DINDING PUISI 244

DINDING PUISI 244

Kita patut setuju pada pendapat yang menyebut, bersastra tidak harus berumit-rumit. Tidak perlu bangga memasuki kawasan yang semakin njelimet, yang berbangga pada "istilah-istilah intelek suatu ketika" yang masih sedikit orang tahu. Sebab maksud-maksud mencerahkan itu bisa tersemi melalui kalimat yang bersahaja dan terbuka. Semisal tubuh berdaster atau berkaos oblong. Bahkan yang terkesan seperti sedang bersuka-suka di suatu sore sehabis mandi, di beranda rumah. Meskipun kadang dicibiri sebagai sastra pop bahkan sastra hiburan. Padahal itu cuma rekayasa pendapat. Suatu hal yang boleh, tetapi bukan hal utama. 

Maka tiba-tiba saya mau bicara puisi saya ini selintas:

WARUNG HUJAN 3

ayo kemari 
belajar filosofi kopi: 
setelah menenangkan gejolak
secangkir kopi di warung hujan 
mengepulkan wangi matahari

dan jika malam masih hujan
kita mencucrup kehangatan
bibir di cangkir bulan 

berbisiklah tentang cinta
asmara yang menggejolak
maka kopi akan melahirkan lagu
suka-suka kamu suka
sebab tak ada musik haram di warung kopi 

Kemayoran, 2020 
______

Kalimat "setelah menenangkan gejolak", tentu bukanlah kalimat yang rumit, meskipun personifikasi itu menunjukkan perbuatan secangkir kopi. Diperbuat oleh si penyaji atau si penikmat kopi. Di situ kita cuma menemui kesadaran besar, kemenangan atau kenikmatan itu buah perjuangan. Gangguan gejolak yang dikalahkan atau dikendalikan. Sehingga setelah mengatasi air yang mendidih, kita mereguk hangatnya suka-suka. Menemui "wangi matahari", kehangatan, kemesraan yang damai. Sampai-sampai setelah membaca bait pertama, seorang pembaca bisa sentausa menggigit singkong rebus atau keripik kentang. 

Bait kedua dari puisi itu cuma mengisyaratkan malam hujan yang tetap kopi. Bukan karena hidup harus banyak minum kopi. Tetapi karena hangat, harum, nikmat, dan manfaat kopi telah menguasai waktu. Seumpama semangkuk sup menjadi perlambang, memasak dan menikmati peradaban. Sebuah kesadaran yang bisa terdengar terlalu besar. Agung. Tapi paling dibutuhkan. Sampai-sampai yang lain tidak. Karena kita orang-orang besar yang moralis. 

Kalimat "maka kopi melahirkan lagu" secara sederhana dan berlebih-lebihan akan menuntun kita selalu mesra, untuk hadir wajah diri dan telapak perbuatan. Mencipta sikap dan perbuatan. Menghidupkan kearifan. Produktif bikin apa saja. Termasuk ihlas gila, mencangkul uang di ladang. Terbakar libido kemanusiaan, melahirkan anak dan generasi mulia. Ya, karena kopi wajib melahirkan lagu itu. 

Dan "tak ada musik haram di warung kopi". Sebab yang haram tak punya tempat, tak ada di cangkir kopi, bahkan bukan untuk di lempar ke tempat lain. Sebab sejak kapan kita menderma celaka? Seperti itulah orang-orang yang jujur menunjuk, "keburukan adalah musuhku, meskipun itu penyakit perbuatanku di masa lalu". Dari situlah lahir pertobatan-pertobatan. Maka kita sungguh kelewatan, memilih menjadi orang terhormat yang siap dihina-dina oleh kaum penghina.

Salam. Selamat hari ini.

Kemayoran, 04 10 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG