DINDING PUISI 249

DINDING PUISI 149 

Atas tidak lolosnya dua puisi saya ke dalam 50 puisi unggulan lomba cipta puisi dalam rangka Hari Puisi Indonesia 2020, saya sudah komentari, "Biasa saja". Dan saya berharap yang lain berperasaan lega yang sama. Artinya tidak ada protes apalagi yang berlebihan, kepanikan dan kegelisahan seperti pada saat puisi saya yang lain tidak lolos antologi Pesisiran, Dari Negeri Poci (DNP). Sebab pada saat itu saya mempersoalkan, setelah lolos seleksi kesesuaian tema, seluruh puisi tentu akan berhadapan pada pengelompokan, karya penyair dan karya non penyair sesuai pengumuman panitia, yang saat itu tidak saya dapati kejelasan pembatasannya. Tentu saja, saya merasa berada di kelompok pertama.

Kalaupun saya tulis di catatan Dinding Puisi sebelum ini pendapat Marlin Dinamikamto tentang suatu puisi yang tidak menang lomba, itu karena keinginan saya untuk menunjukkan adanya suatu pendapat yang demikian. Meskipun saya menggarisbawahi ada sedikit perbedaan pendapat dengan saya.

Saya tulis begini untuk para peserta lain yang lebih cenderung pada pendapat Marlin Dinamikamto: 'Tapi kalau milih terhibur oleh yang serupa dengan kata-kata Marlin Dinamikamto di akun facebooknya, "Puisi Wiji Thukul, Pablo Neruda, Bertold Brech tidak akan pernah menang apabila dilombakan dalam seni merangkai kata di Indonesia", bolehlah. Sah. Tulisannya itu saya komentari, "Juga puisi-puisi Rumi". Meskipun saya lebih cenderung pada pilihan kalimat, "belum tentu menang"'.

Ternyata tulisan saya di Dinding Puisi sebelum ini mendapat respon yang menarik untuk disimak sebagai bagian dari diskusi yang dinamis meskipun versi media sosial, sehingga kata-katanya serba spontan. Selain itu, ini bab menarik, karena di momen Pesisiran DNP saya dianggap oleh sementara pihak tidak menerima keputusan puisi saya tidak lolos seleksi, padahal bukan itu kegelisahan sastra atau kegelisahan kegiatan sastranya. Untuk itu saya coba tulis lagi dua puisi saya yang tidak lolos itu berikut komentar-klmentar yang masuk, sbb:

ALAMATKU 

aku sedang susah payah berzikir
kalau jadi datang,
sudikah kau bersusah payah membuka pintu
untuk menemuiku?
atau tunggu sebentar
aku benar-benar sedang menikmati zikir ini
tentu tak bisa menikmati diammu di luar
sebaiknya segera kita bertemu
di tempat yang sama
di segenap rasa dan suasana 
di sini
di dalam zikir 
juga di dalam kopi secangkir 

Kemayoran, 05 09 2020
------

ALAMATMU 

garis tanganmu pada daun
menggambar akar
dan ranting bulan

aku sampai kusyuk mengikutinya
dibawa alur-alur nadi
urat-urat gelombang

ruas-ruasnya rumah-rumah
kemanusiaan berketuhanan
yang setiap jendelanya menjaring matahari
pintu-pintunya merentang
memeluk aku

Kemayoran, 05 09 2020
------

Berikut ini komentar-komentar setelah dua puisi itu saya publikasikan di grup Dinding Puisi FB:

Indra Intisa (INI):
1. Temanya, keragaman dan keindonesiaan. Puisi si Om, religi, bukan? Atau apa?
2. Puisi Pablo masak dilombakan di Indonesia? Tidak mungkin, lah. Dia orang luar, sudah wafat. Salah satu penyair besar yang dapat nobel. 
3. Dalam pandangan saya, di luar bahasan teman, puisi si Om cukup baik. Tetapi belum cukup istimewa masuk 50 besar. Ini subjektif, ya. Penilaian saya sendiri.

ITOV SAKHA (ISA):
Indra Intisa, setuju, (khususnya) pada poin pertama, Ompi.

Kalo, poin kedua, tak usah awak komentar. fufufu.
Tabik.

INI:
Itov Sakha, sudah tak tambahkan komentarnya

ISA:
Indra Intisa, selow Ompi. Istimewalah pokoknya komentar Ompi dan artinya lup yu, aku setuju juga.
Bukan lantas subjektif lho, komentar ini, aaa.
Ckckck

INI:
Itov Sakha. Pendapat pribadi apa salahnya. Emang yang slow itu harus setuju? Hehe.

ISA:
Indra Intisa, biasanya begitu. Dan lebih sering yg slow menghanyutkan, aaa

INI:
(mengirim stiker kepala kucing)

ISA:
Indra Intisa. Kucing itu pasti 'bersayap'!

Berkenan baca puisi awak yg sdh dikirim tuk acara ini, Ompi?

INI:
Itov Sakha. Kucing jadi-jadian, dong? Hihi

SAYA:
Indra Intisa, oke. Itu puisi keragamanan dari sudut tembak yang lain, seolah-olah eklusif, sensitif, suatu pilihan yang terlalu berani, sengaja, terpaksa tetapi inklusif. Humanis universal seperti ketika saya 2-3x menggunakan idiom lampion dan dupa pada puisi yang cuma 12 baris.  Masabodoh orang berkata saya Cina, pro-Cina, dst. Yang ngambil contoh Pablo, maksudnya yang karyanya sebentuk itu. Soal subyektifitas "istimewa" monggo mawon. Hak pembaca sepenuhnya. 

Soni Farid Maulana bahkan pernah bilang puisi saya jelek waktu tidak lolos di Pesisiran, Dari Negeri Poci (DNP). Salahsatu puisinya berjudul Politik Kebudayaan:

POLITIK KEBUDAYAAN  

ini politik kebudayaan 
ada firman Allah
yang dimenangkan

Kemayoran, 2018

....... pertanyaannya, ini puisi relijius atau puisi Pesisiran?

INI:
Gilang Teguh Pambudi. Apa hubungannya dengan pro China dan Negeri Poci, Om hehe. Pablo karyanya tidak seperti itu hehe. 

SAYA:
Indra Intisa,  perbedaan bentuk puisinya bisa utara-selatan dengan karya siapapun, tapi bisa jadi karya Pablo tidak memenangkan lomba. Soal bisa ditafsir pro-Cina, karena puisi saya pun bisa dituding pro-agama. Yang lain-lain bisa ditafsir pro-tradisi, pro-nasionalis, pro-sejarah, pro-sindikat, pro-orsospol tertentu, dst. 

INI:
Gilang Teguh Pambudi. Apanya yang tidak memenangi lomba. Dia mendapat hadiah nobel itu merupakan lomba tertinggi, itu.

INI:
Gilang Teguh Pambudi. Ya tak ada masalah puisinya mau pro apa. Hehe. Mau pro agama, china, dst. Itu hak penyairnya. Terkait lomba, penilaiannya tentu luas. Ada objektif dan subjektif. Tapi syarat dasarnya ya ada aturan dasar lomba. Itu paling penting sebagai tiket masuk. Benar saja ada puisi bagus belum tentu menang lomba. Tapi tak bisa selalu dipake sebagai pembenaran.

INI:
Gilang Teguh Pambudi, terkait Pablo, orang sebesar dia, ngapain juga ikut lomba seperti ini. Hehe. 

SAYA:
Indra Intisa, memenangkan NOBEL itu hebat, tinggi,  karena puisinya BEKERJA. Seperti banyak puisi Rendra sudah bekerja nyata senyata-nyatanya. Tapi bisa jadi beberapa puisi Rendra tidak akan bisa menang dalam lomba cipta puisi di kepanitiaan tertentu di Indonesia. Kalau dilombakan. Ini logika.

INI:
Gilang Teguh Pambudi. Ya tentu saja. 

INI:
Gilang Teguh Pambudi, yang saya bahas juga logis (logika). Bukan imajinasi hehe. 

SAYA:
Indra Intisa, kesadaran. Dari pertama ikut lomba setiap peserta pasti punya ruang kesadaran, bisa kalah lomba. Itu penting. Meskipun puisinya masih bisa masuk koran, diterbitkan, atau disukai tidak sedikit orang. Baik para pencinta, guru sastra, kritikus, atau komunitas sastra.

INI:
Gilang Teguh Pambudi. Si Om posting di publik buat ditanggapi publik, kan? Unek-uneknya? Itu saya respon. Jadi slow. Ga perlu kesal hihi. Semoga suatu saat puisi si Om menang lomba.

INI:
Gilang Teguh Pambudi. Tapi sebelum itu, syarat utamanya ada kesesuaian tema, kemudian syarat mengikat lainnya kalau mau ikut lomba. Terkait bagus atau tidak, itu kajian berikutnya.

SAYA:
Indra Intisa, itu sudah saya bahas di Dinding Puisi Indonesia. Syarat pertama, wajib sesuai tema. Apalagi saya sudah puluhan kali jadi juri  lomba baca tulis puisi. Berarti kunciannya bagi panitia dan pembaca, "Bagaimana bisa puisi saya yg seperti itu diakui sesuai tema?". "Apa mungkin?" Menarik. Oke. ❤

INI:
Gilang Teguh Pambudi. Trus, apalagi yang mau dipermasalahkan. Harusnya pengalaman puluhan kali menjadi juri bisa membantu ketika jadi peserta.

SAYA:
Indra Intisa, ... dan tetap bisa atau boleh kalah. 

INI:
Gilang Teguh Pambudi, "boleh"?

SAYA:
Indra Intisa , salah satu persyaratan panitia yang tidak tersurat adalah, "kalo ikut lomba harus siap kalah ya?" Saya jawab, "Ya, puisi saya boleh kalah di even lomba ini". Tapi tentu saja, tidak boleh kalah dalam sistem nilai, kerja puisi.

INI:
Gilang Teguh Pambudi. Ya tentu saja. Trus apalagi yang mau dipermasalahkan hihi

SAYA:
Indra Intisa, publikai puisi saya ini? Karena ini ruang dia bekerja di luar lomba. 
______

ITOV SAKHA (ISA):
Ya, awak nikmati status ini mengada.
Tetap semangat Bung.

Gak ada 50, kalo gak ada sayembara dan kuratornya.

Gak ada HPI pun, sajak dan puisi harus dirayakan dalam kekayaan jiwa.

Bawa selow aja, fufufu.
Teruslah bergembira dan berduka, hingga puisi2 akan mengada dan menjadi!
tabik.

SAYA:
Itov Sakha, mantap.

Oke. Itu puisi keragamanan dari sudut tembak yang lain, seolah-olah eklusif, sensitif, suatu pilihan yang terlalu berani, sengaja, terpaksa tetapi inklusif. Humanis universal seperti ketika saya 2-3x menggunakan idiom lampion dan dupa pada puisi yang cuma 12 baris.  Masabodoh orang berkata saya Cina, pro-Cina, dst. Yang ngambil contoh Pablo, maksudnya yg karyanya sebentuk itu. Soal subyektifitas "istimewa" monggo mawon. Hak pembaca sepenuhnya. 

Soni Farid Maulana bahkan pernah bilang puisi saya jelek waktu tidak lolos di Pesisiran, Dari Negeri Poci. Salahsatu puisinya berjudul Politik Kebudayaan:

POLITIK KEBUDAYAAN  

ini politik kebudayaan 
ada firman Allah
yang dimenangkan

Kemayoran, 2018

....... pertanyaannya, ini puisi relijius atau puisi Pesisiran?

ISA:
Gilang Teguh Pambudi, itu puisi bahkan bisa tidak berada pada kedua wadah tsb.

Begitulah istimewanya 'ruang dan keleluasan' yg dinikmati pembaca.

salam puisi menyalanyala
______

AS KURNIA (ASK):
Akhirnya lolos di pesbuk. Selamat!

SAYA:
AS Kurnia mantap, kelas kakap. 

ASK:
(mengirim stiker memotret)
______

ROMO JATI (ROJA):
..menurut anda, ...dimana elemen kegagalannya?

SAYA:
Ŕomo Jati, hak juri. Subyektifitas yang halal.

ROJA:
Gilang Teguh Pambudi, 
..maaf mungkin ànda terperangkap pada tema

SAYA:
Ŕomo Jati, pada komen sebelah ada yang mempersoalkan, ketidaksesuaian tema. Oke. Meski saya menyebut, hakekat keberagaman adalah satu warna kehidupan yang baik-baik saja. Tentu, bukan yang buruk-buruk saja. Saya berusaha menembak tema dari sudut tembak yang tidak populer. Terutama puisi yang pertama. Tapi terimakasih tanggapannya. Salam sastra, salam literasi.
______

Demikianlah komentar atas pemuatan dua puisi saya di grup Dinding Puisi Indonesia setelah tidak lolos masuk 50 puisi unggulan itu. Tentu saya tidak bisa memuat semua komentar setelah itu. Dan juga tidak perlu memuat lagi komentar setelah catatan ini diturunkan. 

Kita cuma menengok sisi menarik, sensasi-sensasi kecil serupa ini di dunia sastra. Sedangkan saya tetap pada pendirian atas tidak terpilihnya dua puisi itu dengan komentar, "Biasa saja". Okekah saya ngikut istilah, "Slow dan luf". 

Dan maafkan saya, di catatan ini dan sebelum ini tidak mencantumkan nama-nama yang ngasih jempol (like) dan love di dua catatan Dinding Puisi saya ini. Karena tidak terlalu penting.  

Kenayoran, 12 10 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG