DINDING PUISI 243

DINDING PUISI 243

Seperti kerangka buku sementara sebelum diorak-arik, saya coba memeras energi kopi agar menjadi potensi hidup dan melahirkan puisi-puisi yang bekerja. Sebenarnya ini cara aneh yang jarang dipilih. Maka pada list pertama saya menulis, Tangis Kopi. Setelah itu berderet judul dan tema. Tapi tahukah anda? Pada ujung jari saya tiba-tiba tertulis lagi, Tangis Kopi, tanpa saya sadari. Itu artinya telah terjadi pengulangan tanpa bermaksud plagiat atas judul bikinan sendiri beberapa menit sebelumnya. 

Apa yang saya kemukaan ini membuktikan bahwa pilihan kata, frase, tema, kalimat, gaya penekanan kalimat, bait, dst pada seseorang tidak mustahil bisa sangat mirip bahkan sama persis dengan penulis lain. Itu tanpa disadari. Tetapi meskipun demikian, berdasarkan pengalaman akan nampak jelas seseorang yang jujur pada totalitas proses kreatif dan ekspresinya. Sebab dia akan sangat kuat di posisinya, justru bukan karena ngotot berargumentasi, tetapi mengandung ketepatan-ketepatan yang mudah dicerna publik sastra. 

Perdebatan yang tidak perlu di kalangan pengamat biasanya bermula dari ketidak hati-hatian dalam mencermati suatu karya. Apalagi kalau sudah bergumul dalam pro-kontra komentator medsos yang terlalu emosional. 

Berbeda dengan plagiat yang sebenarnya. Baik dalam bentuk karya maupun pada argumentasinya akan semakin melemahkan posisinya. Itulah dosa yang disadari. Serupa kekejian. Oleh karena itu plagiat sangat dibenci. 

Pertanyaamnya, di jaman yang disebut jaman edan oleh pihak yang melihat keedanan itu, apa tidak mungkin terhembus fitnah plagiat untuk menjatuhkan wibawa atau nama baik seorang sastrawan? Apalagi ketika secara sosial-politik kharisma sastrwan ini sangat berpengaruh di tengah masyarakat? Setidaknya ini menarik sebagai kode kehati-hatian. 

Tapi ok. Kita nyerempet hal lain. Dalam banyak hal bukankah secara politis sastrawan yang kharismatik tidak cuma bisa diobok-obok dari sisi dalam ruang kreatifnya, bahkan bisa dikoyak-koyak sisi pribadi dan keluarganya? Dipelajari kondisinya. Dikacaukan istrinya. Anaknya bisa diserang narkoba atau dijebak tindak kriminal, atau apapun. Sanak familinya dipancing mendatangkan masalah. Atau kegiatan komunitasnya diacak-acak diam-diam. Dunia kerjanya dikacaukan. Dst. Ini pun lampu sen untuk banyak berhati-hati.  

Oke oke. Tulisan ini tidak bermaksud mengurai sejauh itu. Itu semacam pengingat saja bahwa di jaman edan seperti apapun sastrawan itu tetap "orang", tidak main-main. Di sini kita lebih fokus menengok soal plagiat itu. Di satu sisi jangan sampai kita mudah menuding seseorang melakukan plagiat, di sisi lain kita harus tegas menolak segala tindak plagiat sebagai tindak yang sangat tidak beretika. 

Kemayoran, 03 10 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG