepele mengatakan, "Rakyat kita sudah cerdas, sudah tahu" padahal maksudnya menipu. Biar mereka terjebak tipuan maut yang seolah-olah diterima oleh akal sehat versi rakyat yang sesungguhnya belum tahu-menahu akan sesuatu. Ini berbahaya. Karena itu negara butuh orang-orang yang sebenar-benarnya tahu, yang bisa bekerja, dan ihlas membela rakyatnya. Sebab keduanya bertalian erat dalam 'persetubuhan' kemanusiaan yang adil dan beradab.

Tapi katakanlah, "Bangsa ini adalah orang-orang soleh yang dirindukan Allah dan surganya", sebab dalam keadaan bagaimanapun mereka senantiasa merindukan kemuliaan, kebenaran, keadilan dan kesejahteraan. Kecuali pada sebagian yang mengingkari kebangsaannya sendiri, negaranya, juga Allahnya yang paling berkuasa di situ.

Selamat hari kebangkitan, dengan spirit Ramadan untuk kebangkitan kta.

Kemayoran, 20 05 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG