DINDING PUISI 246

DINDING PUISI 246

Satu dua pilihan katanya diubah, atau bentuk kalimatnya, karena mempertimbangkan pembaca setelan satu puisi dipublikasikan di media sosial. Bolehkah? Kali ini kita tidak lagi bicara boleh atau tidak boleh, karena hal itu pernah kita bahas. Tetapi bicara, mengapa? 

Kadang seorang penyair tidak bermaksud menawarkan kemesuman sama sekali. Eksotisitas, erotisitas, dan seksualitas yang hadir pada puisi atau cerpen semata-mata suatu bentuk kenormalan belaka. Meskipun kenormalannya bisa berkembang. Yang agak tabu pada 20 tahun silam sekarang sudah tidak terlalu tabu, pun bisa terjadi sebaliknya. 

Kenormalan yang berkembang di tengah masyarakat itu, di kalangan beragama tentu sudah merupakan bagian dari tafsir kitab suci. Analoginya, semisal prinsip jabat tangan pria-wanita yang bukan muhrim di suatu pesta hajatan rakyat atau kegiatan silaturahmi. Ada yang menafsir halal, ada yang menafsir haram. Pada kondisi demikian, yang tetap melakukan seremoni bersalaman masih suka saling bahas, konon memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Misalnya, remaja yang bersalaman dengan orang yang jauh lebih tua cenderung tidak punya rasa seksual, tetapi yang tua ketika bersalaman dengan yang muda-muda rasa itu bisa sangat besar. Meskipun demikian itu cuma berhenti di dalam wacana pengingat saja. Tidak merubah tradisi salamannya. 

Seorang penyair pun sering ibarat berada pada ruang halal bersalaman itu. Sebut saja satu misal, menulis halal mengecup kening jilbab istri atau kening kekasih di suatu taman sudut kota. Itu menjadi idiom yang dasyat pada suatu puisi. Tetapi pada saat tertentu pilihan-pilihan kenormalan semacam itu, termasuk ketika menyebut bagian seksi dari tubuh wanita, terasa mudah ditafsir mesum oleh sebagian pembaca. Sampai-sampai si penyair perlu mengubah beberapa kata atau mengubah bentuk kalimatnya supaya lebih nyaman. Padahal jauh di lubuk hati, ia lebih cenderung pada bentuk pertama. Yang artinya, di depan Allah ia masih ihlas bersaksi, tak ada keliru yang kemarin dan yang ini. 

Selain yang bisa dianggap mesum oleh pembaca tertentu, kata-kata atau kalimat pada puisi atau cerpen bisa juga dianggap terlalu sadis, terlalu norak, terlalu pesimis, terlalu nekad, dst. Meskipun aslinya tidak. 

Tentu. Jika berkaitan dengan pemuatan puisi dan cerpen  di halaman koran atau buku, ralat seperti ini tidak mungkin dilakukan. Kecuali pada pemuatan ulang di masa berikutnya. Tetapi di media sosial hal ini masih sangat mungkin. 

Kemayoran, 07 10 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG