SEBELUM PUNYA TAGAR (Ini Bukan Sembarang Kata Pengantar)

Banyak penulis koran yang mengekspose di media sosial karya-karyanya yang dimuat koran dan majalah. Lalu saya fikir untuk 'jampe pamake' dan 'jampe pelet', apa salahnya saya ekspose kata pengantar buku terbaru saya, TAGAR (Tarian Gapura) berikut ini:

TARIAN GAPURA KAMPUNG
...
maka bayangkanlah di alun-alun
atau di suatu lapangan terbuka
para penari itu keluar dari 1000 gapura
dengan penampilan dan ekspresi beragam
oh, keluasan yang pecah dalam irama
pasti pecah pula mesranya

Kemyoran, 15 01 2019
(Dari buku TAGAR, JM-Bandung)
---

Dalam peradaban dan kebudayaan manusia, menggambar dan menari menjadi kunci yang sangat utama. Secara filosofis, menggambar menunjukkan lahirnya gagasan-gagasan manusia sedangkan menari adalah upaya merealisasikan gagasan-gagasan itu dalam praktek hidup sehari-hari, dengan segala penyikapannya atas segala hambatan, tantangan dan gangguannya. Apapun, bagaimanapun, di manapun. Tentu persenyawaan menggambar dan menari pada dunia senirupa dan tari itu sendiri sudah menjadi permakluman kita. Menggambar adalah proses menggagas sekaligus menari melalui dunianya. Pun sebaliknya.

Oleh sebab itu menjadi wajar kalau di tingkat pendidikan anak usia dini, taman-kanak, bahkan pada usia Sekolah Dasar secara umum, anak-anak selalu dilatih gerak motoriknya serta dididik sikap-sikap lahir-batinnya melalui pengenalan dunia menggambar dan menari. Dalam paradigma usia bermain sambil belajar, menggambar dan menari adalah dua hal yang familiar dan dan menyenangkan. Ke depan melalui lingkaran literasi yang dinamis, tentu akan membuat manusia mengenali betul bentuk, warna, gerak, pilihan-pilihan, skala prioritas, berbagai sikap penyelamatan, kehalusan budi bahasa, hukum, dan karakter-karakternya. Mampu mengukur, menghitung sekaligus merasa.

Sebagai seniman, Orang Radio Indonesia, dan narasumber senibudaya di radio-radio, dalam banyak even seni dan dalam siaran Apresiasi Seni saya sering menyebut, kumpulkanlah seluruh anak-anak Indonesia untuk menggambar dan menari. Maka itu adalah kebutuhan pokok pendidikan dan sosial mereka. Jangan pernah kita ketakutan, bahwa dari mereka itu berapa banyak yang akan menjadi penari dan pelukis profesional? Itu soal lain. Itu berkaitan dengan bakat, motivasi yang sungguh-sungguh dari tiap individu, prestasi, dan ketersediaan fasilitas yang menunjang bagi masa depannya.

Seperti yang sudah disebut pada alinea awal, selain secara edukatif menari dan menggambar adalah metode jitu, secara filosofis akan menunjukkan peta kesaksian dan kesadaran anak didik ke arah memiliki gagasan dan sikap-sikap yang dewasa dan kreatif, yang dibutuhkan untuk kesejahteraan manusia dan kemanusiaannya.

Itu sebabnya saya sangat protes sejak tahun 2000-an, baik di radio, diskusi-diskusi seni, maupun melalui media sosial. Mengapa panggung-panggung Agustusan yang semarak setiap tahun di Indonesia, bahkan dengan anggaran yang tumpah secara swadana penuh sukacita oleh masyarakat, bisa sepi dari tari-tarian anak-anak dan remaja, baik tari tradisi maupun kreasi baru? Pun sepi dari penari-penari dewasa dan profesional? Padahal itu momen yang menggarisbawahi komunikasi keakraban dan kesetiakawanan sosial melalui bahasa tari. Ya, tanpa bahasa tari, khususnya di wilayah Nusantara, hidup seperti kaku dan tegang. Ini tentu tinjauan sosiologisnya. Apalagi kalau sampai terjadi 'pengharaman' terhadap tari tradisi yang baik, wajar, dan sudah diterima dan dipahami masyarakat dalam kurun waktu yang panjang, sehingga malah melahirkan semacam 'pemberontakan', berupa tari-tarian liar yang kurang nalar sehat. Padahal pada saat yang sama, yaitu ketika seni tradisi terjamin tumbuh-kembang secara normal, kita pun masih punya tugas untuk menghaluskan segala gerak liar yang salah arah. Bahkan berlaku hukum menolak dan menerima tradisi tertentu.

Sebuah tari, tanpa kata-kata bisa jadi daya tawar, kalimat pembicaraan, tentang penerimaan dan penolakan. Misalnya eksotisitasnya, bisa berupa ucapan selamat datang yang ramah kepada para turis dari seluruh penjuru dunia manapun, tidak terlalu mempersoalkan penampilan para turis yang khas itu, yang masih santun di kalangan masyarakat, meskipun wanitanya memakai kaos oblong dan celana yang serba pendek. Misalnya.

Dalam 'orasi senibudaya', dalam berbagai even senibudaya, baik selaku ketua panitia maupun Dewan Juri, saya biasa mengulang-ulang, yang kadang meminjam bahasa Sunda, "Hirup teh ngagambar jeung ngigel", yang artinya, hidup ini menggambar dan menari.

Selanjutnya kita bicara gapura selintas. Saya sudah tertarik pada gambar gapura dan pemandangan gapura sejak usia remaja. Di kota-kota Jawa Barat, Jakarta, dan Jawa Tengah saya suka terpukau di depan gapura kantor PEMDA maupun yang ada di jalur keluar masuk menuju kota atau daerah tertentu. Diam-diam kita menuntut adanya gapura yang sangat khas dan terasa istimewa. Bahkan sejak era melek tayangan TV hingga melek multi-media saat ini, kita sudah terbiasa menelusur mendapati informasi keindahan kota-kota dan obyek wisata di seluruh Indonesia dan dunia. Tentu gapura-gapuranya juga bisa kita lihat foto dan videonya.

Yang juga detil saya amati adalah gapura-gupura sekolah, gedung-gedung pemeintah, gapura-gapura mesjid, sampai gapura di pintu-pintu utama tempat keluar-masuk kampung yang semarak di mana-mana.

Khusus untuk gapura mesjid saya sangat menikmatinya setiap melakukan safari sholat Jumat ke mesjid-mesjid yang berbeda. Beberapa kali saya telah melakukan safari Jumat ke 40 mesjid berbeda berturut-turut. Subhanallah.

Gapura adalah daya tarik, sekaligus sebagai ucapan selmat datang. Dalam banyak bentuk juga mengandung pesan- pesan tradisi dan potensi lokal. Karena bentuknya yang mencolok dan terdepan, maka gapura-gapura mesti terpelihara dengan baik, terutama kebersihan dan keindahannya, meskipun ada yang permanen ada juga yang tidak.

Dengan memadukan kata tarian dan gapura, maka sebagai judul dari buku antologi puisi ini, frase Tarian Gapura mengandung pengertian bahwa hidup sesungguhnya tarian kemanusiaan yang menonjol, yang wajib mrnyelamatkan lahir-batin kemanusiaan manusia secara menyeluruh. Sebab dalam prinsip sosial, kecerobohan seorang manusia atau sekelompok manusia, bisa tidak memperdulikan kemanusiaan secara menyeluruh sehingga berakibat kecelakaan sosial di kemudian hari. Sehingga untuk Indonesia yang mengenal Hari Kebangkitan Nasional, mestilah memahami, bangkit itu anti. Anti segala dosa maksiat. Anti pelacuran, seks bebas, pelecehan dan pornografi. Anti korupsi. Anti tawuran dan tindak kriminal. Anti penyalahgunaan miras dan narkoba. Anti hoak. Anti perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Anti terorisme. Juga anti pembodohan dan pemiskinan.

Jika kata gapura dikaitkan dengan simbul sebuah kerajaan atau negara, maka tarian gapura di situ bisa berarti gerak pembangunan kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka sudah terbayangkan, bagaimana sistem dan pola yang kita butuhkan demi keselamatan para manusia tanpa kecuali di situ. Yang hakekatnya sebagai proses menyembah dan berserah diri manusia-manusia pada sebuah bangsa kepada Allah. Dalam Islam disebut, bagian dari upaya menegakkan sholatnya.

Dalam beberapa puisi dalam antologi ini menunjukkan, bahasa lugasnya, bahkan suara-suara, teriakan-teriakan atau alokanya, adalah rekaman bahasa atau kode awam yang sering nampak sebagai lagu lugu, tetapi memiliki pesan dan hikmah yang mendalam dan luas. Paket lengkap, menurut kacamata sistem-nilai universal. Terlebih jika personifikasi dan metafornya peristiwa, mahluk hidup, dan benda-benda bermanfaat, bahkan yang bernilai keramat, yang menari.//////

Kemayoran, 09 04 2019
Gilang Teguh Pambudi
Penyair dan Budayawan
------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG