WONG CILIK DALAM PETA KALAH DAN MENANG

SATRIO PININGIT

kamu cari-cari
sampai ke dalam suara Kenari
masih setia curi-curi
pesan lagu Turi
tidak habis cara-cara
mahkota bersuara depan rumah raja

dia cari-cari
juga lewat suara Kenari
masih soal curi-curi
langit menaungi Turi
tak putus cara-cara
ke rumah raja menjual mahkota

di sebelah mana titik temu, katamu
tempat pertemuan para tamu
yang merunduk di tujuh pintu
pada waktu yang tak mau menunggu

di mata terbuka hidayah raja
di bumi terluka langit pun murka
dari tujuh pintu memancar cahaya
api keadilan mengangkat senjata

kau sibuk mencari ratu
saat dia menjadi kamu
kecuali kalau kamu hantu
tidak tahu arah menuju

Kemayoran, 24 Juli 2018
Dari antologi puisi tulisan tangan penyair, Satrio Piningit, Penebar Media Pustaka, Yogyakarta.
------

Wajar kita heran, sangat-sangat heran. Bahkan sedih, sangat-sangat geram, setiap membaca berbagai kalimat-kalimat di media sosial yang keji dan menjijikkan ketika menyudutkan, menghina dan mencacimaki calon presiden petahana Jokowi sejak usai pencoblosan di TPS, 17 April lalu hingga proses penghitungan suara KPU yang selalu menunjukkan keunggulan untuk figur yang satu ini. Belakangan tudingan kafir juga ditujukan kepada cawapresnya, KH.Ma'ruf Amin yang ketua MUI itu.

Padahal situasi di dalam negri sebelum masa kampanye Pilpres, serta kondisi pemberitaan media internasional tidak ada tanda-tanda heboh kekacau-balauan sikap dan posisi terakhir Jokowi. Sebab situasi kekacaubalauan itu di beberapa negara lain sempat dialami jauh sebelum masa kampanye sampai terjadinya pergantian kekuasaan. Ini menunjukkan kondisi Indonesia dan kondisi Jokowi baik-baik saja. Posisinya cukup atau bahkan sangat positif. Siap 'adu jago' secara demokratis, damai, dan konstitusional dalam Pemilu. Cuma begitu saja. Tapi kok ada pihak-pihak yang terlalu berani dan tidak bertanggungjawab menunjukkan sikap-sikap yang sangat rendah.

Oke, saya jadi mulai tertarik untuk sedikit bernostalgia sebagai Wong Cilik yang sering kalah dalam proses dukung-mendukung, baik dalam Pilkada maupun Pilpres, tapi biasa-biasa saja.

Kepastian hasil penghitungan suara final untuk Pilpres tahun 2019 ini, sehari sebelum 22/5, sungguh sangat melegakan. Sebab akan membuat masyarakat punya kepastian jumlah angka untuk masing-masing kubu pasangan calon ---baik besumber dari pemberitaan maupun mengikuti langsung proses penghitungan KPU, sehingga bisa mengondisikan diri untuk legowo menerrimanya. Terlepas dari catatan-catatan demokrasi yang selalu disoroti untuk kebaikan penyelenggaraan tahapan Pemilu di masa yang akan datang.

Menurut saya, sambil mengapresiasi proses maksimal penyelenggaraan Pemilu yang demokratis, jujur dan adil, ---sekali lagi tanpa menutup mata pada kekurangan-kekurangannya, saya melihat posisi strategis tahun Pemilu dan Pilpres  2019 adalah pendewasaan proses bedemokrasi bangsa Indonesia. Lebih jauh dari itu, kalau mau meletakkan demokrasi sebagai satu pilihan, kita melihat pendewasaan proses berbangsa dan bernegara yang megalami lompatan maju. Sangat mengagumkan. Meskipun tidak sedikit pengamat menyebut, Pemilu tahun ini adalah Pemilu paling rumit oleh banyak persoalan, ditambahi maraknya hoak yang mengganggu.

Tetapi kalau dicermati sampai puncak waktu 22 Mei, terpantau hingga saat ini oleh mata terbuka masyarakat, justru di tengah kerumitan dan persoalan maraknya fitnah-fitnah itulah Pemilu kali ini telah berhasil melintasinya dengan sukses. Banyak wacana yang tiba-tiba terbuka dan berkembang. Yang menunjukkan sikap maju, sekaligus menjadi sen kabar gembira di masa depan untuk bangsa ini. Jika mau konsisten pada proses kebaikan selanjutnya. Jangan cuma sebatas letupan sesaat tentang kesadaran dan kesaksikan berbangsa dan bernegara.

Saya pribadi sejak masa Orde Baru merasa selalu punya presiden, merasa selalu menang, sesuai dengan sikap yang konstitusional. Menerima setiap hasil keputusan resmi yang tetap.  Tetapi baru kali ini benar-benar punya jagoan yang menang. Kecuali di era Orde baru, sebab calonnya selalu tunggal. Hanya bisa mengamini yang itu saja. Meskipun masih bisa disyukuri juga, karena sesuai dengan aspirasi dan logika demokrasi mayoritas muslim Indonesia, yang menginginkan punya presiden Muslim. Dan jawabannya ketika itu, selalu Pak Harto. Tidak bisa muslim yang lain. Sudah diset begitu.

Setelah Pak Harto lengser, saya sangat memahami dan menerima kalau presiden saya adalah BJ Habibie. Meskipun posisi saya di awal reformasi adalah pendukung Amin Rais untuk presiden RI. Sayangnya Amin Rais gagal. Tetapi kubunya bersama kubu lain yang berkoalisi akhirnya sukses meng-gool-kan Gus Dur jadi presiden. Saya pun tidak cuma bisa menerima, bahkan merasa sebagai pengagum Gus Dur yang serius. Bahkan sampai menerbitkan buku antologi puisi komunitas  karena terinspirasi Gus Dur.

Begitupun saya yang sangat menyayangkan ketika Gus Dur berhenti di tengah jalan, posisi saya adalah orang yamg sangat menerima Megawati Soekarnoputri sebagai presiden RI yang sah. Konstitusional. Saya sebut-sebut dengan bangga di radio sebagai presiden wanita pertama Indonesia. Yang sekaligus menggambarkan peta kebangsaan dan kenegaraan kita yang lebih terbuka dan berani daripada wilayah-wilayah lain di dunia.

Pada saat saya sedang asyik mensyukuri Mega presiden sambil siaran, sampai-sampai naik berita di radio saya setiap hari, eh dia harus kalah dari SBY. Maka otomatis sayapun yang sempat lunglai, harus menganggap SBY tidak cuma presiden yang terpilih melalui 'Pemilu era Mega' yang sangat-sangat demokratis dan damai, tetapi sekaligus menyebutnya sebagai presiden yang sangat dibutuhkan oleh era-nya. Meskipun hati kecil saya berkata, sayang Mega, padahal masih punya semangat besar untuk membangun negri ini di segala bidang, sekaligus membangun keseimbangan bangsa dari seluruh aspek, terutama setelah bangsa ini koyak-moyak dan sangat kecewa pada Orde Baru.

Setelah Mega mendapat ujian gagal bertarung dalam dua Pilpres, saya berfikir masa penantian kubunya mungkin masih butuh waktu. Sebab saya sama sekali tidak kenal Joko Widodo sejak mencalonkan diri jadi gubernur DKI berduet dengan Ahok. Maka wajar saya yang di Pilkada DKI mendukung Hidayat Nur Wahid lalu mendukung Foke, pada akhirnya pro-Prabowo Subianto. Apalagi menurut saya pasangannya pas-mantap 100%. Hatta Rajasa. Eh, gak tahunya saya kalah lagi. KO.

Baru sejak saat itulah saya mulai nyari-nyari informasi, buka-buka catatan tentang Presiden Jokowi sejak jadi walikota Solo. Pun saya mulai menjelajahi data Gubernur Ahok yang sebelumnya juga sangat tidak saya kenal. Sampai akhirnya saya sangat mendukungya di Pilkada DKI. Alamak, Ahok pun harus kalah juga. Yang menang Anies Baswedan. Sampai-sampai saya berfikir, kenapa yang saya dukung selalu kalah ya?

Tapi saya boleh bangga. Tulisan-tulisan saya di media sosial, biarpun lumayan aktif dan kritis, tetap normal-normal saja. Tidak membabi-buta seperti kalimat-kalimat atau istilah-istilah yang ditujukan kepada calon presiden petahana, Jokowi saat ini. Sangat jauh dari yang seperti itu. Alhamdulillah, saya selamat.

Kalau mau menengok lebih ke belakang lagi, saya yang sebelum ber-KTP DKI adalah warga Purwakarta ---meskipun ibu kandung saya dari tahun 70-an KTP-nya DKI,  juga pernah mengalami kekalahan dalam soal dukung-mendukung. Bupati Lili Hambali yang didukung PDI-Perjuangan kalah oleh Dedi Mulyadi. Tetapi saya bersikap biasa-biasa saja. Termasuk gak bersuara yang aneh-aneh saat bersiaran di radio. Kepada Dedi Mulyadi saya biasa menyebut, "Bupati saya" atau "Bupati kita". Bahkan sering sepanggung dalam acara seni. Begitu saja kok repot, kata Gus Dur.

Pengalaman di era Orde Baru, saya juga gak neko-neko, mekipun pernah dianggap neko-neko, sebab saya pemuda PPP yang lebih dekat kepada PDI dalam berbagai wacana politik.

Waktu ber-KTP Bandung, 1994, sebelum pindah ke Purwakarta, saya merasa nyaman dengan pemerintahan kota Cimahi dan Kota Bandung. Maklum posisi siaran radio saya ada di perbatasan itu. Kalau ada berita yang bernada kritikan, saya baca dengan nyaman, meskipun pada era itu gak boleh juga terlalu vokal. Tapi walikota Aa Tarmana pernah wawancara di radio tempat saya kerja. Sehabis itu dia juga mengundang saya dan teman-teman makan siang di Rumah Makan Sunda. Baik-baik saja pokoknya.

Waktu saya masih ber-KTP kota Sukabumi, saat itu baru tamat SMA dan baru mulai kerja, sebelum pindah ke Bandung. Saya gak ada masalah dengan Pak Walikota meskipun warna 'hijau' saya pasti tercium juga, buktinya suka ada yang nyegat saya di jalan dan bersikap profokatif. Tapi saya yang saat itu Ketua Karang Taruna Kelurahan Cikole sempat dapat piala Pidato Pembangunan dari Walikota Udin Koswara, meskipun bukan juara satu. Artinya, saya bisa bersebrangan dengan kepala daerah dalam hal tertentu, tetapi selalu menerima dan menghormati posisinya. Boro-boro niat membencinya seperti membenci binatang, atau najis, atau kotoran. Wajar akhirnya saya bersyukur dengan sikap-sikap saya itu.

Dengan terkaget-kaget dan nyaris tidak percaya atas terpilihnya Presiden Jokowi tahun 2014 lalu, saya yang mulai ingin banyak tahu soal dia, akhirnya bisa bernafas lega. Pertama, masa penantian kubu Mega selesai, bisa naik lagi ternyata dalam waktu tidak terlalu lama. Patut disyukuri. Cukup dua periode SBY saja. Sehabis itu Jokowi jadi presiden. Alhamdulillah. Pembangunan keseimbangan kebangsaan kita dalam berbagai aspek dan pemerataan program pembangunannya semoga bisa terwujud dan sukses.

Kedua, dengan menang lagi di Pilpres 2019, ini adalah keberhasilan pertama saya dalam soal dukung-mendukung kepala daerah dan presiden. Subhanallah. Apa pentingnya? Sebagai anak bangsa, saya tentu punya catatan-catatan tentang pembangunan Indonesia ini. Dari Barat sampai Timur. Menghunjam sampai ke RT-RT. Vokal seperti orang-orang kampung yang vokal. Semoga itu bisa terserap oleh pihak yang kita anggap terbaik untuk mewujudkannya. Amin.

PR buat saya selama ini adalah, meskipun bisa merasa sangat kecewa tetapi selalu bisa legowo menjadi orang yang selalu kalah. Tetap konstitusional dan biasa-biasa saja. Kalau mau ngritik ya ngritik saja baik-baik. Pakai bahasa yang sampai. Meskipun kadang beresiko tiba-tiba dijauhi sekelompok orang yang pernah jadi teman-teman dekat. Dst.

Pada saat yang sama kita ini adalah para pemenang bagi Indonesia.

Mengakhiri tulisan ini saya mengajak menengok puisi saya, Satrio Piningit. Sampai kapanpun sosok rahasia Satrio Piningit itu akan selalu melakukan tawar-menawar nilai dengan hati nurani para penguasa atau raja. Sebab jika waktunya tiba, akan ada raja yang pergi dan mengajak siapa saja ke neraka. Semoga kita terhindar darinya dan dari azab Allah Swt.

Jayalah NKRI. Sukses demokrasi dan pembangunan Indonesia.

Kemayoran, 21 05 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG