YANG MELEDAK DARI DALAM GELAS (?)

RAMBU MALAIKAT

malaikat memasang rambu Ramadan
"hati-hati dalam perjalanan"
aspal yang basah hujan
selalu cinta dan persetubuhan
nanti keringnya, melulu penantian

Kemayoran, 2018
Dari antologi Sedekah Puisi, Penebar Media Pustaka, Yogyakarta.
------

Siapa bilang umat Islam tidak diajari ngebom atau tidak boleh ngebom? Buktinya tentara (TNI) kita yang mayoritas muslim itu juga dilatih seksama cara meledakkan bom dan menggunakannya dalam pertempuran-pertempuran.

Ya, sifatnya memang keterwakilan. Dalam prinsip pertahanan dan keamanan yang kita anut, TNI memang terdepan dalam perang. Selain karena harus terlatih secara profesional, juga tidak mungkin seluruh bangsa Indonesia dipaksa jadi tentara. Sebab bakat tiap orang itu beda-beda. Lagipula kebutuhan negara juga banyak, tidak cuma tentara. Negara butuh guru, butuh ustad, dokter, wartawan, artis, pegawai negri, karyawan pabrik, supir, pilot, masinis, pengusaha, petani, nelayan, dst.

Tetapi kita mengenal prinsip bela negara. Bela negara dalam pengertian mempertahankan dan memelihara kedaulatan NKRI yang tidak harus selalu dengan cara berlatih perang. Tiap warga bangsa ini cukup bersikap cinta NKRI dari masing-masing posisinya, masing-masing profesinya. Sebagai satu contoh, apa profesi wartawan atau dokter tidak bisa secara profesional menunjukkan sikap bela negara? Termasuk jika tiba waktunya masa perang? Tentu saja sangat bisa.

Malah kalau hari ini ada masyarakat sipil yang tiba-tiba latihan merakit bom, malah wajar dicurigai, untuk apa? Sebab negara sudah punya cara-cara.

Dari membicarakan tentang halalnya bangsa ini berlatih meledakkan bom, melalui tentaranya yang gagah perkasa, kita beranjak pada pertanyaan berikutnya. Bolehkan tentara kita meledakkan bom bunuh diri?

Setahu saya, setahu umat Islam di seluruh dunia, bunuh diri itu dosa. Membunuh nyawa sendiri itu sama saja dengan mnghilangkan nyawa orang lain. Bahkan karena dilakukan secara paksa, dengan cara keji dan tidak wajar, maka bunuh diri meskipun dilakukan terhadap diri-sendiri, beratnya seperti membunuh seluruh manusia.

Lalu saya teringat bacaan saya waktu kelas 4 SD, yaitu pejuang Mohammad Toha. Pahlawan Bandung Selatan. Sebelum buku itu saya baca, kovernya saya bolak-balik. Saya tatap lekat-lekat wajahnya. Saat itu saya yang sebelumnya sudah pernah dengar kisah Mohamnad Toha secara lisan dari cerita guru berkeyakinan penuh, Mohammad Toha itu bermaksud menang perang. Ia harus meledakkan gudang mesiu musuh biar musuh lumpuh. Tetapi sekali lagi, dia harus menang. Maka saya menduga, dia ingin selamat dari ledakan itu. Tetapi kalau saja malaikat bertanya, "Jika kamu harus binasa dalam ledakan itu bagaimana?" Sebagai seorang muslim patriot saya yakin dia akan menjawab, "Sebagai pejuang saya punya resiko-resiko. Tetapi Alah lebih tahu cara menyelamatkan para pejuangnya". Jawabannya ini bukan berarti dia sudah tahu bakal meledak dan mati, tetapi jika ia menjadi korban dalam ledakan itu. Begitulah yang saya fikirkan dulu. Sambil merasa-rasa ---karena waktu itu cita-cita saya kan pingin masuk AKABRI, bagimana jika saya harus berbuat seperti Mohamnad Toha, meledakkan sesuatu untuk melumpuhkan musuh.

Kisah Mohammad Toha ini lama melekat di benak saya. Seperti kisah Jendral Sudirman yang sudah lebih dulu melekat sejak kelas 2-3 SD. Sampai-sampai ketika anak saya malah balik bertanya saat saya suruh ikut lomba cipta puisi Surat Kabar Pikiran Rakyat "Bagaimana membuat puisi yang menarik untuk tema Bandung Lautan Api?" Dengan antusias saya jawab, "Kemajuan-kemajuan Bandung hari ini, salahsatunya karena bom yang meledak dari tangan Muhamnad Toha. Itu ledakan dasyat! Dan kalau hari ini dia masih membawa bom, dia akan meledakkan apa kira-kira?" Dan ternyata puisi anak saya itu akhirnya juara pertama Koran Pikiran Rakyat tahun itu. Bayangkan, ada ledakan dari dalam gelas minuman, disela-sela jajaran busana, juga ada ledakan Rumah Makan Sunda.

Dari ilustrasi tersebut, terjawab sudah. Pertama, ummat Islam malah wajib berlatih meledakkan bom. Melalui tentaranya. Kalau tidak demikian, mustahil kita bisa berperang menggunakan bom dan mustahil pula bisa mengatasi bom lawan. Kedua, tidak ada bom bunuh diri dalam Islam, yang ada bom yang beresiko bisa mengakibatkan kita ikut menjadi korban ledakannya. Selain itu kita yang cermat pasti berfikir bolak-balik. Tubuh kita saja sebisa mungkin terhindar dari bom yang kita ledakkan dalam perang, bagaimana mungkin kita membinasakan orang-orang yang tak berdosa, yang bukan musuh perang kita, termasuk perempuan dan anak-anak? Apalagi kalau yang diledakkan gedung-gedung umum semisal hotel, rumah sakit, tempat ibadah, stasiun dll, tempat berkerumum masyarakat sipil termasuk anak-anak kecil di situ? Sungguh keji kalau sampai terjadi itu. Selain dalilnya bom bunuh diri, membinasakan banyak orang pula.

Kita bisa merasa-rasa para pejuang kita dulu, sebagai inspirasi patriotisme di bumi yang relijius ini. Para pejuang itu bukan orang-orang yang bunuh diri, bukan cari mati, tetapi tahu, berperang memang beresiko kehilangan nyawa. Juga pada kisah Muhammad Toha itu.

Dalam suasana Romadon yang tentram dan damai ini, kita masuki pintu paling romantis di hadapan Allah. Meskipun pembicaraan kita kali ini cukup seram: bom, bom bunuh diri, dan heroisme perang. Sebab kita tidak sedang memanggil perang.

Maka saya pungkas dengan puisi yang tertera di awal tulsan ini:

RAMBU MALAIKAT

malaikat memasang rambu Ramadan
"hati-hati dalam perjalanan"
aspal yang basah hujan
selalu cinta dan persetubuhan
nanti keringnya, melulu penantian
------

Saya cuma mau bilang. Atau kita bilang pada hati masing-masing. Bahwa pesan malaikat paling populer, bersahaja tetapi bisa terdengar seram adalah, "Hati-hati di jalan". Sebab itu artinya kita sedang mengarungi hidup dengan segala hambatan dan cobaannya. Tetapi jangan sampai jadi pecundang dan penakut. Sebab, ... aspal yang basah hujan/ selalu cinta dan pesetubuhan. Ya, persetubuhan tidak melulu kebutuhan fitrah suami istri, juga bermakna menyatunya seluruh tubuh manusia laksana satu tubuh, ketika aku adalah kau, dan kalian adalah aku.

Maka lihatlah, cinta dan 'persetubuhan' itu selalu dinantikan. Seperti jalanan kering yang selalu menantikan curahan hujan. Rahmat yang besar.

Kemayoran, 16 05 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG